"Di seluruh dunia ini, baru Indonesia yang punya pahlawan sebanyak ini. Tiap tahun kita produksi pahlawan baru," kata politisi Indra Jaya Piliang dalam acara Polemik Sindo Radio bertajuk "Pahlawan" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (12/11).
Bahkan menurutnya, bangsa ini sudah sesuka hati melakukan simbolisasi pada sosok pahlawan-pahlawan yang memang memiliki nilai kepahlawanan sangat tinggi, seperti terjadi pada penamaan jalan-jalan raya yang dianggap cukup sebagai penghormatan pada pahlawan.
"Lihat Jalan Jenderal Sudirman itu, di jalan itu kita injak-injak, kita preteli nilai-nilai yang dipunya Jenderal Sudirman sebagai sosok sederhana, sosok guru, sangat pahlawan. Sedangkan patungnya ada di jalan yang penuh nilai komersil," katanya.
Sedangkan budayawan Radhar Panca Dahana dalam kesempatan sama, mengatakan gelar pahlawan tidak dilihat makna intrinsiknya tapi simbolik saja. Disitulah kemudian timbul paradoks-paradoks.
"Pemulung, pembantu rumah tangga bisa jadi pahlawan. Ada perluasan makna pahlawan dan pada saat bersamaan terjadi pendangkalan makna pahlawan," terangnya.
Menurutnya, semua orang bisa jadi pahlawan, tapi paradoksnya adalah banyak kritik pada pahlawan. Misalnya, dua nama pahlawan nasional yaitu Diponegoro dan Buya Hama yang masih sulit diterima sebagai pahlawan bagi masyarakat di daerah lain selain daerah asal kedua nama itu.
"Paradoksnya lagi, muncul banyak pahlawan di saat sama muncul tindakan yang anti kepahlawanan. Artinya, pahlawan tak mampu mentransfer nilai itu ke khalayak banyak. Percuma banyak pahlawan tapi nilai-nilai luntur," tandasnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: