PAM Jaya dan kedua mitra asing, yaitu PT. Palyja dan PT Thames PAM Jaya (PT Aetra) tidak mau membenahi kesalahan yang ada. Bahkan, perubahan Perjanjian Kerjasama pada tanggal 22 Oktober 2001 belum menguntungkan keuangan PAM Jaya serta masyarakat Jakarta dalam hal kebutuhan Air Bersih dan Air Minum sampai saat ini.
"Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dirilis 23 Januari 2009 menemukan penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan kerugian PAM Jaya serta masyarakat Jakarta. Itu pun diakui BPK, pemeriksaan atas pendapatan dan biaya pada PAM Jaya sudah tidak dilakukan lima tahun berturut-turut," kata Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia, Tom Pasaribu, dalam penjelasan tertulis ke
Rakyat Merdeka Online, Jumat (24/2).
Misalnya, Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta (PAM Jaya) dengan PT. Garuda Dipta Semesta (GDS) melanggar Peraturan Daerah No 13 Tahun 1992 Tentang Perusahaan Daerah Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Tom menyebut, tidak ada persetujuan tertulis dari Gubernur Kepala Daerah Jakarta mengenai Direksi PAM Jaya mengadakan perjanjian kerjasama dengan PT GDS. Padahal, sebelum dilakukan penandatangan PKS, ada suatu mekanisme yang harus dilakukan Direksi PAM Jaya yaitu Mendapatkan persetujuan tertulis dari Gubernur. Namun sampai akhir pemeriksaan BPK tanggal 31 Desember 2008, dokumen persetujuan tersebut tidak diserahkan ke BPK.
Pada Pasal 14.3 PKS mengenai penyerahan aset pihak PAM Jaya kepada PT GDS menyatakan, PAM Jaya harus menyerahkan aset yang ada kepada PT GDS, dan PT GDS tidak berkewajiban untuk melakukan pembayaran kepada PAM Jaya. Hasil pemeriksaan ditemui adanya pengalihan aset PAM Jaya kepada pihak PT GDS tanpa adanya persetujuan tertulis dari Gubernur DKI Jakarta.
"PKS melanggar tugas dan fungsi PAM Jaya sebagai Badan Hukum yang berwenang melakukan pengusahaan, penyediaan dan pendistribusian air minum," ujarnya.
Ditemukan pula bahwa sampai waktu pemeriksaan BPK RI berakhir pada tanggal 31 Desember 2008 PAM Jaya belum menyampaikan bukti pendukung terpenuhinya Persyaratan Pendahuluan sesuai Lampiran 2 Perubahan Persyaratan Pendahuluan pada PKS tanggal 28 Januari 1998, namun hanya menyampaikan Berita Acara Pemenuhan Persyaratan Pendahuluan tanggal 31 Juli 1998 yang ditandatangani bersama antara Direktur Utama PAM Jaya dan Presiden Direktur PT. Palyja.
Selain itu, penyerahan aset dari PAM Jaya ke mitra swasta sebesar Rp 1,7 triliun belum didukung dokumen penyerahan yang memadai. Pemanfaatannya oleh PT. Palyja tidak dikenai biaya. BPK berpendapat PAM Jaya berpotensi kehilangan aset senilai Rp 1,7 triliun. Biaya Depresiasi atas aset yang digunakan mitra juga menambah beban usaha PAM Jaya sebesar Rp 960 miliar. BPK menyarankan agar Gubernur melakukan peninjauan hukum atas klausul dalam Perjanjian Kerjasama tersebut yang menambah beban usaha PAM Jaya dari penyerahan aset milik PAM Jaya kepada Mitra swasta yaitu PT. Palyja dan PT. Aetra.
Ada beberapa kasus lain yang ditemukan BPK, seperti pembayaran rekening air dari konsumen yang ditampung dalam Esrow Account untuk Tahun 2007 hingga September 2008 senilai Rp 1.6 triliun, dimana PAM Jaya tidak mendapatkan salinan penagihan
Mitra PAM Jaya juga tidak cakap dalam memenuhi komitmennya yang telah dituangkan dalam PKS seperti air minum harus bisa langsung diminum, tanpa harus melalui proses di masak sesuai dengan standar Depkes. Juga dalam hal pengadaan bahan baku kedua mitra asing tidak memiliki kemampuan yang cakap, sebab hanya mengharapkan air bahan baku dari Kali Malang. Sementara saat ini sudah banyak negara yang menggunakan air laut sebagai bahan baku untuk air bersih dan air minum, seperti yang dilakukan PT Pembangunan Jaya Ancol.
Kondisi Air Bersih dan Air Minum yang diolah PT Palyja dan PT Aetra tidak memenuhi standar kebutuhan hidup mengingat sering bau dan keruh. Masyarakat Jakarta tidak semua mendapat kesempatan menggunakan air bersih dan air minum yang diproduksi PT Palyja dan PT Aetra karena sistem konstruksi dan distribusi yang tidak memadai.
"Masyarakat Jakarta terpaksa menggunakan air PAM karena tidak ada pilihan. Investasi apa yang telah dilakukan oleh PT. Palyja dan PT. Aetra? Apa rancangan mereka akan kebutuhan air bersih dan air minum untuk masyarakat?," gugatnya.
Tom mendesak Pemprov DKI Jakarta meninjau ulang Perjanjian Kerjasama dengan PT. Palyja dan PT. Aetra serta mendesak kedua perusahaan itu untuk membuktikan keahliannya dalam pengolahan air bersih dan air minum.
"Bila kedua perusahaan tersebut tidak mau melakukan perubahan sudah sebaiknya PAM Jaya dipailitkan, toh juga masyarakat Jakarta akan tetap membeli air mineral sebagai kebutuhan pokok sehari-hari," pungkasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: