Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana KhuÂsus Arnold Angkouw beralasan, pihaknya masih fokus menyidik tersangka dari PT Chevron PaÂsific Indonesia (CPI) dan dua peÂlaksana proyek itu, yakni PT Green Planet Indonesia (GPI) dan PT Sumigita Jaya (SJ).
Tapi, lanjutnya, tak tertutup kemungkinan ada pihak lain yang juga terlibat kasus proyek fiktif ini. Jika didukung alat bukti yang cukup, saksi akan berubah status menjadi tersangka.
“Yang pasti, saat ini kami fokus dulu ke perusahaan pelaksana bioÂremediasi itu,†ujarnya di GeÂdung Bundar Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Senin malam (4/6).
Menurut Arnold, pihak BP MiÂgas juga sudah dimintai keÂteÂraÂngan mengenai pengajuan biaya (cost recovery) proyek norÂmaÂlisasi tanah bekas lahan eksÂplorasi PT CPI dengan cara biÂoÂreÂmediasi itu.
Untuk mendalami kasus ini, KeÂjaksaan Agung juga mengÂgeÂlar uji laboratorium. Namun, kata Arnold, hasilnya kurang makÂsiÂmal karena peralatan milik KeÂmenterian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai pihak yang menÂjadi tuan rumah uji lab itu, tidak memadai.
Menurutnya, uji laboratorium di Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Serpong, Banten itu masih menyisakan satu sampel yang tidak bisa diuji, yaitu total petroleum hidroÂcarbon (TPH).
“Untuk uji TPH, mereka tidak bisa, tidak ada alatnya,†ujar ArÂnold saat ditemui di kantornya, seÂusai mengikuti uji laboÂraÂtorium itu.
Kata Arnold, ada tiga sampel yang harus diuji, yaitu pH, TCLP dan TPH. TPH itu sangat berÂkenaan dengan logam berat dan minyak. “Itu adalah sampel yang sangat penting,†kata bekas KeÂpala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini.
Uji lab yang berlangsung pada Senin lalu, sejak pukul 09.00 hingga pukul 15.00 WIB itu, digelar untuk memenuhi unsur obyektivitas dan transparansi. KLH dari unsur pemerintah dihaÂrapkan bisa menjadi penengah secara transparan.
“Kami bawa semua sampel yang kami miliki, ada segelnya, dan disaksikan bersama pihak Chevron, KLH dan para pakar,†ujarnya.
Para tersangka juga diikutsertaÂkan untuk melihat uji lab tersebut. “Sebenarnya uji lab ini masih bagian penyidikan, tapi untuk menghindari penyimpangan, kami lakukan secara transparan,†ujar Arnold.
Menurut Arnold, butuh waktu 14 hari untuk mengetahui hasil uji lab itu. “Tapi, kami tidak begitu terÂpengaruh pada hasil uji lab ini, sebab kami sudah punya bukti-bukti. Kami telah siap menuju proses penuntutan,†katanya.
Untuk TPH akan diuji masing-masing pihak secara sendiri-senÂdiri. “Pakar kami akan meÂngujinya, nanti itu akan diadu deÂngan hasil uji milik Chevron di pengadilan. Biarlah hakim yang memutuskan,†ujar dia.
Dalam catatan Rakyat MerÂdeka, pihak BP Migas merasa sudah melakukan tugas peÂngaÂwasannya. “Selama ini kegiatan bioremediasi Chevron justru kami anggap sebagai proyek perÂcontohan dan diakui berhasil oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Buktinya, KLH memberi nilai proper biru,†ujar Humas BP MiÂgas Gde Pradnyana.
BP Migas, lanjutnya, tidak melihat ada kerugian negara daÂlam kasus ini. “Sebab, itu mengÂgunakan dananya Chevron. Baru akan dibayar kembali jika tidak ada temuan audit atau pelangÂgaran yang mereka lakukan,†ujarnya.
Kejaksaan Agung telah meÂnetapkan tujuh tersangka dari PT CPI, PT GPI dan PT SJ. Namun seÂmÂua tersangka, sejak diperiksa perÂtama kali, beberapa waktu lalu sampai kini belum ditahan. MeÂreka hanya dikenakan status ceÂgah ke luar negeri, kecuali AleÂxiat Tirtawijaya yang masih di AS.
Enam tersangka lain, yang telah dicegah bepergian ke luar negeri selama enam bulan dan daÂpat diperpanjang, adalah Widodo, Kukuh, Bachtiar Abdul Fatah dan Endah Rubiyanti (Chevron). Lalu Direktur Green Planet Indonesia Ricksy Prematuri dan Direktur Sumigita Jaya Herlan.
Tak Yakin Pelakunya Cuma Orang Swasta
Achmad Basarah, Anggota Komisi III DPR
Menurut Anggota Komisi III DPR Achmad Basarah, untuk mengusut kasus Chevron secara utuh, Kejaksaan Agung semesÂtinya juga menelisik apakah ada orang BP Migas yang terlibat.
Jika tidak menelisik dugaan keterlibatan orang BP Migas, dia menilai, Kejaksaan Agung sejatinya tidak serius mengusut kasus ini. Padahal, Kejagung suÂdah gembar-gembor bahwa niÂlai kerugian negara dalam kasus ini sangat besar, yakni Rp 200 miliar.
“Kasus korupsi berupa progÂram fiktif yang telah berjalan bertahun-tahun, sungguh sangat memprihatinkan. BP Migas seÂlaku pihak yang berÂtangÂgungÂjaÂwab atas pelaksanaan pemuÂlihan tambang-tambang, patut diÂduga tidak profesional,†tegasnya.
Basarah menegaskan, jika memang ada pembiaran terhaÂdap program fiktif, pihak BP Migas seharusnya dikenakan sanksi yang tegas. “Karena seÂlama bertahun-tahun, pimpinan BP Migas tidak mengetahui terÂjadi proyek fiktif di lingkungan pengawasannya,†ujar dia.
Ketidakprofesionalan, lanjut BaÂsarah, merupakan salah satu faktor karutmarutnya manaÂjeÂmen pengelolaan energi nasioÂnal. “Karena itu, kejaksaan haÂrus sungguh-sungguh meÂnunÂtasÂkan kasus ini secara profeÂsional dan cepat,†katanya.
Penetapan tujuh tersangka kasus ini, nilai Basarah, meÂruÂpaÂkan langkah Kejaksaan Agung yang minimalis. SoalÂnya, para tersangka itu tidak ditahan.
“Saya tidak yakin kasus ini hanya melibatkan unsur swasta. Kejagung mesti mendalami, apakah ada orang BP Migas yang terlibat,†tandasnya.
Dia pun mengingatkan KeÂjakÂsaan Agung agar tidak memÂbuka ruang curiga dalam peÂnguÂsutan kasus ini. “Jangan buka lagi ruang kecurigaan publik bahwa kejaksaan akan main mata dalam penuntasan kasus ini,†wanti-wantinya.
Bisa Dianggap Alihkan Kasus
Petrus Selestinus, Koordinator Faksi
Koordinator Forum AdÂvoÂkat Pengawal Konstitusi (FakÂsi) Petrus Selestinus juga berpendaÂpat, Kejaksaan Agung tak cukup haÂnya mengusut keÂterlibatan orang swasta dalam kasus Chevron.
“Suatu tindak pidana korupsi, tidak mungkin hanya dilakukan pihak swasta. Justru karena peÂnyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara, makaÂnya ada tindak pidana,†kata Koordinator Tim Pembela DeÂmokÂrasi Indonesia (TPDI) ini.
Kalau hanya mengusut pihak swasta, ingat Petrus, maka KeÂjagung bisa dianggap meÂngaÂlihkan kasus ini hanya menjadi tanggung jawab pihak swasta. “PiÂhak swasta dikorbankan senÂdirian. Penyelenggara negara maÂlah tidak tersentuh,†tegasnya.
Kejagung, lanjut Petrus, tidak bisa hanya menjerat pihak swasÂÂta. Sebab, pihak swasta meÂmang mencari keuntungan dari usahaÂnya. “Justru penyeÂlengÂgara neÂgaÂraÂlah yang memÂbeÂrikan atau memÂbiarkan pihak swasta memÂperoleh keuntuÂngan dengan cara tidak sah. Jadi, penyelenggara neÂgara juga bertanggung jawab.â€
Lantaran itu, dia juga meÂngiÂngatÂkan Kejagung agar menÂdaÂlami dugaan keterlibatan orang BP Migas dalam kasus ini. Bila tiÂdak, lanjutnya, maka komitÂmen dan keseriusan Kejagung meneÂgakÂkan hukum, patut diÂpertanyakan.
“Kejaksaan malah meÂrunÂtuhÂkan profesionalisme mereka jika tak mengusut pihak BP MiÂgas. Sering kali, Kejagung gemÂbar-gembor pada awal peÂnaÂngaÂnan kasus, tapi ujung-ujungnya tidak jalan. Pengusutan kasus jangan berputar-putar saja. Usut dugaan keterlibatan orang BP Migas,†tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: