PILGUB DKI

Ini Cara Jitu Meredam Janji Palsu Calon Gubernur

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Selasa, 15 Mei 2012, 14:14 WIB
Ini Cara Jitu Meredam Janji Palsu Calon Gubernur
ilustrasi
RMOL. Kontrak politik antara masyarakat dengan calon pemimpinnya harus dijalankan lebih dari sekadar norma. Kontrak politik harus membuat sang kandidat tahu bahwa ada sanksi yuridis yang akan diterimanya bila tidak terjadi pemenuhan atas janji-janji kampanye.

Jelang Pilkada Juli nanti, warga Jakarta sudah kebanjiran janji-janji pasangan calon. Tidak seperti pilkada-pilkada lalu, tahun ini ada enam pasangan yang berkompetisi menuju puncak kekuasaan DKI. Bisa dibayangkan berapa ribu janji manis sudah mereka lontarkan demi meraih dukungan terbesar dari publik. Tapi apakah ketika mereka berhasil duduk di kursi panas, janji-janji itu masih berlaku?

Menurut pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, harus ada cara yang lebih mungkin menjamin terwujudnya sistem pemerintahan yang lebih baik. Salah satu caranya adalah kontrak politik kandidat dengan masyarakat. Tapi, isi kontrak politik harus terukur, konkrit dan masuk akal.

"Gagasan itu bagus supaya tidak ada calon yang seenaknya bikin janji dengan masyarakat di suatu wilayah, dan dia bebas begitu saja ketika dia berkuasa kendati janjinya tak terpenuhi," terang Margarito saat diwawancara Rakyat Merdeka Online, Selasa (15/5).

Dia mencontohkan, bila ada seorang kandidat kepala daerah yang berjanji kepada sekelompok warga di sebuah wilayah untuk memperbaiki jalan raya di kawasan mereka dalam kurun waktu tertentu, maka janji itu bisa dimasukkan ke dalam kontrak politik yang berkekuatan hukum. Rakyat sendiri yang terlibat dalam perjanjian tersebut, tidak lagi-lagi menjadi pihak ketiga yang diwakili oleh partai politik.

"Berdasar sebuah kontrak politik, sekelompok warga di kelurahan X atau kecamatan X terbukti memberikan dukungan pada si kandidat karena dijanjikan sesuatu. Pada akhirnya si kandidat menang, tapi janjinya tak terbukti, maka mereka bisa menggugat itu ke pengadilan," jelasnya mencontohkan.

Menurut dia, soal sanksi tak perlu ditorehkan dalam draft kontrak politik. Janji seseorang kandidat pemimpin pada warga pemilih bisa digugat secara perdata asalkan ada bukti-bukti yang valid.

Namun jangan lupa, lanjutnya, perjanjian itu haruslah diajukan oleh orang-orang yang merdeka atau bersepakat secara merdeka tanpa diimingi atau ditekan oleh pihak lain.

"Lebih baik gugatan itu tidak usah diberi bentuk, jadi gugatan bisa diajukan secara individu, jangan dibatasi harus class action," tegasnya.

Bahkan, Margarito mengatakan, model kontrak politik demikian bisa dimasukkan ke dalam RUU Pemilihan Kepada Daerah mendatang agar para kandidat tidak bisa seenaknya berjanji kosong pada rakyat.

"Gagasan ini penting dan bagus supaya calon tidak seenaknya menipu rakyat," tandasnya.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA