Pertanyaan itu pantas diÂajukan, mengingat Kejagung tiÂdak menahan dan belum menÂcekal tujuh tersangka kasus ini. PaÂdahal, nilai kerugian negara daÂlam perkara ini, menurut KeÂjaÂgung sangat besar, yakni Rp 200 miliar. Dengan nilai kerugian neÂgaÂra sebesar itu, apakah KeÂjaÂgung tak khawatir para tersangka akan melarikan diri ke luar negeri?
Apalagi, kasus korupsi yang tersangkanya tidak ditahan, bisa tak kunjung masuk ke pengadilan lantaran tak ada batas waktu peÂnuntasannya. Itulah yang diseÂbut kasus mangkrak. Akankah perÂkara proyek fiktif ini bakal mangÂkrak? Cuma heboh di awal peÂnaÂnganannya, tapi akhirnya tak jeÂlas. Seperti hilang ditelan waktu.
Tapi, Jaksa Agung Basrief Arief mengklaim, jajarannya saÂngat serius mengusut kasus proÂyek fiktif perbaikan lingkungan dengan teknologi bioremediasi yang dilakukan perusahaan mulÂtinasional, PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) di Riau, SuÂmatera.
“Untuk kasus Chevron, kalau diÂtanya keseriusan, saya bisa nyaÂtakan bahwa sekali kami meÂningÂkatan kasus ini ke penyidikan, tidak ada kata surut. Penyidikan harus berlangsung terus secara profesional dan proporsional,†ujar Basrief seusai mengikuti acaÂra kinerja akhir tahun Kejaksaan Agung, di Sasana Pradana, GeÂdung Utama, Kejaksaan Agung, Kamis (22/3).
Meski Basrief mengaku sangat serius, Kejaksaan Agung belum menahan tujuh tersangka kasus ini, yakni ER, WB, KK, HL, RP, AT dan DAF. Bahkan, para terÂsangka yang masih bebas keÂluÂyuran itu belum dicegah ke luar neÂgeri.
“Mengenai pencekalan, tenÂtu kami akan melakukannya, seÂpanjang menurut penyidik diÂbuÂtuhkan pencekalan,†alasannya.
Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Arnold Angkouw juga meÂnepis bahwa kasus ini bakal mangkrak. Dia mengatakan, kasus ini bakal bergulir hingga ke Pengadilan Tindak Pidana KoÂrupÂsi (Tipikor). “Kami yakin daÂpat membuktikan perkara ini. Lalu, kami ajukan ke pengaÂdiÂlan,†ujarnya.
Keyakinan bahwa kasus ini bakal tuntas di pengadilan, lanjut Arnold, lantaran perkara tersebut ditangani tim penyidik yang hanÂdal dan didukung barang bukti yang cukup.
“Kami sudah meÂnganÂtongi semua dan siap memÂbukÂtiÂkannya,†ucap bekas Kepala KeÂjaksaan Tinggi Sulawesi Utara ini.
Pengusutan kasus ini, lanjut Arnold, melibatkan sejumlah piÂhak yang memahami ilmu bioÂreÂmeÂdiasi dari sebuah perguruan tinggi besar. Bioremediasi adaÂlah cara untuk menormalkan kemÂbali tanah-tanah yang terkena limÂbah akibat adanya penamÂbaÂngan minyak.
“Ini mengingatkan saya, saat mengusut perkara pemetaan huÂtan. Saya berguru selama tiga buÂlan di Bandung, untuk memaÂhaÂmi soal pemetaan itu. Perkaranya daÂpat dibuktikan di pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung,†ucapnya.
Menurut Kepala Pusat PeneÂraÂngan Hukum Kejagung Adi Toegarisman, semestinya PT CPI melakukan pemulihan lahan beÂkas tambang mereka di Riau. Tapi, PT CPI mempercayakan proÂyek pemulihan lingkungan deÂngan teknologi bioremediasi itu, dilaksanakan PT Green Planet InÂdonesia dan PT Sumigita Jaya.
Persoalannya, lanjut Adi, keÂdua perusahaan itu tidak meÂmeÂnuhi klasifikasi teknis dan serÂtiÂfikasi dari pejabat berwenang sebÂÂagai perusahaan yang bergeÂrak di bidang pengolahan limbah. Kedua perusahaan itu hanya konÂtraktor umum, dan proyek ini fikÂtif sehingga menimbulkan kÂeÂruÂgian negara sekitar Rp 200 miliar.
Pembayaran atas pengerjaan proyek itu, menurut Adi, diajukan ke Badan Pelaksana Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MiÂgas). “Tapi, pekerjaan yang naÂmaÂnya bioremediasi ini tidak diÂkerjakan. Padahal, cost recovery-nya itu diajukan ke BP Migas,†tandas dia.
Kejagung menduga proyek ini fiktif. Nah, anggaran yang sudah dicairkan BP Migas untuk proyek ini sekitar Rp 200 miliar. Dari siÂtulah angka kerugian negara daÂlam perkara ini didapat penyidik.
Untuk pengusutan lebih lanjut, Adi menyampaikan, penyidik masih memanggil dan memeriksa sejumlah pihak. Pada Kamis lalu (22/3), Kejagung memanggil lima saksi yakni, Id, RA, A, RT dan W. “Saksi-saksi itu berasal dari PT Chevron dan KemenÂteÂriÂan LingÂkuÂnÂgan Hidup,†katanya.
Belum Ada Tersangka Dari BP Migas
Reka Ulang
Penyelidikan atas kasus proyek fiktif perbaikan lingkuÂngan bekas lahan tambang PT Chevron Pasific Indonesia (CPI), dimulai sejak Oktober 2011 berÂdaÂsarkan laporan masyarakat.
Menurut Kepala Pusat PeneraÂngan Hukum Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, tujuh tersangka kasus ini adalah ER, WB, KK, HL, RP, AT, dan DAF. Lima terÂsangka berasal dari PT CPI, seÂdangkan dua tersangka lainnya berasal dari pihak swasta.
Surat perintah penyidikan (sprindik) para tersangka itu diÂbagi tiga. Untuk tersangka HL, sprinÂdiknya nomor 26/F.2/FD.1/03/2012. Tersangka ER, WB dan KK sprindiknya nomor 27. SeÂdangkan tersangka RT, AT, dan DAF sprindiknya nomor 28. SÂeÂmentara ini, menurut Adi, belum ada tersangka dari BP Migas.
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto, peÂnyidik telah melakukan penyiÂdiÂkan mengenai anggaran kegiaÂtan pemulihan lingkungan di Riau tersebut. Kegiatan bioremediasi itu merupakan upaya untuk meÂnormalisasi kembali tanah yang telah terkena pencemaran lingÂkuÂngan akibat penambangan miÂnyak oleh Chevron.
Setelah adanya laporan dari maÂsyarakat dan penyidik melaÂkukan pendalaman, lanjut Andhi, ditemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi. Soalnya, kegiatan remediasi bertahun-tahun terÂseÂbut fiktif, sehingga merugikan neÂgara sekitar Rp 200 miliar.
Vice President Policy GovernÂment and Public Affair PT CheÂvÂron Pacific Indonesia, Yanto SianiÂpar mengaku bingung pada angka kerugian negara yang dilansir pihak Kejagung, yakni Rp 200 miliar.
Namun, Yanto menegaskan pihaknya tetap akan mengikuti segala prosedur hukum yang berlaku. “Saya tidak tahu menahu angka-angka yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Yang pasti, kami memiliki seluruh data terkait proyek bioremediasi dan akan kami jelaskan selama berjaÂlanÂnya pemeriksaan,†kata dia.
Yanto menjelaskan, kasus ini berawal dari perjanjian antara BP Migas dengan Chevron. PerÂjanÂjian itu antara lain mengatur tenÂtang biaya untuk bioremediasi (cost reÂcovery).
Uang Membuat Nyali Ciut
Dasrul Jabar, Anggota Komisi III DPR
Anggota Komisi III DPR Dasrul Jabar menilai, penguÂsuÂtan kasus korupsi apapun, terÂmasuk di sektor pertambangan, pasti bisa diusut tuntas hingga ke pengadilan. Asalkan, pimÂpiÂnan dan aparat penegak huÂkum berniat mengusutnya sampai tuntas.
“Semua persoalan korupsi, termasuk di sektor tambang, itu tidak rumit. Yang penting KeÂjaksaan Agung memiliki nyali atau keberanian serta kemauan. Nah, apakah mereka sungguh-sungguh memiliki nyali itu?†ujar Dasrul, kemarin.
Dasrul menambahkan, keterÂbaÂtasan sumber daya jaksa jaÂngan dijadikan penghambat unÂtuk menuntaskan kasus korupsi di sektor pertambangan ini.
“KeÂjagung bisa mengusut koÂrupÂsi di semua sektor. Sektor tamÂbang misalnya, bila jaksa tidak ahli soal rehabilitasi lingÂkungan, mereka bisa memangÂgil ahli. Mereka bisa membayar ahli untuk ikut mengusutnya. Sebab, anggaran negara ada. Selamatkan kekayaan negara, kembalikan kerugian negara,†katanya.
Persoalan mendasarnya, nilai Dasrul, faktor keberanian pimÂpinan dan aparat hukum masih sangat kurang. “Bukan karena tak ada kemampuan atau keÂahÂlian, tapi kepentingan, kekuaÂsaÂan dan uang yang membuat ciut nyali para pimpinan dan aparat penegak hukum,†tandas politisi Partai Demokrat ini.
Apalagi, lanjut Dasrul, kalau sudah berkaitan dengan jumlah uang yang besar, pengaruh poÂlitik dan keterlibatan pejabat, jaksa sering tidak berani. “Itu seÂharusnya tidak boleh terjadi. Siapa pun yang terlibat, mau orang Indonesia, orang asing atau pejabat, mesti diusut tunÂtas. Tunjukkan mereka meÂmiÂliÂki keberanian,†katanya.
Dasrul mendorong Kejaksaan Agung agar membuktikan bisa menuntaskan kasus-kasus koÂrupsi secara tranasparan tanpa ada permainan. “Silakan mereÂka membuktikan sejauh mana keÂberanian mereka mengusut kaÂsus itu,†ujarnya.
Kejagung Belum Cukup Menjanjikan
Erna Ratnaningsih, Peneliti KRHN
Peneliti senior LSM KonÂsorÂsium Reformasi Hukum NaÂsioÂnal (KRHN) Erna RatÂnaÂningÂsih menilai, pengusutan kaÂsus Chevron di tangan KeÂjakÂsaan Agung belum cukup menÂjanjikan.
Selain karena kepercayaan masyarakat mengenai pola kerja kejaksaan yang belum puÂlih, kasus korupsi sektor migas ini juga termasuk baru. “Saya duÂkung kejaksaan meÂngusutÂnya, tapi harus dibarengi peÂngaÂwasan yang sangat ketat dari berbagai elemen masyarakat, seperti NGO lingkungan hidup, media massa dan publik,†ujarnya, kemarin.
Erna menyampaikan, KejakÂsaan Agung juga bisa bekerja sama dengan berbagai elemen masyarakat untuk lebih serius mengusut kasus ini. “Sebab, NGO yang konsern di bidang ini cukup banyak. Mereka meÂmiliki data dan sumber daya yang tidak boleh dianggap reÂmeh dalam mengusut kasus seÂperti ini,†ujarnya.
Dia pun berharap, penguÂsuÂtan kasus ini menjadi pintu maÂsuk mengusut kasus-kasus koÂrupsi lainnya di sektor perÂtamÂbangan. “Semoga menjadi pinÂtu masuk, karena masih banyak kasus serupa,†kata bekas Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini.
Jika kewalahan melakukan pengusutan kasus-kasus koÂrupÂsi pertambangan, saran Erna, sebaiknya Kejaksaan Agung berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. “Terus terang, kalau KPK turun tangan mengusutnya, saya lebih optiÂmistis bisa tuntas,†katanya.
Menurut Jaksa Agung Muda PiÂdana Khusus Andhi NirÂwanÂto, berdasarkan koordinasi yang dilakukan KPK, Kejagung dan Polri mengenai pemetaan 10 sekÂtor rawan korupsi, Kejagung berkonsentrasi mengusut perÂkara korupsi pada sektor perÂtamÂbangan minyak dan gas (migas).
Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan, koordinasi peÂnanganan 10 sektor rawan koÂrupsi masih akan diÂkoorÂdiÂnaÂsiÂkan, hingga ada nota keseÂpaÂhaman antar tiga lembaga peÂneÂgak hukum itu.
Terkait kasus Chevron, meÂnuÂÂrut Zulkarnain, KPK akan meÂlakukan supervisi dan koorÂdiÂnasi, artinya tidak ada pemÂbaÂgian tugas dalam pemetaan 10 sektor rawan korupsi itu.
“Tidak, nanti kita koordinasi saja. Kita yang koordinasikan, supervisikan. Kita keroyok sama-sama korupsi ini,†kaÂtanya. [Harian Rakyat Merdeka]
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: