Opsi Relokasi Nongol, Ada yang Tepuk Tangan di Balik Insiden Mahakam?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Rabu, 21 September 2011, 14:13 WIB
<i>Opsi Relokasi Nongol, Ada yang Tepuk Tangan di Balik Insiden Mahakam?</i>
RMOL. Insiden keributan antara siswa SMA 6 Jalan Mahakam I, Jakarta Selatan, dengan  wartawan dari puluhan media massa sejatinya bukanlah konflik horizontal antara pelajar dengan kalangan jurnalis. Pelajar dan jurnalis sama-sama berperan sebagai tonggak penting kemajuan bangsanya.
 
Kajian mendalam mengapa warna kekerasan begitu kental belakangan ini di kalangan pelajar dan masyarakat luas pada umumnya perlu dilakukan. Aparat keamanan jangan cuma bisa menindak pelanggar hukum, tapi harus berpegang pada tugas utamanya menciptakan stabilitas dengan pencegahan. Dan terpenting, lembaga pendidikan jangan cuci tangan!

Pernyataan Kepala Sekolah SMA 6, Kadarawati, ketika berdialog dengan wartawan soal insiden pengeroyokan dan penyitaan aset jurnalis Trans7, Oktaviardi, yang terjadi di depan SMA 6 pada Jumat malam (16/9), mengakui bahwa sekolahnya kesulitan mengontrol anak-anak muridnya yang setiap pekan melakukan aksi tawuran di dekat sekolah.

Dengan berlindung di balik Peraturan Daerah DKI Jakarta, dia berdalih, sekolah tidak lagi mempunyai tanggung jawab atas perilaku siswanya di luar jam sekolah. Bahkan, ketika terjadi kericuhan antara wartawan dengan pelajar di depan sekolahnya siang itu, kepala sekolah tidak sekalipun terlihat di lapangan mencoba menenangkan para siswanya. Perkara cuci tangan, lembaga pendidikan kita seperti memang sudah jagonya. Demikian pula dalam soal pungut memungut!

Tidak bisa disangkal kalau sistem pendidikan nasional kita ikut bertanggungjawab dalam rangkaian kasus kekerasan pelajar. Buktinya, pemerintah lebih serius mengejar target kelulusan dalam Ujian Nasional yang justru menciptakan berbagai macam persoalan dan kecurangan daripada melahirkan generasi yang terdidik secara kognitif maupun akademis.

Anggota Komisi X DPR, Raihan Iskandar, menyatakan, kasus kekerasan SMA 6 hanyalah ekses dari desain kebijakan pendidikan yang tidak sesuai dengan tujuan penyelenggaraan pendidikan tersebut.

"Selama ini pemerintah sering kali menggaungkan pendidikan karakter ini, tetapi justru tidak menjadikannya sebagai sasaran dan program kerja," ungkapnya.

Salah seorang orang tua murid SMA 6 yang bersedia diwawancara Rakyat Merdeka Online dengan gamblang mengungkapkan kecurigaannya pada kelompok yang ingin menunggangi insiden penyerangan kepada wartawan untuk kepentingannya sendiri.

Ibu yang anaknya sekarang berada di tingkat dua itu mengaku, tawuran antar SMA 6 dengan SMA 70 cukup mengkhawatirkan para orang tua murid karena sudah seperti menjadi rutinitas. Namun, pihak sekolah dan kepolisian terkesan tutup mata. Memang ada puluhan siswa yang sudah dikeluarkan karena terlibat baku hantam. Tapi, kebijakan itu tak membawa perbaikan apapun. "Ketika akar masalah tak tersentuh, otoritas hanya sibuk mencari-cari alasan," ujarnya.

Dia menggugat pernyataan Kepala Kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan, Komisaris Besar Imam Sugianto, yang melontarkan opsi pemindahan lokasi sekolah sebagai salah satu alternatif untuk meredam terjadinya kekerasan antar pelajar. "Saya heran kenapa isunya jadi mengarah ke relokasi sekolah? Ini soal sekolah dan aparat yang selama ini melakukan pembiaran. Bukan relokasi dan tetek bengeknya" tegas si ibu.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sendiri belum bisa memastikan opsi relokasi SMA 6. Namun, kejadian penyerangan terhadap sejumlah juru foto pada aksi protes kemarin dan aksi tawuran yang tiap pekan terjadi antara dua sekolah elit di kawasan itu sudah cukup menjadi pertimbangan rencana relokasi.

Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Dedi Gumilar, menolak keras ospi relokasi tersebut jika tidak didahului pengkajian masalah yang mengakar. Menurutnya, kalau pemerintah terlalu cepat menelurkan isu relokasi SMA 6, maka yang bertepuk tangan riang gembira adalah kelompok pemilik modal. Apalagi mengingat SMA 6 terletak di kawasan Selatan yang strategis di tengah kawasan perbelanjaan dan aktivitas perkantoran warga Jakarta.

"Kalau hanya gara-gara berantem direlokasi, apakah kalau dipindahkan menjadi tidak berantem? Kalau alasannya anak-anak terlau dekat dengan keramaian dengan terminal atau pasar, itu masih masuk akal," ucap Dedi yang kini sedang diperbantukan di Komisi III oleh fraksinya.

Dia memastikan bakal menentang setiap konspirasi kelompok pemilik modal yang berkepentingan merebut tanah sekolah untuk dijadikan pusat bisnis.

"Itu saya tolak betul. Ruislag (tukar guling) untuk bangun mall itu tidak benar. Harus dikaji cermat dan komprehensif, apakah perilaku beringas pelajar  berkaitan dengan lingkungan? Jangan buru-buru pikirkan relokasi," tegasnya.

Dia mengingatkan, hobi tawuran itu bukan hanya diidap para pelajar di kawasan Blok M saja. "Kebetulan saja kasus SMA 6 ini harus jadi momen untuk koreksi sistem pendidikan kita. Jadikan momen untuk koreksi sistem pendidikan. Yang tawuran itu bukan anak SMA 6 saja," lanjutnya.

Dia menambahkan, tradisi kekerasan di lingkungan pendidikan adalah dampak dari sistem pendidikan yang menilai anak didik hanya dengan angka-angka atau Nilai Ebtanas Murni, tapi menghilangkan penanaman nilai Pancasila dan budi pekerti.

"Ini adalah ongkos mahal yang harus dibayar," ucapnya.

Saat ini, institusi pendidikan dan aparat hukum adalah yang paling berwenang untuk mendalami akar masalah dan kemudian melahirkan solusi permanen agar kasus keberingasan pelajar terhadap siapapun itu, tidak hanya kepada wartawan, tak berulang di lain waktu. Tindakan hukum kepada yang bersalah memang dibutuhkan. Tapi dalam konteks kasus yang melibatkan anak-anak remaja berstatus pelajar, pedang hukum bukan semata jawaban cerdas.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA