Kasus Indosat Mega Media Mandek di Kejaksaan Agung

BPKP Belum Selesai Hitung Nilai Kerugian Negara

Kamis, 24 Mei 2012, 09:12 WIB
Kasus Indosat Mega Media Mandek di Kejaksaan Agung
ilustrasi/ist
RMOL.Banyak perkara korupsi yang heboh pada awal penanganannya saja. Tapi, tak kunjung ada perkembangannya, alias mandek.

Contohnya, kasus penga­li­han frekuensi 2,1 GHz/3G dari PT Indosat ke anak perusa­haan­nya, PT Indosat Mega Media (IM2) yang ditangani Kejaksaan Agung. Inti kasus ini, IM2 di­duga ber­operasi sebagai penye­leng­ga­ra ja­ringan bergerak se­lu­ler tanpa izin pemerintah, se­hingga me­nim­bul­kan kerugian keuangan negara.

Akan tetapi, pihak Kejaksaan Agung beralasan masih menung­gu hasil penghitungan kerugian ne­gara itu dari Badan Penga­wa­san Keuangan dan Pemba­ngu­nan (BPKP). “Kami masih me­nunggu hasil audit BPKP,” kata Kepala Pu­sat Penerangan Hu­kum Ke­jaksaan Agung Adi Toe­ga­risman, kemarin.

Menurut Adi, proses peng­hi­tu­ngan kerugian negara memer­lukan waktu yang tidak sedikit, karena harus akurat. “Kami ber­koordinasi dengan ahli supaya ha­silnya maksimal dan akurat unt­uk pembuktian,” kata bekas Kepala Kejaksaan Tinggi Ke­pulauan Riau ini.

Adi menambahkan, sembari menunggu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan me­ngeluarkan angka kerugian ne­gara, Kejaksaan Agung terus men­dalami kasus ini.

Pada Selasa 22 Mei lalu, penyi­dik memeriksa Bonny Mu­ham­mad Thamrin Walud, Direktur Telekomunikasi pada Ditjen Pe­nyelenggaraan Pos dan In­for­ma­tika, Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebagai saksi.

“Seorang pegawai Ke­men­te­rian Komunikasi dan Informatika kami periksa sebagai saksi. Ini­sialnya BMTW. Pemeriksaan dila­kukan sejak pukul sembilan pagi di Gedung Bundar,” kata Adi.

Sementara itu, pihak BPKP be­lum bisa memastikan kapan peng­hitungan kerugian negara tersebut selesai. “Masih dalam proses, se­hingga kami belum bisa mengi­rimnya ke Kejaksaan Agung,” ujar Kepala Sub Bagian Humas BPKP Tri Wibowo ketika dikonfirmasi Rakyat Merdeka, kemarin.

Kejaksaan Agung menyangka PT IM2 beroperasi sebagai pe­nyelenggara jaringan bergerak se­luler tanpa izin pemerintah. Soal­nya, IM2 hanya memiliki izin sebagai internet service provider, bukan penyelenggara jaringan bergerak seluler.

Seharusnya, IM2 membayar biaya-biaya yang diwajibkan ke­pada penyelenggara jaringan se­luler sebagaimana ketentuan per­undang-undangan, antara lain Pasal 33 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Tele­ko­mu­nikasi dan Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2006.

Namun, PT IM2 dalam melak­sa­nakan kegiatan tersebut tidak pernah membayar biaya up front fee dan badan hak penggunaan (BHP) frekuensi kepada peme­rintah sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Lantaran itulah, Kejaksaan Agung kemudian menetapkan Di­rektur Utama PT IM2 Indar Atmanto (IA) sebagai tersangka ka­sus pengunaan jaringan fre­kuensi 2,1 Ghz tanpa izin. Ke­jagung menyangka Indar me­lang­gar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kejagung pernah menaksir, ke­rugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 3,8 triliun. Per­sis­nya, Rp 3.834.009.736.400.00 (tiga triliun, delapan ratus tiga pu­luh empat miliar, sembilan juta tujuh ratus tiga puluh enam ribu, empat ratus rupiah). Angka itu pernah disampaikan Kapus­pen­kum Kejagung Noor Rochmad yang kini menjadi Kepala Ke­jaksaan Tinggi Sumatera Utara.

Meski be­gitu, Kejagung tetap menunggu ha­sil audit BPKP un­tuk akurasi pembuktian di penga­dilan.  

Komunitas teknologi in­formasi komunikasi memprotes Kejak­sa­an Agung yang men­e­tap­kan ko­lega mereka, bos PT IM2 sebagai tersangka.

Menurut Sekjen Dewan Pengu­rus Harian Masyarakat Tele­Ma­tika Indonesia Mas Wigrantoro, sangkaan Kejagung bahwa PT IM2 merugikan keuangan negara karena tidak membayar peneri­ma­­an negara bukan pajak (PNBP), tidak tepat. “PT IM2 membayar sewa jari­ngan ke Indosat, se­lan­jutnya In­do­sat yang membayar PNBP ke ne­gara. Indosat sebagai pe­nye­leng­gara jaringan. Jadi, ti­dak ada ke­rugian negara,” tan­dasnya.

Reka Ulang

Antara Kasus Korupsi Dan Pemerasan

KASUS ini dilaporkan LSM Kon­sumen Telekomunikasi In­donesia (KTI) ke Kejaksaan Ting­gi Jawa Barat. KTI mela­porkan Indosat dan anak peru­sahaannya, yakni IM2 atas du­gaan penya­lahgunaan pita fre­kuensi 3G.

Indosat, Telkomsel dan XL me­­rupakan pemenang tender fre­kuensi 3G pada tahun 2007. Na­mun, menurut KTI, Indosat me­lakukan pelanggaran dengan menjual internet bergerak (broad­band) kepada IM2 yang tidak ikut tender.

Kejagung mengambil alih ka­sus tersebut dari Kejaksaan Ting­gi Jawa Barat, mengingat lokasi kejadian tidak hanya di wilayah Jawa Barat, tapi juga di Jakarta. Kemudian, Kejagung menggelar eskpos perkara yang diduga me­ru­gikan negara Rp 3,8 triliun ini.

Jaksa Agung Muda Pidana Khu­sus Andhi Nirwanto mem­ban­tah kasus ini diambil alih Ke­jaksaan Agung karena nilai ke­rugian negaranya mencapai triliunan rupiah. “Bukan karena ke­rugian negaranya lebih besar. Kalau hanya level Jawa Barat, wilayah hukumnya hanya Jawa Barat. Tapi kalau kami yang tangani, wilayah hukumnya akan lebih luas,” katanya.

Ketua LSM KTI Denny AK yang melaporkan dugaan korupsi itu ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, belakangan ditetapkan Pol­da Metro Jaya sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap Di­rektur Utama Indosat Harry Sa­songko Tirtotjondro.

Menurut Kepala Bidang H­u­mas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto, penyidik berusaha mempercepat pemberkasan kasus pemerasan ini, agar bisa segera dilimpahkan ke kejaksaan. Selain memeriksa tersangka, penyidik Polda juga sudah melengkapi berkas perkara dengan ketera­ngan saksi-saksi.

Saksi dalam kasus ini sekaligus merupakan korban pemerasan tersangka Denny sebesar dua ribu dolar Amerika Serikat. “Saksi-saksi dan keterangan tersangka tengah diberkas,” katanya.

Saat penangkapan Denny, lanjut Rikwanto, polisi mene­mukan uang dalam bentuk dolar Amerika. Uang dalam amplop coklat tersebut disita langsung dari tangan Denny.

Tersangka, kata Rikwanto, se­belumnya menyurati Dirut Indo­sat. Surat itu berisi sejumlah ma­salah yang berkaitan dengan ope­rasional provider Indosat. Di su­rat tersebut, Denny meminta Di­rut Indosat menemuinya. Jadwal pertemuan ditentukan tersangka dalam kurun waktu 3x24 jam.

“Bila tidak mau menemuinya, tersangka mengancam akan mempublikasikan kebobrokan operasional provider tersebut,” cerita Rikhwanto.

Tapi, pihak Indosat tidak meng­gubris ancaman Denny. Belakangan, Denny  mengirim SMS dan telepon agar Indosat se­gera menanggapinya. Karena di­desak terus, lanjut Rikwanto, ak­hirnya pihak Indosat menemui Denny. Lalu, bebernya, perte­muan Denny dengan kuasa hu­kum Indosat dilaksanakan pada Ju­mat siang, 20 April lalu. Pe­r­te­muan dilakukan di sebuah resto­ran di Plaza Indonesia, Jakarta.

Dalam pertemuan itu, kata Rik­wanto, Denny mengajukan per­min­taan berupa uang “tutup mulut”. Jumlah yang diajukan pun sangat fantastis. “Dia me­minta miliaran rupiah kepada Dirut Indosat,” ucapnya. Tapi tim kuasa hukum Indosat berusaha nego. Maksudnya, uang akan diberikan tapi tidak secara tunai. “Indosat setuju untuk membe­ri­kan secara bertahap,” ujarnya.

Awalnya, Indosat me­nye­rah­kan dua ribu dolar Amerika dulu. Begitu uang diterima Den­ny, po­lisi yang mendapat laporan kasus ini menangkapnya. Kepala Sub Di­rektorat Keamanan Negara Polda Metro Jaya AKBP Daniel Bolly Tifauna menyatakan, ter­sangka langsung ditahan di Polda Metro untuk kepentingan pe­nyidikan.

Aneh, Setelah Tetapkan Tersangka Bergantung BPKP

Pieter Zulkifli, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Pieter Zulkifli menyampaikan, semestinya kasus-kasus besar yang mengindikasikan kerugian negara ditangani penegak hu­kum secara serius. Kejaksaan Agung, kata Pieter, semestinya sudah siap sejak awal me­na­ngani kasus, sehingga tidak ter­hambat urusan teknis.

“Kalau sudah ada tersangka, artinya Kejaksaan Agung sudah punya bukti-bukti kuat. Maka­nya, aneh jika Kejagung kemu­dian bergantung pada hasil audit BPKP,” ujar Pieter.

Pieter menambahkan, proses penyidikan jangan dibuat me­ngambang atau hanya lips ser­vice. “Sejak penetapan ter­sang­ka, seharusnya sudah cukup bukti kerugian negaranya. Ka­lau kemudian muncul ar­gu­men­tasi macam-macam, misalnya menunggu hasil audit dari BPKP, itu argumentasi basi,” tandasnya.

Maksudnya, lanjut dia, saat Kejaksaan Agung menetapkan seseorang sebagai tersangka, se­mestinya sudah terpenuhi un­sur-unsur untuk penyidikan hing­ga pe­nuntutan. “Sejak awal semes­tinya sudah ada peng­hi­tu­ngan yang sangat matang, se­hingga berani menetapkan seseorang sebagai tersangka,” katanya.

Meski demikian, Pieter ber­harap, Kejaksaan Agung bisa melakukan komunikasi yang baik dengan Badan Penga­wa­san Keuangan dan Pe­m­ba­ngu­nan agar proses audit bisa se­ge­ra diselesaikan.

Curiga Kenapa Begitu Lama

Alvon Kurnia Palma, Ketua YLBHI

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma menyatakan, penghitungan kerugian negara dalam kasus IM2 memang penting.

Menurutnya, aneh bila per­kara ini dibawa ke pengadilan tanpa nilai kerugian negara yang jelas. “Dalam konteks itu, memang ha­rus tahu berapa ke­rugian nega­ra­nya. Kalau sudah ada, ya harus di­lanjutkan ke pro­ses penun­tutan,” ujar Al­von, kemarin.

Kendati begitu, Alvon me­ngingatkan, hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bu­kan­lah segalanya. Karena sudah berani menetapkan tersangka, semestinya Kejagung telah me­miliki angka kerugian negara dalam kasus ini. Hasil audit BPKP hanya penguat.

“Hasil kajian BPKP itu pen­ting, tapi bukan satu-satunya. Artinya, kejaksaan tetap bisa melanjutkan kasus ini ke pe­nga­dilan tanpa harus menunggu BPKP,” ujarnya.

Hanya, lanjut dia, bila tidak ada hasil audit BPKP, proses perumusan dakwaan dan pasal-pasal yang dilanggar menjadi lemah. “Hasil audit itu akan dirumuskan dalam dakwaan. Nah, dakwaan bisa lemah kalau tak ada audit BPKP,” ujarnya.

Tapi, Alvon curiga, mengapa audit BPKP berlangsung lama. “Apakah benar kejaksaan sudah minta ke BPKP? Berapa lama diajukan? Berapa orang BPKP yang mengerjakan hal ini? Ada­kah permainan?” ucapnya.

Dia menambahkan, Kejak­sa­an Agung bisa meminta BPKP segera menyelesaikan audit. Selanjutnya, proses penuntutan dan persidangan akan mem­buk­tikan, apakah dakwaan terbukti atau tidak.

“BPKP bisa didesak menye­lesaikan penghitungan kerugian negara, jika jaksa su­dah yakin menemukan kerugian negara. BPKP hendaknya se­ge­ra me­ngeluarkan besaran ke­ru­gian ne­gara itu. Setelah itu, ke­jak­saan bisa susun berkas untuk dilimpahkan ke pengadilan,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA