"Partai pendukungnya beda dengan tahun 2007. Waktu dulu PPP, PDIP dan Golkar mendukung Fauzi Bowo. Sekarang yang bisa diperhitungkan cuma Demokrat dan PAN," kata pengamat politik senior, Arbi Sanit, kepada
Rakyat Merdeka Online, Kamis (12/7).
Tidak hanya dukungan parpol menciut, tapi parpol terbesar yang mendukungnya (Demokrat) juga dirundung banyak kasus korupsi. Setelah itu, nyatanya leadership Fauzi Bowo tidak terlalu monumental di mata publik Jakarta.
"Jadi masyarakat Jakarta bisa dibilang cerdas karena menjatuhkan pilihan pada Jokowi. Seorang Jokowi harus diakui punya prestasi, punya kemampuan, jadi warga menaruh harapan padanya," ungkapnya.
Faktor lain yang membuat Foke harus menelan kekalahan sementara adalah karakter Pilkada yang lebih mementingkan ketokohan. Faktor PDIP dan Gerindra yang mendukung Jokowi-Ahok tidak terlalu dipedulikan calon pemilih yang mengambang.
Arbi Sanit juga mengingatkan bahwa Jakarta dihuni banyak etnik, dan yang besar di antara semua adalah kelompok etnik Jawa, Betawi dan China. Di dalam Pilkada, sentimen etnik itu berperan sangat besar.
"Foke-Nara dari Betawi, dan itu modal satu-satunya. Sedang Jokowi-Ahok memegang basis Jawa-China. Sentimen suku itu juga masuk dalam permainan utama," tegasnya.
Yang jelas, imbuh Arbi, ada harapan perubahan pada figur Jokowi. Dia memberikan respons tegas pada keinginan akan perubahan dari pemilih. Sedangkan Fauzi Bowo tidak menangkap dan mengeskperesikan kembali apa keinginan rakyat itu.
"Jokowi sudah berhasil mengurus rakyat di Solo, pro rakyat dan sebagainya. Jadi kesimpulan bagi pemilih bahwa dia lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan mereka," tandas Arbi.
[ald]
BERITA TERKAIT: