KPK, Fokus Saja dengan Korupsi Kakap!

Jika Kinerja Tak Membaik, Ganti Pimpinan KPK

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ade-mulyana-1'>ADE MULYANA</a>
LAPORAN: ADE MULYANA
  • Selasa, 12 Juni 2012, 15:31 WIB
KPK, Fokus Saja dengan Korupsi Kakap<i>!</i>
istimewa
RMOL. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya fokus pada kasus-kasus kakap yang bisa mengancam stabilitas keuangan negara. Selain itu, untuk menyiasati minimnya jumlah penyidik dan penuntut, KPK sebaiknya lebih fokus pada aspek pencegahan. Dengan demikian, korupsi di Indonesia yang telah menjadi extraordinary crime, bisa dikikis hingga titik minimal di masa depan.

Demikian mengemuka dari diskusi bertajuk “Pejabat Teri Pajak Ditangkap, Pejabat dan Penyuap Kakap Dibiarkan” yang digelar Rumah Perubahan 2.0, Selasa  (12/6). Diskusi menghadirkan pakar hukum pidana Yenti Garnasih, pakar politik UI Iberamsyah, mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Chairul Umam, dan Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie M Massardi.

Menurut Chairul, minimnya tenaga penyidik dan penuntut KPK dipastikan tidak akan mampu menangani kasus-kasus korupsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk itu, dia menyarankan agar KPK hanya fokus pada tindakan pencegahan. Kalau perlu, komposisinya dibuat 80% SDM dan anggaran KPK digunakan untuk pencegahan, dan 20% sisanya untuk penindakan.

"Kalau menangkap koruptor, memang sepertinya KPK kelihatan gagah. Tapi jika cara kerja KPK tetap sibuk dengan penindakan seperti sekarang, saya yakin 10 tahun lagi korupsi di Indonesia bukannya berkurang, malah akan semakin bertambah parah," ujar Chairul.

Dia menambahkan, kendati KPK banyak menangkap koruptor, kasus korupsi justru semakin bertambah. Dalam empat tahun terakhir, tidak kurang dari 9.600 kasus korupsi dengan lebih dari 20.000 pelaku dibawa ke pengadilan. Namun faktanya hal itu tidak membuat orang takut melakukan korupsi. "Jadi,  sebaiknya KPK fokus hanya pada kasus-kasus besar saja."

Ganti Pimpinan KPK

Sedangkan Yenti menyoroti kinerja KPK yang dinilainya semakin tidak fokus, bahkan cenderung ambigu. Di satu sisi para pimpinan KPK sering mengeluh hanya punya tenaga penyidik dan penuntut yang sedikit. Di sisi lain, KPK justru sibuk menangani kasus-kasus kecil yang bisa disebut ‘kelas teri.’

"Buat apa KPK sibuk menangani kasus Tommy, pegawai di KPP Sidoardjo yang hanya merugikan keuangan negara Rp 280 juta. Pada saat yang sama, kasus Hambalang yang kerugiannya mencapai Rp1 triliun lebih tidak juga ada kemajuan. Saya jadi gemas melihat kinerja KPK. Kalau memang serius mau memberantas korupsi, ya lakukanlah dengan sungguh-sungguh. Tapi kalau tidak, sebaiknya kita ganti saja para pimpinan KPK itu," tukas Yenti.
 
Senada dengan Yenti, Chairul menyarankan agar KPK hanya menangani kasus yang kerugiannya tidak besar. Misalnya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau skandal Century. Kalau pun KPK mau tangani kasus yang tidak terlalu besar kerugiannya, sebaiknya dibatasi pada pelakunya yang secara etik tidak patut melakukan korupsi. contohnya, korupsi yang dilakukan Gubernur BI, para menteri, dan anggota DPR. Sedangkan kasus-kasus lainnya serahkan saja pada polisi dan kejaksaan.

Yenti juga minta agar KPK melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menyidik kasus-kasus korupsi pegawai pajak. Sebab, hampir bisa dipastikan para pegawai yang cuma golongan III itu pastilah tidak sendiri. Mereka hanya menjadi operator dari atasan mereka yang punya wewenang lebih besar. Dengan melibatkan PATK, bisa ditelusuri arus dana yang mereka korupsi.

"Ini jelas sindikat. Dan yang namanya sindikat, pasti tidak sendiri. KPK juga harus menjerat mereka dengan UU Pencucian Uang. Saya sering gemas melihat cara kerja KPK yang tidak fokus dan lamban. Kalau memang sudah tidak bisa diharapkan lagi, sebaiknya para pimpinan KPK diganti saja," ungkap Yenti.

Sementara itu, Iberamsyah berpendapat para koruptor sejatinya lebih jahat dibandingkan teroris. Pasalnya, korban teroris hanyalah orang-orang yang ada di lokasi meledaknya bom. Sedangkan koruptor telah mengambil hak rakyat untuk memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, dan hak-hak dasar lainnya.

"Korupsi yang dilakukan para pegawai pajak rendahan itu pasti melibatkan atasan mereka. Tapi selama ini kasusnya sering hanya berhenti pada para pegawai rendahan itu. Saya kira, kunci penyelesaian masalah ini terpulang pada SBY. Kalau SBY benar-benar mau memberanatas korupsi, dia bisa melakukannya. Sayangnya, Sby hanya cenderung beretorika untuk pencitraan belaka," kata Iberamsyah. [dem]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA