"Saya dipenjarakan, dihinakan, dan dinistakan untuk sesuatu yang tak jelas perkaranya." tulis Panda dalam surat pengantar yang dibacakan anaknya, Putra Nababan, saat peluncuran buku "Panda Nababan Melawan Peradilan Sesat", di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta (Rabu, 19/10) .
Dalam buku setebal 344 halaman itu, Panda membeberkan bagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadapnya soal suap travel cheque tidak mempunyai nilai pembuktian.
Menurut Panda, KPK saat ini ditunggangi oleh para advonturir politik yang asyik membuat pernyataan-pernyataan yang tidak mencerminkan ucapan seorang pemimpin lembaga penegak hukum.
Pada tak punya niat melemahkan KPK dalam setiap kritikannya. Ia mengaku selalu berusaha untuk memperkuat institusi KPK. Karena ia tahu betul bahwa cita-cita awal didirikannya KPK adalah untuk pemberantasan korupsi secara signifikan. Salah-satu upayanya adalah pada Juni 2011 mengadukan empat JPU KPK; Moh. Roem, Riyono, Siswanto, Andi Suharlis kepada Jaksa Agung dan pimpinan KPK untuk ditindak.
"Tapi sampai hari ini, tidak ada satu pun jawaban resmi atas pengaduan saya itu." tandasnya dalam surat yang diberi tajuk "Surat dari Salemba: Nasib Keadilan Cukup dengan Voting" itu.
Panda pun menilai, upaya kritik terhadap KPK selalu ditanggapi dengan paranoid. Koreksi dilihat sebagai usaha memperlemah KPK. Menurutnya, hal ini seperti pola berfikir Komkamtib (Komandi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang ada pada zaman Orde Baru. Mereka yang mengkritik
dianggap pro koruptor, dibuat stigma terlibat langsung atau tidak langsung dengan kasus korupsi.
Pada penutup surat, Panda mengungkapkan kehidupannya selama 259 hari di bui bukanlah hal mudah. Tinggal terus-menerus di rumah saja membosankan, apalagi di sel yang sempit. "Saya berdiam di kamar yang sempit berukuran," kisah Panda.
Putra Nababan, ketika membacakan surat itu, tak urung meneteskan air mata. "Mohon maaf, tolong jangan diberitahukan ke ayah saya," pinta Putra kepada hadirin.
[dem]
BERITA TERKAIT: