Meski divonis bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Palu dalam kasus pencurian sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi, AAL tidak dipenjara dan dikembalikan ke orang tuanya. Solidaritas masyarakat untuk membela AAL dengan mengkampayekan "1000 sandal untuk Polri" begitu dashyat. Bahkan pemberitaan soal gerakan sosial itu sampai ke luar negeri.
Namun ada pertanyaan besar menggantung. Persoalan ruwet dihadapi bangsa ini ketika pencurian dan tindak pidana ringan lainnya, dianggap lumrah dan mendapat pembelaan publik.
Hal sama juga pada kasus Nenek Minah (55) dua tahun lalu. Perempuan tua asal Banyumas itu mengaku memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), yang menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Dia diputus 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan tanpa harus jalani kurungan tahanan. Kasus Nenek Minah mendapat simpati luas masyarakat. Semua aktivis hukum dan politisi ramai-ramai membela Nenek Minah. Sampai-sampai Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menganggap vonis itu memalukan.
Penegakan hukum jatuh ke dalam lubang dilema? Sikap toleran yang berlebihan pada pelaku pencurian kecil-kecilan digugat oleh orang-orang yang mengklaim sebagai pembela sejati prinsip
equality before the law. Nyatanya, masyarakat melihat penegakan hukum akhir-akhir ini (di bawah pemerintahan SBY) semakin tidak memuaskan.
Survei Lembaga Survei Indonesia yang baru dirilis mengungkapkan, untuk pertama kalinya sejak 2005 mayoritas publik menganggap kinerja penegakan hukum di era Presiden SBY sangat buruk. Hasil survei pada Desember 2011, hanya 1,9 persen responden menjawab penegakan hukum sangat baik. Yang menjawab baik 31,3 persen, kategori sedang 18 persen, buruk 32,6 persen, sangat buruk 9,8 dan tidak jawab/tidak tahu sebanyak 6,3 persen.
Dalam pandangan pengamat hukum, Margarito Kamis, keruwetan masalah hukum di Indonesia mempunyai kekhasan. Secara normatif, berapapun nilai pencurian tidak dibenarkan hukum. Tapi jadi soal, ketika hukum itu tajam ke bawah hanya untuk para penjahat kelas teri, atau orang yang lemah dalam pemenuhan kebutuhan ekonominya sehari-hari.
"Begitu telanjang di mata kita, hukum tidak jalan bagi yang mencuri besar-besaran. Mau tak mau orang akan bicara keadilan secara komprehensif. Orang pasti akan memunculkan pandangan pencurian yang kecil itu tak pantas dihukum. Secara sosiologis itu benar," tutur pemegang gelar doktor dari Ternate ini saat berdiaolog dengan
Rakyat Merdeka Online, beberapa saat lalu (Senin, 9/1).
Dalam kondisi penegakan hukum yang tebang pilih seperti saat ini, menyamakan perlakuan hukum pada pencuri kelas teri adalah hal yang kurang tepat. Dalam kasus pencurian sandal dan Nenek Minah misalnya, hakim pengadilan harus mempunyai kemampuan menelisik mengapa pelaku mencuri dan apa yang memaksanya melakukan tindak pidana itu.
"Alasan sosiologis itu memperingan atau kalau bisa memaafkan. Menggunakan alasan sosiologis itu untuk membebaskan atau meringankan hukuman terdakwa bisa dibenarkan jika ditemukan faktor seperti terdakwa sangat miskin dan terdesak untuk melakukan pencurian demi mempertahankan hidup," jelasnya.
Lain hal jika tindak kejahatan itu adalah pembunuhan atau perkosaaan yang tidak bisa lagi disebut tidak pidana ringan. Proses dan vonis dalam kasus pidana ringan tentu saja berbeda dengan kejahatan besar seperti pembunuhan dan perkosaan.
"Karena kalau bicara pencegahan, instrumen pidana itu cuma satu instrumen dari sekian banyak instrumen lainnya. Kita harus lihat konteksnya, misalnya konteks kasus sandal jepit atau nenek Minah itu yang patut dibela. Saya mendukung gerakan masyarakat untuk melakukan pembelaan," terangnya.
Penegakan hukum di Indonesia beberapa tahun belakangan ini, lanjut Margarito, begitu mengecewakan karena kepemimpinan nasional tidak bisa dijadikan aktor utama. Praktis penegakan hukum harus dikatakan buruk dan lagi-lagi Presiden SBY bersama jajarannya tak bisa dijadikan gantungan harapan rakyat yang tegas kokoh dan lurus.
"Dalam kasus-kasus korupsi besar yang hingga kini belum selesai, dia selalu bersembunyi di balik sikap anti intervensi. Menurut saya, dia justru harus intervensi kalau ada yang salah dalam penegakan hukum kita. Jaksa dan polisi ada di bawah dia langsung. Presiden yang memikul tanggung jawab konstitusional dalam melaksanakan hukum," urainya.
Adalah kewajiban konstitusional bagi pemerintahan saat ini untuk menyelesaikan secara tuntas kasus-kasus warisan orde lalu maupun yang terkuak di masa kekuasaannya. Kasus-kasus besar yang tidak kunjung temukan titik terang, keengganan aparat hukum untuk memeriksa para pejabat yang dekat dengan kekuasaan dan pemberian vonis yang sangat ringan bagi pelaku korupsi ataupun pembebasan terdakwa kasus korupsi, adalah bukti diskriminasi hukum sebenarnya.
"Jika dia terus cuci tangan dari kegagalan penegakan hukum yang adil, dalam konstitusi sama saja dia melakukan tindakan tercela. Dampaknya, kualifikasinya, bisa di-
impeach. Sayangnya,
impeachment itu tak bisa dilepas dari konteks politik, ada
game politik di sana," terangnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: