Fenomena kutu loncat dalam pemilihan kepala daerah dapat merusak proses demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Semestinya, pejabat publik yang dipilih melalui proses politik menjalankan kewajiban hingga akhir masa jabatan. Demikian disampaikan pengamat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr. Siti Zuhro dalam diskusi di Rumah Perubahan 2.0, kompleks pertokoan Duta Merlin di kawasan Harmoni, Jakarta, Selasa siang (17/7).
"Saya mengapresiasi Pak Alex (Noerdin), Pak Jokowi (Joko Widodo) dan Pak Ahok (Basuki Tjahja Purnama). Tapi saya kurang sreg dengan caranya yang kutu loncat itu," katanya.
Sebelumnya, dalam kesempatan yang sama, pengamat komunikasi dan politik Teguh Santosa juga mengatakan salah satu elemen penting dalam membangun sistem demokrasi yang sehat adalah responsibility to constituencies atau tanggung jawab terhadap pemilih dan publik.
Menurut Teguh, pemilihan gubernur DKI Jakarta ini harus dijadikan momentum untuk menghentikan praktik meninggalkan konstituen seperti yang dilakukan Joko Widodo dan Basuki Purnama.
Basuki T Purnama pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur selama 7 bulan (2004-2005). Belum selesai menjadi anggota DPRD, dia ikut pemilihan bupati Belitung Timur dan terpilih. Selanjutnya, 13 bulan jadi bupati, dia kemudian maju sebagai calon gubernur provinsi Bangka Belitung. Namun tidak menang.
Pada tahun 2009 lalu, dia menjadi calon anggota legislatif dari Partai Golkar dan terpilih. Tapi, lagi-lagi amanah rakyat kepadanya untuk menjadi anggota Dewan selama lima tahun tidak tuntas. Dia memutuskan mundur dan maju sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan Joko Widodo.
Sementara Joko Widodo kembali menjadi Walikota Solo setelah memenangi pemilihan Walikota Solo tahun 2010 lalu. Tapi, baru dua tahun menjabat, dia sudah mengincar kursi gubernur DKI Jakarta. [zul]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: