Kedigdayaan Freeport Tak Lepas dari Permainan Elit Lokal

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Senin, 14 November 2011, 18:56 WIB
RMOL. Terhitung dari 15 September lalu instabilitas yang jadi buntut pemogokan buruh PT Freeport Indonesia di Timika terus menuai korban dari rakyat maupun aparat keamanan.

Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam, Awamsyah, menyebutkan bahwa ada beberapa hal terpenting dari konflik yang belum selesai itu. Pertama, soal tuntutan para buruh PT Freeport Indonesia, agar gaji mereka dapat dinaikkan, karena terlalu kecil. Apalagi jika dibandingkkan dengan para buruh PT Freeport di Amerika.

Kedua, masalah sharing profit yang diberikan oleh PT Freeport kepada Indonesia yang hanya mendapatkan 1 persen dari 99 persen kentungan yang diperoleh PT Freeport. Ketiga, masalah kemiskinan dan ketidakadilan yang hingga saat ini masih terus dirasakan rakyat Papua, yang adalah pemilik sah kekayaan alam di Papua. Keempat, wacana  renegosiasi atau rekontrak pertambangan dan terakhir adalah soal niat elit politik nasional menyelesaikan semua problem tersebut.

"Pertanyaannya, ada apa dengan pemerintah sehingga tak mampu menyelesaikan konflik di tanah Papua? Mengapa pemerintah selalu lemah jika dihadapkan dengan arogansi PT Freeport? Padahal kekuasaan dan kewenangan negara adalah segala-galanya di atas kekuasaan korporasi," kata Awamsyah kepada wartawan, Senin malam (14/11).

Sejak tahun 1967, Freeport adalah perusahaan yang paling diuntungkan dari segi eksploitasi pertambangan. Bahkan kekuasaan Freeport berubah layaknya negara dalam negara yang bisa mengintervensi kebijakan strategis pemerintah.
 
"Kuasa PT Freeport di Indonesia saat ini tak bisa lepas dari mainan elit politik nasional, yang secara terang-terangan menjadikan PT Freeport sebagai sapi perahan atau tempat yang basah untuk mendapatkan keuntungan material," tegas dia.

Dia menduga kuat, negara mungkin saja mendapatkan pemasukan 1 persen dari  pendapatan PT Freeport yang melimpah. Tapi para elit politik, malah bisa mendapatkan jatah yang mungkin lebih dari pendapatan 1 persen negara.

"Itulah yang harusnya diselesaikan terlebih dahulu oleh Pemerintah SBY, jika ingin melakukan renegosiasi kontrak pertambangan. Akan sangat mubazir jika nantinya keuntungan yang besar PT Freepport hanya menguap di kantong-kantong pribadi para elit politik dan dana abadi partai politik," tandasnya.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA