Dalam pendapat pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, DPR dan KPK sama-sama sedang mengedepankan egonya masing-masing.
"Keduanya sedang memainkan ego kelembagaan masing-masing. Yang satu merasa dirinya representasi rakyat, satu lagi superpower dalam penegakan hukum tipikor. Keduanya sedang pertontonkan satu yang tidak pantas untuk publik," kritik Margarito saat diwawancara
Rakyat Merdeka Online, Jumat (30/9).
Akar masalahnya, menurut dia, ada pada interpretasi masing-masing lembaga mengenai kewenangan yang dimiliki. Seperti diketahui, "pertikaian" bermula ketika pekan lalu KPK memanggil empat pimpinan Banggar DPR terkait kasus dugaan suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
"Titik relevansi KPK memanggil pimpinan di Banggar adalah adanya dugaan dan desas desus bahwa Rp 500 miliar yang digelontorkan dalam proyek itu tidak dibicarakan ke komisi DPR dulu tapi langsung ke Banggar. Padahal
by system, transfer ke kementerian harus dibahas di komisi dulu baru ke Banggar," jelas dia.
Margarito tidak menyalahkan KPK yang melakukan pendalaman pada tata cara penganggaran. Tapi pada titik itu kemudian Banggar DPR bertanya-tanya, mengapa KPK menyelidiki ranah mekanisme pengambilan kebijakan di DPR. Mungkin saja Banggar khawatir, preseden itu akan membuat Banggar ke depannya mudah diperiksa dalam kasus korupsi di daerah-daerah.
"Tapi KPK tidak salah. Hanya saja DPR ingin mengetahui apa maksudnya. Lalu mereka gunakan kewenangan mengawasi yang melekat di DPR. Saya tegaskan, DPR tidak bisa masuk teknis penyidikan. Kalau pengawasan
policy atau kinerja itu oke. Tapi kalau mempermasalahkan ke detail penyidikan, itu tidak boleh," ucapnya.
Tapi KPK pun tidak bersih dari penyakit ego itu. Margarito menyayangkan KPK yang tidak mau memenuhi panggilan pimpinan DPR kemarin dengan alasan yang tidak konsisten. Di satu waktu mereka beralasan berbenturan dengan agenda lain, di waktu lain KPK beralasan ingin menjaga independensinya.
"Lalu kita dengar juga ada kemungkinan mereka (DPR) dilecehkan disana (di kantor KPK), yang beredar di publik itu kan seperti itu. Waktu pemeriksaan Banggar itu lebih banyak ngobrol-ngobrolnya daripada bicara kasus. 10 menit bahas kasus, sisanya cuma ngobrol. Kalau begitu kenapa KPK tidak datang saja ke DPR untuk bicara di sana atau minta dikirimi dokumen yang diperlukan," ujarnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: