"Agar perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang SPBU milik asing dapat bersaing di Indonesia, seperti SPBU Shell dan Petronas," kata Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia (KP3I), Tom Pasaribu, kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Senin, 27/2).
Tom menduga, kedua perusahaan asing itu mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk membatasi maupun menaikkan BBM bersubsidi dan bila dianggap perlu, harus menghilangkan BBM jenis Premium dari pasaran, supaya masyarakat dengan terpaksa menggunakan jenis Pertamax sehingga Shell dan Petronas dapat hidup di Indonesia.
"Harusnya pemerintah jujur dan berterus terang pada rakyat, namun pemerintah selalu berlindung dengan kalimat subsidi sebagai senjata ampuh untuk meluluhkan hati rakyat," lanjut Tom.
Kenyataan di sisi lain, istilah subsidi adalah senjata pemerintah untuk menggerogoti APBN. Hal tersebut dapat dilihat dari seluruh temuan BPK tentang subsidi yang dilakukan pemerintah sejak 31 Desember 2008. Subsidi Benih Ikan sebesar Rp 19,270,251,000; subsidi BBM sebesar Rp 866,542,591,000; subsidi LPG sebesar Rp 57,024,692,990; subsidi listrik sebesar Rp 4,705,443,232,936 dan subsidi Pupuk sebesar Rp 2,844,357,844,858. Subsidi benih sebesar Rp 508,321,232,420; subsidi pangan sebesar Rp 913,470,485,100; subsidi perawatan beras sebesar Rp 39,115,727,252; subsidi minyak goreng sebesar Rp 1,245,992,000; subsidi PT. Pelni sebesar Rp 268,842,667,873; subsidi PT KAI sebesar Rp 136,166,250,000; subsidi PT Pos sebesar Rp 29,687,500,000.
"Kami mendesak pemerintah berlaku jujur kepada rakyat apakah beban APBN diakibatkan subsidi BBM atau disebabkan kebocoran dengan pola-pola korupsi yang dilakukan para pejabat di negeri ini," tandas Tom.
[ald]
BERITA TERKAIT: