Polisi Dalami Dugaan Siti Fadilah Tunjuk Rekanan

Kasus Pengadaan Alat Kesehatan Tahun 2005

Senin, 16 April 2012, 09:03 WIB
Polisi Dalami Dugaan Siti Fadilah Tunjuk Rekanan
Siti Fadilah Supari
RMOL.Fakta persidangan menjadi bahan bagi penyidik Mabes Polri untuk mempertimbangkan status hukum bekas Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari.

Polisi bersikukuh belum mene­tap­kan anggota Dewan Pertim­ba­ngan Presiden (Wantimpres) itu sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) tahun anggaran 2005.

Kepastian soal belum adanya pe­ne­tapan status tersangka ter­ha­dap Siti ditegaskan Kepala Biro Pe­nerangan Masyarakat Polri Brigjen M Taufik. Senada dengan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Saud Us­man Nasution, Taufik mengatakan, ter­sangka kasus ini baru empat orang.

Keempat tersangka yang kini berstatus terdakwa, berasal dari Kementerian Kesehatan dan perusahaan rekanan. Tersangka berinisial MH adalah Pejabat Pem­buat Komitmen (PPK), HS adalah panitia pengadaan, MN selaku Direktur Operasional dari PT I. Dia diduga berperan sebagai penyedia barang atau pemenang lelang. Tersangka terakhir adalah MS, Direktur Utama PT MM yang bertindak sebagai sub kontraktor.

Tapi, Taufik mengaku tidak tahu kapan keempatnya menyan­dang status tersangka. Dia juga mengaku belum bisa men­je­las­kan bagaimana mekanisme pe­na­hanan keempat tersangka terse­but. Ia beralasan, hal tersebut akan diklarifikasi lebih dulu ke penyidik Tipikor Bareskrim Polri.

Dia menampik, simpang siur­nya penetapan status hukum ter­ha­dap Siti, terkait intervensi pi­hak tertentu atau karena bekas Menkes itu, kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden. “Penyidik mempunyai kewe­na­ngan menentukan status hukum kepada setiap orang,” ujarnya.

Intinya, persoalan menyangkut sta­tus Siti, menunggu tuntasnya pro­ses persidangan di Pengadilan Tin­dak Pidana Korupsi (Tipikor) Ja­karta. Artinya, Mabes Polri ti­dak me­nutup kemungkinan akan me­ning­katkan status Siti dari saksi men­jadi tersangka. “Bila ada bukti-bukti dan unsur-unsur yang men­guat­kan, bisa dijadikan tersangka,” tandasnya.

Menurut Kadivhumas Polri Saud Usman, dalam kasus ini, be­kas Menkes itu diduga menge­ta­hui mekanisme pelaksanaan pro­yek alkes tahun 2005. “Dugaan bah­wa Siti melakukan penunju­kan langsung kepada PT Indo­far­ma sebagai pemenang proyek, te­ngah kami dalami,” tandasnya.

Tapi, dia mengaku belum tahu apakah Siti pernah diperiksa da­lam kasus ini atau belum. Yang je­las, lanjutnya, Siti datang ke Ba­reskrim pada Senin lalu (9/4). Ke­datangannya untuk mengkla­ri­fikasi perkara alkes yang di­ta­ngani Polri. Bukan atas dasar pang­gilan untuk menjalani pemeriksaan.   

Sampai saat ini, tambah dia, Bar­­eskrim masih mempelajari apa­kah kebijakan penunjukan lang­sung itu menyalahi aturan atau tidak. Pendalaman kasus ini di­lakukan untuk memastikan, apa­kah kebijakan penunjukan lang­sung itu berdampak pada kebo­coran anggaran negara atau tidak.

Dalam proyek yang menelan to­tal anggaran Rp 15,5 miliar ini, po­lisi menduga ada anggaran se­nilai Rp 6,1 milar yang dikorupsi. Se­lebihnya, Saud membantah bah­wa Polri ragu menentukan sta­tus Siti. Menurutnya, begitu ada alat bukti dan fakta yang bisa men­jadikan Siti tersangka, hal tersebut akan dilakukan kepo­lisian. “Siapa pun diperlakukan sama, tanpa pengecualian,” kata bekas Kepala Detasemen Khusus 88 Polri ini.

Mengenai empat tersangka ka­sus ini, Saud menyatakan, mereka kooperatif alias tidak memper­su­lit penyidikan. Dengan per­tim­bangan itu, kepolisian berhak ti­dak menahan keempatnya.

Sementara itu, Jaksa Agung Basrief Arief membenarkan, pi­hak­nya telah menerima Surat Pem­­beritahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) atas nama Siti Fadilah Supari dalam kasus korupsi pe­ngadaan alat kesehatan. “Oh itu. Su­dah diterima di Pidsus. Tapi, saya tidak ingat kapan dite­rima­nya,” katanya pada Jumat kemarin.

Kasus-kasus korupsi di Depkes (kini Kementerian Kesehatan), bu­kan hanya ditangani KPK, tapi juga ditelisik Mabes Polri dan Kejak­sa­an Agung. Bareskrim Mabes Polri se­jak awal 2010 juga me­nangani ka­sus korupsi di Departemen K­e­sehatan, dengan ter­sangka pertama Kepala Sub Ba­gian Program dan Anggaran Sek­retariat Badan Pe­ngem­­ba­ngan dan Pemberdayaan Sum­ber Daya Manusia Syamsul Bahri.

Syamsul diduga menyele­we­ng­­kan tender pengadaan alat ban­tu belajar mengajar pendidikan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rujukan di Badan Pengem­bangan dan Pember­da­ya­an Sumber Daya Manusia (BP2SDM) senilai Rp 15 miliar. Ke­­jak­saan Agung juga me­na­nga­ni kasus korupsi di Depkes, de­ngan tersangka, antara lain Syamsul itu.

Reka Ulang

Bermula Dari Keterangan Saksi Di Tipikor

Status bekas Menteri Keseha­tan Siti Fadilah Supari dalam ka­sus korupsi di Departemen Ke­se­hatan yang ditangani Bareskrim Polri, simpang siur. Saksi atau tersangka?

Direktur Tindak Pidana Ko­rup­si Bareskrim Polri Brigjen Noer Ali tidak mau menjawab per­ta­nya­an itu secara tegas. Ali ber­ala­san, pihaknya masih menggodok hal tersebut. “Saya tidak kom­pe­ten memberikan keterangan. Saya sudah sampaikan datanya ke Kadivhumas,” ujarnya saat di­hubungi pada Kamis lalu (12/4).

Tapi, menurut sumber di Ti­pi­kor Bareskrim, penjelasan ten­tang sta­tus Siti tercantum dalam surat panggilan saksi-saksi. “Para saksi di­panggil untuk dimintai kete­ra­ngan mengenai dugaan ke­terlibatan tersangka bekas Men­kes dalam kasus alkes tahun 2005,” tegasnya.

Apa yang disampaikan sumber tersebut, senada dengan kesak­sian Mulya Hasmy, bekas Kepala Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan Departemen Ke­se­ha­tan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta pada Kamis itu.

Mulya menjadi saksi untuk ter­dakwa M Naguib, yang pada pro­yek itu adalah Direktur Pe­ma­saran salah satu anak perusa­haan PT Indofarma. Naguib di­sidang de­ngan agenda pemerik­saan saksi.

Informasi Siti telah berstatus ter­sangka terungkap ketika salah satu penasihat hukum terdakwa, me­na­nyakan kapan Mulya di­pe­riksa di Mabes Polri. “Kapan sak­si terakhir di­periksa penyidik Ba­reskrim Ma­bes Polri, dan da­lam kai­tan apa,” tanya penasehat hu­kum. “Saya diperiksa sebagai saksi untuk ter­sangka Siti Fadilah Supari, sekitar dua pekan lalu” jawab Mulya.

Tapi, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution menyatakan, status Siti belum tersangka. “Sampai saat ini be­lum tersangka. Kami akan kla­ri­fikasi apakah memenuhi unsur atau tidak,” katanya.

Namun, sumber di Kejaksaan Agung menyatakan, pihaknya su­dah menerima Surat Pem­be­ri­ta­hu­an Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari kepolisian dengan nama Siti Fa­dilah Supari, dalam per­kara ko­rupsi pengadaan alat-alat kese­ha­tan. “Kami sudah teri­ma SPDP-nya. Selanjutnya, kami menunggu ber­kasnya,” ujarnya, tadi malam.

Khawatir Penyidik Tidak Merdeka

Marsudhi Hanafie, Purnawirawan Polri

Bekas Ketua Tim Pencari Fak­ta (TPF) Kasus Pembu­nu­han Munir, Brigjen (Purn) Mar­sudhi Hanafie berharap, pe­nyi­dik kepolisian, KPK dan ke­jaksaan profesional meng­ha­dapi  intervensi. Dengan begitu, penyidik bisa proporsional da­lam menangani berbagai kasus, khususnya yang diduga me­li­batkan elit negeri ini.    

Menjawab pertanyaan soal pe­ngusutan kasus korupsi pe­ngadaan alat kesehatan (alkes), Marsudhi menilai ada ke­jang­galan. Soalnya, bagaimana mung­kin pihak kepolisian me­nyatakan status bekas Menkes belum tersangka. Padahal, Jak­sa Agung mengaku sudah me­nerima SPDP.

“Ini kan janggal. Jika benar sudah terbit SPDP, maka jaksa tinggal menanyakan bagaimana kelanjutan SPD itu,” katanya.

Jika tak kunjung ada keje­la­san, dia khawatir, keberadaan SPDP hanya untuk meredam opi­ni publik semata. Bisa saja dengan SPDP itu, penyidik ingin menunjukkan bahwa me­reka konsisten mengusut kasus tersebut.

Tapi yang paling penting, ke­jaksaan dan kepolisian me­n­jelaskan kepada publik tentang pengusutan kasus ini. “Sudah sejauhmana penanganannya,” tutur alumnus Akademi Kepo­lisian tahun 1973 ini.

Marsudhi curiga, tertutupnya pengusutan perkara, kemung­kinan dilatari intervensi kepada penyidik. “Saya khawatir pe­nyidik sudah tidak merdeka lagi,” ucapnya.

Maksud dia, ada kekuatan ter­tentu yang kemungkinan mem­belokkan arah pengusutan se­buah perkara. Idealnya, ini tidak terjadi. Sebab, penyidik punya in­depensi dalam menangani ka­sus. Tapi persoalannya, kuatnya intervensi itu seringkali menga­lahkan independensi penyidik.

Marsudhi menambahkan, mu­tasi penyidik juga menjadi fak­tor yang membuat kasus-kasus tertentu berhenti pena­nga­nannya. “Ini seringkali ter­jadi. Mutasi penyidik ke tempat yang tidak pas membuat banyak ka­sus tidak tuntas.”

Fakta Persidangan Luput Perhatian

Syarifuddin Suding, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Syarifuddin Suding menilai, le­mahnya koordinasi antar lem­baga penegak hukum membuat penanganan perkara lamban. Komisi III DPR mendesak agar kasus model ini diselesaikan secepatnya.

Menurutnya,  penanganan ka­sus alkes harus proporsional. Maksudnya, jelas dulu siapa lembaga yang menanganinya. Apakah KPK, Kejaksaan Agung atau Polri. Soalnya, tiga institusi penegak hukum ter­se­but, semua mengklaim mena­ngani kasus korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) D­e­par­te­men Kesehatan.

Lalu, lembaga penegak hu­kum seharusnya memaparkan hasil pengusutan kasus ini. “Tiga lembaga penegak hukum itu hendaknya segera men­g­ekspos sejauhmana penanganan kasus alkes ini,” ujarnya.

Dengan begitu, simpang-siur­nya status hukum bekas Men­teri Kesehatan Siti Fadilah Supari bisa terjawab. Jangan sampai polisi bilang belum ter­sangka, tapi sudah ada SPDP di Kejaksaan Agung. Lebih ber­ba­haya lagi,  kesaksian di per­si­da­ngan yang seharusnya men­jadi fakta hukum justru luput dari penelusuran.

Jika polemik model ini di­biarkan, proses penegakan hu­kum terancam. Masa depan dan kualitas hukum Indonesia pun dikhawatirkan tidak jelas. Kalau sudah begitu, masyarakat bisa antipati pada penegak hukum.

“Adanya perbedaan dalam penanganan kasus hukum sa­ngat signifikan. Jadi sebaiknya, jangan ada lagi tebang pilih. Siapa pun yang melanggar hu­kum hendaknya diproses sesuai aturan yang ada,” tandasnya.

Dengan begitu, masyarakat tak lagi alergi ketika berurusan de­ngan hukum. Terciptanya ik­lim demikian tentu jadi cita-cita ber­sama. Jadi, selain perlu pem­be­­nahan lembaga penegak hu­kum dan jajaran aparatnya, DPR mengajak masyarakat me­ning­katkan intensitas penga­wasan pada lembaga penegak hukum.

“Jika ada temuan penyim­pa­ngan segera laporkan agar ins­titusi penegak hukum bisa lebih mampu mempertang­gung­ja­wab­­kan kinerja mereka.” [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA