"Sejak Polri pisah dari ABRI, seharusnya Polri menata diri menjadi polisi sipil yang
soft dalam menyelesaikan masalah-masalah dalam lingkungan masyarakat. Kenyataannya justru kebalikannya," kata Wakil Ketua Komisi I DPR, Mayjen (Purn) TB Hasanuddin, kepada
Rakyat Merdeka Online, Minggu malam (25/12).
Dia berpendapat, reformasi Polri justru meniru gaya dan cara-cara militer, dari mengayomi menjadi "melibas", dari hanya melumpuhkan menjadi "mematikan".
"Lihat saja senjata perorangan yang dipakai Brimob, bukan lagi senjata untuk melumpuhkan, tetapi senjata sekelas pasukan komando," terangnya.
Ironisnya lagi, imbuh politisi PDI Perjuangan ini, personel Brimob malah tidak memiliki tameng, helm huru hara, gas air mata atau water canon, tapi malah melengkapi dirinya dengan senjata mesin otomatis, sangkur dan panser.
Bahkan, ungkapnya, dalam HUT Bhayangkara 1 Juli, satuan Polantas berdefile memakai pedang kavaleri TNI AD. Struktur organisasi yang dipakai juga seperti TNI zaman Orba, mulai dari Kapolsek mempunyai hirarki vertikal ke atas ke Kapolres, Kapolda, Kapolri sampai Presiden sebagai "kepala tertinggi" Polisi negara. Polisi dimanapun biasanya menggunakan organisasi kewilayahan, kepala polisi di wilayah tertentu bertanggung jawab kepada otoritas sipil setempat.
Sekarang Polri juga menjadi lembaga yang super, karena mereka yang membuat program, mereka juga yang membuat rencana anggaran, meminta anggaran, menggunakan anggaran, bahkan mereka juga yang mengevaluasi kinerjanya. Seharusnya ada sebuah kementerian yang membawahinya seperti juga Kemenhan untuk TNI .
"Saya tak habir pikir mengapa Presiden SBY tak mau belajar dari pengalamannya untuk segera meredisposisi dan restrukturisasi Polri . Atau barangkali ada keuntungan lain bagi pemerintah sekarang ini bila Polri di bawah langsung Presiden, tutup TB.
[arp]
BERITA TERKAIT: