Demikian disampaikan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Gusti Kanjeng Ratu Hemas, ketika membuka seminar nasional daerah bertajuk "Penghasil Migas: Berkah atau Bencana?" di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (Senin, 28/11).
Untuk mandiri membiayai pembangunan daerah, bahkan kompensasi kerusakan lingkungan, daerah penghasil migas tidak memiliki anggaran yang cukup. Padahal, katanya, hasil migas atau sumberdaya alam lainnya dibawa ke pusat dan tidak dikembalikan ke daerah penghasil, yang di antaranya mengalami kebocoran karena ketidaktransparanan penghitungan dana bagi hasil (DBH) migas.
Tanpa transparansi, kata dia, pemerintah daerah menjadi kesulitan merumuskan rencana dan anggaran serta kepastian pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan. Di satu sisi, daerah menerima dampak eksploitasi sumberdaya alam seperti kerusakan lingkungan yang jangka panjang dan penghilangan kesempatan generasi berikutnya menikmati modal pembangunan. Tapi katana, "Di sisi lain, daerah hanya menerima sebagian kecil kontribusi migas yang tidak mungkin menutupi dampak kehabisan sumberdaya alam yang tidak tergantikan."
Persoalan lain yang diungkap istri Sri Sultan Hamengkubuwono IX ialah posisi pemerintah daerah. Kendati punya kewenangan otonomi, kenyataan daerah penghasil migas tidak bisa berbuat banyak karena dominasi peran pemerintah pusat mengelola sumberdaya alam. Padahal, kepada daerah wajib meningkatkan kesejahteraan sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan. Indikasinya, pendelegasian kewenangan dari pusat ke daerah tanpa perimbangan keuangan yang adil.
"Otonomi daerah harus benar-benar memihak kepada masyarakat dan daerah,"
tandasnya.
[dem]
BERITA TERKAIT: