"Mencaci maki presiden adalah sesuatu yang kurang baik dalam etika demokrasi, itu kurang etis. Tapi kita bukan berarti salahkan begitu saja yang caci maki presiden itu," kata pengamat politik, Umar S Bakry, kepada
Rakyat Merdeka Online, Selasa petang (27/9).
Menurutnya, kritik yang penuh makian atau penghinaan dapat diartikan sebagai sikap yang sudah melalui beberapa tahapan atau mencapai puncak kejengkelan.
"Artinya apa, banyak aspirasi dan opini yang sudah terakumulasi sebelumnya, tapi tidak direspon presiden. Padahal rakyat menilai presiden punya kekuatan yang sangat besar untuk eksekusi aspirasi publik, nyatanya tidak dilakukan SBY," urainya.
Untuk itu, Umar minta Presiden tidak keenakan bermain di wilayah wacana dan pencitraan diri, melainkan mulai ke arah eksekusi atau gagasan.
"Sebenanrya pencitraan itu sah-sah saja, di negara demokratis manapun itu sah. Tapi memang pencitraan SBY ini sudah
lebay, bukan lagi jadi alat mencapai tujuan, tetapi sudah jadi tujuan politik itu sendiri. Artinya kalau citranya sudah terusik, baru dia bergerak," jelasnya.
Jika SBY mau keluar dari medan kritik, saat ini juga dia harus keluar dari kebiasaaan yang menomorsatukan pencitraan itu karena sudah tidak ada gunanya.
"Di sisa pemerintahan ini, pencitraan itu tidak dibutuhkan lagi. Kalau dia keluar dari medan pencitraan, hasilkan prestasi besar, justru dia akan dapatkan citra bagus sendirinya," tegasnya.
Dia juga menyindir Partai Demokrat yang selalu menganggap sepele kritik tajam atau kemarahan dari publik. Padahal, menurut Umar, kekecewaan itu sudah merata.
"Demokrat selalu ukur kekecewaan itu dengan hasil pemilihan 2009. Itu tidak ada hubungannya, sekarang opini sudah berubah. Mudahnya, SBY menang besar waktu pemilu itu karena kompetitornya tidak ada yang bagus," ucapnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: