"Saya tidak sependapat mengatakan itu pelanggaran konstitusi, tapi bahwa itu lebih pada soal gaya kepemimpinan dia yang tidak tegas, dan inilah cara dia menyebar tanggung jawab dia kepada orang-orang parpol itu," kata pakar tata negara, Margarito Kamis, kepada
Rakyat Merdeka Online, Jumat (14/10).
Dalam arti lebih ekstrim, menurut dia, itulah cara SBY mem-
fait accompli koalisi. SBY menggunakan haknya untuk menyebar tanggungjawab kegagalan pemerintahan jika terjadi sesuatu di sisa periodenya. Atau, "Kalau buruk dipikul bersama-sama, begitu ekstrimnya," lanjut Margarito.
Dia menyatakan, sistem presidensial RI sudah mantap. Dan bila presiden mereduksi itu, belum dapat dikatakan pelanggaran konstitusi.
"Memang jadinya tampak seperti pemerintahan parlementer, seolah melanggar sistem presidensial ini. Dia menempatkan dirinya sebagai satu terdepan di antara yang lain, yang dalam kabinet perlementer semua yang lain itu memikul tanggungjawab pemerintahan," urainya.
Contoh lain penyelewengan dari sistem presidensial yang dilakukan SBY adalah dengan membuat kontrak koalisi dengan parpol pendukung di awal pemerintahannya.
"Padahal kontrak koalisi itu tidak ada dasar hukumnya. Mereduksi itu tidak dapat disebut pelanggaran. Kalau dibilang
nyeleneh, itu mungkin sebutan yang paling tepat. Presiden
nyeleneh dari sistem presidensial yang kita anut," tandasnya.
Tadi pagi, anggota Komisi II DPR, Akbar Faizal, menyatakan, presiden melanggar konstitusi dalam hal kewenangan prerogatifnya membentuk pemerintahan atau kabinet. Padahal, saat membaca sumpah jabatan, presiden menuturkan akan menjalankan konstitusi selurus-lurusnya.
"Namun yang terlihat kemarin saat jumpa pers dengan pimpinan parpol koalisi (di Cikeas), presiden dengan nyata melanggar konstitusi itu dengan mengambil keputusan pembentukan kabinet bersama pimpinan parpol," kata
Itu sekaligus menunjukkan bahwa presiden melanggar mandat yang diberikan kepadanya secara penuh untuk membentuk pemerintahan tanpa campur tangan parpol. Dalam bahasa yang lain, presiden lebih memilih memperhatikan realitas politik ketimbang realitas konstitusi.
[ald]
BERITA TERKAIT: