Demikian disampaikan Wakil Ketua Bidang Politik dan Jaringan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan, kepada
Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (Senin, 19/8)
Seperti diketahui, SBY dan Demokrat akhir-akhir ini terpojok akibat pemberitaan media yang menyorot rapuhnya partai Demokrat serta visinya yang anti korupsi tetapi faktanya tidak. Juga karena Presiden SBY lamban dalam mengambil keputusan-keputusan penting bangsa ini, terutama terkait dengan urusan-urusan kerakyatan.
"Pertemuan itu saya kira bentuk penggiringan kepada pers untuk bersepakat dengan Pemerintah terkait beberapa kebijakan-kebijakan yang akan diambil SBY, salah satunya kebijakan kenaikan BBM. Saya kira perlu diwaspadai juga bahwa pertemuan itu jangan sampai menjadi cara baru kekuasaan dalam mengekang kebebasan pers di Indonesia," kata Ridwan.
Pertemuan tersebut juga bisa dimaknai sebagai jawaban atas polemik yang beredar beberapa waktu lalu bahwa Demokrat terpojok akibat keberadaan mereka yang tidak memiliki media televisi seperti halnya partai Golkar atau Nasdem. "Bisa saja dimaknai demikian," tambahnya.
Materi yang diungkap dalam forum silaturrahmi itu, kata Ridwan lagi, tak ada yang baru. SBY tetap mengedepankan pencitraan dan selalu mengidentifikasikan dirinya korban dalam komunikasi politiknya.
"Bagi saya tidak ada yang baru dari pertemuan semalam. Lagi-lagi pencitraan, seolah-olah korban, akan ada yang menggulingkannya, dan lain-lain," tandas Ridwan yang belakangan getol menggugat keberadaan PT Freeport di PN Jakarta Selatan.
[ysa]
BERITA TERKAIT: