Koordinator Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya, meminta polisi sebaiknya tak terlalu cepat menyimpulkan motif bakar diri yang terjadi kemarin. Apabila belum ditemukan bukti yang dapat dipercaya, vonis sepihak hanya akan menyesatkan banyak orang dan sangat mudah dimanfaatkan untuk tujuan penutupan diri terhadap ketidakmampuan mengungkap kasus tersebut.
"Jika hanya untuk menutupi ketidakmampuan mengungkap, masih mendingan. Bagaimana jika untuk menyesatkan opini publik? Atau untuk mengalihkan perhatian publik dan media massa kita? Itu yang perlu dikhawatirkan," kata Mustofa kepada
Rakyat Merdeka Online, Kamis (8/12).
Mustofa mengaitkan fenomena bakar diri itu dengan beberapa fakta. Pertama, soal keamanan Presiden. Polisi mengakui bahwa Presiden sering mendapatkan ancaman teroris di berbagai kesempatan. Kepala BNPT Ansyad Mbai juga mengutarakan ada 1,8 juta jaringan teroris yang berada di negeri ini. Logikanya, pengamanan terhadap Presiden akan dilakukan sangat ketat. Namun yang terjadi adalah kelonggaran, kalau tak mau dibilang dibiarkan longgar.
Kedua, ada kebuntuan pintu aspirasi kepada Presiden. Jika Istana sudah menutup rapat-rapat pintu aspirasinya, maka jangan kaget jika ada orang yang cuma mampu menyampaikan pesan melalui bakar diri di depan istana. Dan terakhir, soal benang kusut dunia hukum. Kasus besar semacam skandal Bank Century disengaja berlarut-larut. Lingkaran Istana dinilai memberi contoh kejahatan terbesar di negeri yang sebagian besar diisi orang miskin.
"Pelaku bakar diri tentu memilih Istana bukan tanpa maksud. Ada pesan yang ingin disampaikan. Tentu bakar diri bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk bunuh diri, dan polisi tak perlu jelaskan itu lagi. Namun pesan di balik bunuh diri itulah yang harus diusut oleh polisi," katanya lagi.
Dia tegaskan, sebaiknya kepolisian tidak kebakaran jenggot dan memvonis pelaku tidak waras dan semacamnya, karena diperlukan pembuktian terlebih dahulu. Namun jika polisi menduga aksi itu sebagai bentuk keputusasaan, mungkin ada benarnya.
"Karena banyak masyarakat yang putus asa dengan kehidupan di era SBY ini. Masyarakat ingin memberi pesan kepada Istana bahwa kepemimpinan selama ini masih sangat jauh dari apa yang dijanjikan di dua kali kampanye," tandasnya.
[ald]