"Program meredam radikalisme yang didengung-dengungkan pemerintah selama ini nyaris tak terdengar lagi, cuma 'hangat-hangat tahi ayam'," kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, kepada wartawan, Kamis (17/5).
Padahal, menurutnya, ada dua hubungan mendasar dalam teori transformasi dari radikalisme menuju teroris. Pertama, terbentuknya "kondisi juang" sebuah perlawanan. Pada kondisi ini para pelaku berjuang lewat opini dan bahkan politik agar pemerintah dan aparat semakin toleran terhadap radikalisme.
"Semakin toleran aparat pemerintah terhadap radikalisme maka semakin luas kondisi juang yang dibentuk, dan tidak mustahil akan terbentuk daerah tertentu menjadi daerah radikal. Sekarang pentahapan ini sudah berhasil di beberapa daerah di Indonesia," ucapnya.
Dan pada umumnya, lanjut mantan Sekretaris Militer Presiden ini, personel-personel radikal adalah sumber potensial untuk direkrut menjadi teroris . Menurut data, tingkat "kerelaan menjadi martir" dari kelompok radikal yang kemudian menjadi teroris, menduduki angka paling tinggi.
Politisi PDI Perjuangan ini menyatakan, teroris di Indonesia tidak akan habis selama radikalisme tak ditangani dengan serius, apalagi pemerintah sekarang cenderung bersikap toleran bahkan kooperatif terhadap radikalisme.
"Dalam lima tahun terakhir ini pemerintah keok menjaga pluralisme. Kalau ini terus dibiarkan, tidak mustahil dalam dekade 10-15 tahun ke depan, Pancasila, plurarisme dan bahkan NKRI hanya tinggal cerita," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: