"Zaman Soeharto hanya 30 persen yang dikorupsi. Sekarang korupsi dilakukan bukan hanya pada level pelaksanaan, tapi juga pada level pembahasan termasuk di DPR. Inilah yang mengakibatkan anggaran naik tiga kali tapi nyaris tidak sampai ke rakyat. Tidak sampai ke rakyatnya nyaris sempurna," ujar ekonom yang juga tokoh perubahan, DR. Rizal Ramli, dalam acara Saresehan Anak Negeri di Jakarta, Kamis malam (12/4).
Hal mendasar lain yang membuat rakyat miskin makin banyak sekalipun ada banyak program yang dibuat oleh pemerintah untuk mengatasi hal itu, lanjut dia, adalah karena kesalahan pikir dari pemerintah dalam merancang bangun postur anggaran pada khususnya, dan perekonomian nasional kita pada umumnya. Konstruksi yang dijalankan rezim SBY-Boediono sangat neolib, alias memuja pasar bebas. Harga-harga dipaksakan naik sesuai dengan harga internasional. Biaya kesehatan, biaya energi dan yang lainnya dipatok dengan biaya internasional, sementara pada saat yang sama pemerintah sama sekali tidak peduli dengan besaran pendapatan rakyat.
"Harga-harga dipaksa dinaikkan sementara pendapatan rakyat pendapatan Melayu, pendapatan sangat rendah yang hanya cukup untuk makan saja. Ini sama artinya mendorong puluhan juta rakyat masuk ke jurang kemiskinan. Walaupun anggaran ditambah tapi sistem sendiri memaksa rakyat menjadi miskin. Ini rezim neolib yang sangat bertentangan dengan UUD 45," kata mantan Menteri Koordinator Perekonomian itu.
Jelas, sambung Rizal, pola pikir rezim SBY-Boediono sangat sesat. Bagaimana bisa, seorang sopir taksi misalnya, harus membayar 2 juta rupiah untuk menyekolahkan anaknya ke SD, dan untuk SLTP 3-4 juta rupiah, sementara disebut-sebut anggaran untuk pendidikan sebesar 20 persen dalam anggaran belanja negara.
"Faktanya kan begitu. Ini benar-benar tidak betul," tegasnya.
Mantan Menteri Keuangan ini tak habis pikir kenapa pemerintah dan elit kekuasaan mengotak atik permasalahan subsidi BBM yang kalau dicabut hanya menambah APBN sekitar 14 triliun saja, sementara sama sekali tidak mempermasalahkan subsidi bunga obligasi sebesar 60 triliun rupiah yang dinikmati para bankir. Bukankah subsidi yang diterima para para bankir ini yang seharusnya dipermasalahkan?
"Ini (subsidi BBM) ecek-ecek, kenapa tidak subsidi bunga obligasi yang dipermasalahkan. Kenapa ini tidak pernah ada yang meributkan," tanyanya.
Dari konteks itu, kata mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) ini mengingatkan, subsidi tak lain hanya sebagai lahan KKN di pemerintahan. Rakyat dicekoki seolah-olah subsidi buat rakyat padahal sebenarnya tidak. Rakyat hanya menanggung pil pahit saja.
"Kenapa tidak disikat mafia Migas yang mendapatkan manfaat dari setiap impor. Kenapa tidak ini dulu yang disikat," tantang mantan aktivis mahasiswa yang pernah dipenjara di Bandung tahun 1978/79 karena menentang rezim otoriter Orde Baru itu.
[dem]
BERITA TERKAIT: