Namun berita soal korban jiwa itu sampai kini masih simpang siur. Salah seorang yang dikabarkan tewas adalah mahasiswa dari Makasssar, bernama Andi Sondeng (21), yang tertembak di dada kanan. Kabar lain mengatakan dua korban tewas adalah warga setempat.
Dalam siaran persnya, Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), menjelaskan bahwa amuk massa tersebut dipicu oleh mangkirnya investor Joint Operation Body Pertamina-Medco E&P Tomori terhadap janji-janjinya kepada warga. Sebelumnya, perusahaan tersebut telah menjanjikan kepada warga untuk penyediaan listrik dan fasilitas umum lainnya.
Penyediaan berbagai kebutuhan warga oleh perusahaan tersebut merupakan kewajiban dari perusahaan yang diatur dalam UU 22/2001 tentang Migas, PP No 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, PP No 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Production Sharing Contract (PSC) yang memuat klausul tentang pemberdayaan masyarakat. Namun sejak dimulainya kontrak Production Sharing Contract (PSC) pada tahun 1997 hingga saat ini, tidak ada satupun program pemberdayaan yang benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar, khususnya warga Desa Kolo Bawah.
"Bahkan yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat Kecamatan Mamosalato dan Bungku Utara malah dimiskinkan secara sistematis akibat pengolahan minyak yang dijalankan oleh Pertamina dan Medco," terang Ketua Nasional Perhimpunan Rakyat Pekerja, Anwar Maruf.
Anwar melanjutkan, sumber penghidupan utama masyarakat Kecamatan Mamosalato dan Bungku Utara adalah nelayan. Namun, akibat eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan oleh Pertamina dan Medco di perairan Tiaka, maka masyarakat sekitar tidak boleh mengakses lagi perairan Tiaka. Perlu diketahui, ladang minyak Tiaka berdiri di atas wilayah tangkapan ikan nelayan tradisional yang sejak dahulu menjadi lokasi pemancingan ikan terbesar di wilayah ini.
Belum lagi, masalah perusakan lingkungan yang disebabkan oleh pengolahan minyak tersebut. Hancurnya terumbu karang akibat proyek reklamasi dan limbah minyak yang mencemari wilayah Tiaka, semakin memperjelas hebatnya pemiskinan yang dilakukan oleh para pemilik modal tersebut.
"Tidak berjalannya pemberdayaan masyarakat yang seharusnya dilaksanakan oleh Pertamina dan Medco, selalu saja didasarkan pada menurunnya pendapatan perusahaan," lanjutnya.
Namun dari data yang didapatnya. berdasarkan Laporan Keuangan Medco Energi, keuntungan JOB Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi menunjukkan peningkatan pendapatan semenjak 31 Maret 2009 hingga 31 Maret 2011. Pada 31 Maret 2009 keuntungan yang didapat sekitar Rp 6,1 triliun dan pada 31 Maret 2011 menjadi Rp 6,8 triliun.
Perampokan terhadap dana program pemberdayaan masyarakat juga dilakukan oleh para elit-elit politik borjuasi lokal. Dana yang seharusnya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat dikorupsi atau dirampok oleh elit-elit tersebut, untuk memperkaya dirinya, dana kampanye pilkada dan dana suksesi pemekaran wilayah "Morowali Utara", semenjak tahun 2004.
"Pembakaran terhadap sumur minyak Pertamina-Medco di Tiaka merupakan imbas dari kekecewaan warga terhadap perilaku pemilik modal dan elit politik. Namun pada akhirnya, masyarakat yang dirugikan malah dikriminalisasi," ucapnya.
Amuk massa yang membakar sumur minyak milik investor Joint Operating Body (JOB) Pertamina- Medo E&P Tomori juga mengakibatkan 22 orang, yang seluruhnya warga Desa Kolo Bawah, ditangkap dan dijadikan tersangka oleh aparat kepolisian dengan dalih pengrusakan dan pembakaran, atau lebih tepatnya kriminalisasi terhadap warga.
[ald]
BERITA TERKAIT: