KPK Jadi Penyebab Pejabat Negara Putus Urat Takut

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Jumat, 26 Agustus 2011, 18:37 WIB
KPK Jadi Penyebab Pejabat Negara Putus Urat Takut
RMOL. Pejabat negara tertangkap tangan lagi oleh KPK saat melakukan transaksi suap dalam proyek Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Sulit dimengerti mengapa pejabat-pejabat tersebut begitu nekat padahal saat ini beberapa kasus korupsi besar tengah ramai dibicarakan media massa.

Menurut jurubicara Serikat Pengacara Rakyat, Habiburokhman, kasus terbaru yang merenggut kredibilitas kementerian di bawah pimpinan Muhaimin Iskandar itu membuktikan bahwa banyak pejabat publik telah kehilangan "urat takut" untuk melakukan tindak pidana suap. Nyaris tidak ada efek jera yang timbul dari penanganan dan publikasi kasus–kasus suap yang tertangkap tangan selama beberapa tahun terakhir. Terakhir yang belum lama terjadi adalah kasus suap Kemenpora.

Padahal jika dibandingkan tindak pidana korupsi jenis lain, jelas bahwa suap adalah tindak pidana korupsi yang beresiko paling tinggi. Pembuktian dalam kasus suap akan sangat mudah dilakukan oleh penyidik, terlebih jika transaksinya dilakukan secara fisik seperti apa yang terjadi dalam kasus Kemenakertrans ini.

"Dapat dibayangkan, jika tindak pidana korupsi paling berisiko yaitu suap saja masih terus terjadi, apalagi tindak pidana korupsi dengan modus operandi lainnya, yang lebih halus dan lebih sulit untuk dibuktikan," ucapnya kepada Rakyat Merdeka Online, Jumat petang (26/8).

Menurut SPR, ada dua alasan mengapa praktek suap dengan nominal besar seperti kasus Kemenakertrans ini terus menerus terjadi, padahal hampir tiap tiga bulan KPK melakukan penggerebekan.

Alasan pertama adalah bahwa masyarakat kita masih sangat permisif terhadap budaya suap. Dari survei yang pernah dilakukan SPR Januari-Februari 2011 lalu, menunjukkan bahwa 54 persen responden menganggap tindakan suap sebagai "ungkapan terima-kasih", wajar dan dapat dimaklumi. Akar dari merebaknya budaya suap di birokrasi adalah rendahnya integritas pejabat publik. Menyuap tidak hanya melancarkan birokrasi secara ilegal, tetapi juga membeli integritas aparat yang bertanggung jawab.

Alasan kedua adalah ketidakpercayaan terhadap kredibilitas pengusutan kasus-kasus suap yang selama ini dilakukan. Selama ini pengusutan kasus-kasus suap hanya bisa menyentuh pelaku yang tertangkap di lapangan. Sementara pelaku utama, yang bersembunyi di belakang layar jarang sekali tersentuh.

"Hingga saat ini jarang sekali KPK bisa mengusut aliran dana dalam kasus suap hingga tuntas. Mestinya yang dilakukan oleh KPK dalam kasus suap adalah, mencari tahu untuk keperluan apa suap tersebut diberikan, dari mana sumber dana suap, dialirkan kemana saja dana tersebut, dan sudah berapa kali transaksi terjadi," ujarnya.

Dia tambahkan, hampir selalu ada potongan "puzzle" yang hilang dalam setiap pengusutan kasus suap oleh KPK. Dalam kasus suap Cek Pelawat BI misalnya, KPK tidak berhasil mengusut dari mana dana yang dibagi-bagikan tersebut bersumber, walaupun keterangan saksi dengan jelas mengarah  ke Miranda Gultom.

Sementara dalam kasus Nazaruddin, KPK terkesan  tidak berani menyentuh pihak-pihak tertentu penerima aliran dana suap. Harus diakui bahwa hilangnya potongan "puzzle" tersebut senantiasa terkait dengan keterlibatan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik dalam kasus-kasus tersebut. Sementara berdasarkan UU, pimpinan KPK sangat mudah untuk disandera secara politik mengingat mereka dipilih dengan mekanisme politik di DPR.

"Kami sangat khawatir  bahwa kasus suap Kemenakertarns ini juga tidak akan terungkap sampai tuntas. Menurut informasi yang kami terima, kasus ini juga melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan politik, sehingga KPK hanya akan menyentuh para pelaku yang sudah tertangkap tangan," ungkap Habiburokhman.

Kekhawatiran SPR semakin besar karena hingga saat ini perkembangan pengusutan dugaan pelanggaran kode etik oleh beberapa pejabat KPK nampaknya berjalan di luar harapan masyarakat. Dapat diibaratkan bahwa KPK saat ini sedang dalam kondisi "sakit" sehingga akan sangat sulit untuk berkerja dengan maksimal.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA