Tersangka Kasus Merpati Belum Digiring ke Rutan

Berkasnya Sudah Dilimpahkan ke Penuntutan

Senin, 28 Mei 2012, 08:54 WIB
Tersangka Kasus Merpati Belum Digiring ke Rutan
ilustrasi/ist
RMOL.Babak baru perkara korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 senilai satu juta  dolar Amerika Serikat oleh PT Merpati Nusantara Airlines, tidak lama lagi akan dipertunjukkan di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Bekas Direktur Utama PT Mer­pati Nusantara Airlines (MNA) Hotasi Nababan dan bekas Ge­neral Manager Air Craft Procu­re­ment PT MNA Tony Sudjiarto akan didakwa dalam waktu yang tidak lama lagi. Soalnya, penyi­dik Pidana Khusus Kejaksaan Agung telah melimpahkan berkas kedua tersangka itu ke Bagian Penuntutan.

“Tanggal 24 Mei, penyidik me­nyerahkan berkas dan barang buk­ti ke penuntut, atas nama Ho­tasi Nababan dan Tony Sud­ji­ar­to,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman di Gedung Ke­jak­sa­an Agung, Jalan Sultan Hasa­nuddin, Jakarta Selatan pada Ju­mat (25/5).

Berkas kedua tersangka itu kini sedang dipelajari jaksa peneliti. “Nanti pelimpahan tahap duanya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pu­sat. Mudah-mudahan selanjutnya segera bisa dilimpahkan ke Pe­ngadilan Tipikor,” ujar Adi.

Kendati sudah mendekati masa persidangan, Hotasi dan Tony tak kunjung ditahan. Kedua ter­sang­ka itu baru sekadar dicegah ke luar negeri dan ditetapkan se­ba­gai tahanan kota.

“Penyidik dan pe­nuntut belum merasa perlu me­lakukan pena­ha­nan fisik di rumah tahanan, ka­re­na tidak khawatir tersangka akan me­larikan diri. Apalagi, kedua ter­sangka sudah di­kenakan status cegah,” alasannya.

Sedangkan terhadap satu ter­sangka lainnya, yakni bekas Di­rektur Keuangan PT Merpati Nu­santara Airlines Guntur Aradea, penyidik masih melakukan pe­nyidikan. Sehingga, berkas Gun­tur belum dilimpahkan ke Bagian Pe­nuntutan. “Mudah-mudahan bisa segera menyusul kedua ter­sang­ka yang sudah lebih dahulu dilim­pahkan ke penuntutan,” kata Adi.

Para tersangka terancam huku­man maksimal selama 20 tahun, seperti diatur dalam Undang Un­dang Tindak Pidana Korupsi (Ti­pikor) Nomor 31 tahun 1999 yang diubah menjadi Undang Un­dang Nomor 21 Tahun 2000.

Penanganan perkara korupsi ini, sempat dipertanyakan kala­ngan DPR dan aktivis an­ti­ko­rup­si. Soalnya, para tersangka tidak ditahan seperti tersangka kasus ko­rupsi lainnya. Bahkan, setelah dilimpahkan ke penuntutan, para tersangka juga tidak digiring ke rumah tahanan (rutan).

Kasus ini pun dinilai lambat bergulir ke pengadilan. Sebab, Ke­jaksaan Agung sudah melaku­kan penyidikan sejak Agustus ta­hun lalu. Hotasi dan Guntur di­tetapkan sebagai tersangka pada Agustus 2011. Sedangkan Tony di­te­tap­kan sebagai tersangka pada 22 De­­sem­ber 2011, ber­da­sar­kan su­rat perin­tah penyidikan (Sprint­dik) Print 196/F.2/Fd.1/12/2011.

Sementara bekas Direktur Uta­ma PT MNA Cucuk Sur­yo­sup­rojo dan bekas Dirut PT MNA Sar­djono Jhoni hanya dimintai keterangan sebagai saksi. Cucuk di­periksa sebagai saksi pada 16 Agustus 2011. Sedangkan Sar­djo­no dimintai keterangan seba­gai saksi pada 25 Mei 2011.

Kasus ini bermula saat Direksi PT Merpati Nusantara Airlines menyewa dua pesawat Boeing dari Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat pada tahun 2006. Namun, sejak biaya sewa sebesar 500 ribu dolar AS per pesawat dibayarkan ke rekening kantor lawyer Hume And Associates melalui transfer Bank Mandiri, kedua pesawat itu tidak pernah dikirim ke Indone­sia. Akibatnya, diduga terjadi kerugian negara sebesar satu juta dolar AS atau sekitar Rp 9 miliar pada salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.

Reka Ulang

Merpati Sulit Tarik Duit Jaminan

Ditetapkan sebagai tersang­ka, bekas Direktur Utama Mer­pati, Hotasi Nababan tidak ting­gal diam. Dia meminta Kejaksaan Agung tidak mengesampingkan pu­tusan pengadilan Distrik Was­hington DC, Amerika Serikat.

Menurutnya, Pengadilan Dis­trik Washington menerima gu­ga­tan PT Merpati Nusantara Air­lines (MNA) dan mewajibkan Thirdstone Aircaft Leassing Group Inc (TALG) me­ngem­bali­kan uang milik Merpati. “Upaya kami menggugat TALG me­nun­jukkan tidak ada kongkalikong antara Merpati dan TALG. Ini murni persoalan wanprestasi. Bagi Merpati, ini merupakan risiko bisnis,” kata Hotasi.

Tapi, Kejaksaan Agung tak begitu saja menerima pembelaan diri Hotasi. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andi Nirwanto memerintahkan anak buahnya agar mendalami kasus korupsi sewa pesawat Boeing 737-400 dan 737-500 ini.

Penyidik Pidana Khusus, lanjut Andhi, telah mengorek ketera­ngan sejumlah saksi untuk men­dalami perkara yang diduga me­ru­gikan negara 1 juta dolar Ame­rika Serikat atau sekitar Rp 9 miliar ini. Kejaksaan Agung juga meminta keterangan ahli hukum pidana dan ahli pengadaan barang dan jasa untuk mendalami per­kara tersebut.

Kasus sewa pesawat ini terjadi pada tahun 2006. Saat itu, Direksi PT MNA menyewa dua pesawat Boeing 737 dari Thirdstone Air­caft Leassing Group Inc (TALG) di Amerika Serikat, seharga 500 ribu dolar AS untuk setiap pesawat. Tapi, kata Andhi, setelah dilakukan pembayaran sebesar satu juta dolar AS ke rekening law­yer yang ditunjuk TALG, yak­ni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, hingga kini pesawat tersebut belum per­nah diterima PT Merpati Nu­san­tara Airlines.

Makanya, lanjut Andhi, Kejak­saan Agung mencium aroma ko­rupsi sebesar satu juta dolar Ame­rika Serikat dalam kasus tersebut. Kemudian, status perkara ini ditingkatkan dari penyelidikan ke penyidikan.

Hal senada pernah disam­pai­kan Direktur Penyidikan pada Jak­sa Agung Muda Pidana Khu­sus Jasman Pandjaitan (kini Ke­pala Kejaksaan Tinggi Ka­li­man­tan Barat). Menurutnya, TALG melanggar kontrak karena tidak menyediakan dua pesawat jenis Boeing 737 seri 400 dan 500 yang dijanjikan sebelumnya.

Padahal, Merpati telah men­transfer duit jaminan 1 juta dolar AS. Namun, duit yang disetor ke rekening law­yer yang ditunjuk TALG, yakni Hume & Associates melalui transfer Bank Mandiri, tak bisa ditarik kembali.

Menurut Jasman, kebijakan me­ngirim uang ke rekening law­yer itulah yang membuat Merpati sulit menarik kembali duit jami­nan tersebut. Seharusnya, lanjut dia, duit jaminan disimpan pada lem­baga penjamin resmi. Maka­nya, dia curiga ada keinginan sejumlah pihak untuk m­e­nye­le­wengkan dana itu. “Kenapa se­olah dipaksakan disimpan di sana,” Katanya

Kuasa hukum tersangka Hotasi Nababan, Lawrence TB Siburian mengatakan bahwa penetapan kliennya sebagai tersangka tidak tepat. Soalnya, menurut dia, ka­sus sewa pesawat ini murni per­kara per­data, bukan kasus pidana. Law­rence menilai, Kejaksaan Agung terlalu memaksakan diri menetap­kan kasus ini ke ranah pidana.

Apalagi, lanjut Lawrence, per­buatan korupsi harus memiliki tiga unsur. Yakni melawan hu­kum, ada kerugian negara yang me­ngun­tung­kan diri sendiri, orang lain atau koorporasi. “Ke­tiga hal ter­sebut yang harus ter­penuhi, tidak bisa jika hanya satu,” katanya.

Menurut bekas Direktur Utama PT MNA Sardjono Jhoni, yang patut dipahami dalam kasus ini adalah, proses pengajuan sewa pesawat didasari kebutuhan Mer­pa­ti yang saat itu tidak pu­nya uang.

Semakin Lama Semakin Dicurigai

Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Deding Ishak mengingatkan Kejaksaan Agung agar tak memperlambat penyidikan dan penuntutan terhadap para ter­sangka kasus Merpati. Se­makin lama Bagian Penuntutan K­e­ja­gung mengirim berkas para ter­sangka ke Pengadilan Tipikor, kata Deding, maka semakin kuat kecurigaan publik bahwa kasus ini sedang dipermainkan.

“Intinya, saya mendorong agar secepatnya masuk ke pe­nga­dilan. Jangan sampai me­nim­bulkan persepsi publik yang negatif, karena kasus ini terlalu lama berkutat di Kejagung,” ingatnya.

Menurut Deding, sering kali orang-orang yang memiliki akses ke penegak hukum me­la­kukan intervensi agar kas­us­nya tidak diusut secara serius sam­pai tuntas. “Semoga hal seperti itu tidak terjadi pada kasus Mer­pati,” katanya.

Proses penyidikan yang ber­langsung satu tahun atau lebih, kata Deding, sangat tidak efek­tif. Bahkan, proses seperti itu bisa membuat perkara “ma­suk angin”. Di situlah akan muncul ketidakwajaran proses. “Proses itu wajar kalau ada progres po­sitif dalam jangka waktu yang signifikan. Kalau prosesnya se­perti dibolak-balik, tentu jadi per­tanyaan publik,” ucapnya.

Lantaran itu, dia meminta Ke­jaksaan Agung menjelaskan secara transparan, mengapa proses kasus tersebut begitu lama. “Kejaksaan perlu men­jelaskannya kepada publik,” saran Deding.

Lagi-lagi, Deding mengi­ngat­kan, hal-hal yang janggal pas­ti merusak citra kejaksaan. “Maka, jangan munculkan ke­cu­rigaan. Tidak ada alasan me­nunda-nunda kasus ini ke pe­nga­dilan. Ini akan menim­bul­kan citra kurang baik bagi pe­ne­gakan hukum,” ucapnya.

Lantaran itu, Deding memin­ta Kejaksaan Agung segera membawa kasus ini ke penga­di­lan, agar terang benderang, apakah para tersangka itu ko­rupsi atau tidak.

“Kalau alat bukti sudah ada, kok mandeg. Mengapa tidak segera dilimpahkan? Apa ada upaya mempetieskan kasus ini?” tandasnya.

Terlalu Lama Akan Busuk

Ilyas Indra Damarjati, Pengamat Hukum

Pengamat hukum dan po­litik dari Universitas Az­zahra, Ilyas Indra Damarjati mengi­ngatkan Kejaksaan Agung agar tidak berlama-lama menangani kasus Merpati. Sebab, perkara korupsi yang terlalu lama dita­ngani, akan membusuk.

Penanganan kasus yang ter­lalu lama, lanjut Ilyas, juga akan menimbulkan kecurigaan yang luar biasa dari masyarakat. Yang dicurigai masyarakat bu­kan hanya jaksa penyidik, pe­neliti atau penuntut, tapi juga pimpinan mereka di Kejaksaan Agung. “Harusnya tak perlu sampai hitungan tahun proses penyidikan. Aneh kalau prog­res­nya lelet,” ujarnya.

Bila proses penyidikan dila­kuk­an secara normal atau meka­nismenya benar, menurut Ilyas, kasus ini seharusnya sudah ma­suk ke pengadilan sejak lama.

“Kalau normal-normal saja, se­harusnya bisa segera disi­dang­kan. Sekarang ini, orang mau­nya penanganan kasus ko­rupsi dipercepat,” kata Wakil Rektor Universitas Azzahra ini.

Lambannya penanganan kasus ini, kata Indra, akan menimbulkan terbengkalainya pengusutan kasus lain. Bahkan, kecurigaan masyarakat kian merebak, apalagi karena ter­sang­kanya tidak ditahan.

“Ke­curigaan bahwa ada ke­kuatan-kekuatan yang bisa meng­hilangkan kasus ini, mencuat,” ujarnya.

Ilyas juga mengingatkan, hen­daknya aparat penegak hu­kum tidak pandang bulu dalam mengusut kasus ini, walaupun berkenaan dengan BUMN. “Bisa jadi, jaksa lamban karena sungkan, sebab melibatkan ele­men yang bersentuhan dengan kekuatan negara,” katanya.

Ilyas berharap, kasus tersebut bisa segera disidangkan untuk pembuktian, apakah para ter­sangka itu korupsi atau tidak. “Per­sidangan itu juga akan men­jadi bukti, seperti apa kinerja kejaksaan,” tandasnya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA