Mengapa SBY Masih Bercokol di Partai yang Berkhianat?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/aldi-gultom-1'>ALDI GULTOM</a>
LAPORAN: ALDI GULTOM
  • Selasa, 21 Juni 2011, 11:12 WIB
Mengapa SBY Masih Bercokol di Partai yang Berkhianat?
presiden sby/ist
RMOL. Slogan anti-korupsi yang selalu digembar-gemborkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jadi omong kosong belaka gara-gara kasus korupsi di dalam partai binaannya sendiri. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin, terus menerus melempar tuduhan yang, meminjam istilah Jimly Asshiddiqie, "melukai kanan kirinya".

Kemarin, melalui pesan singkat pada wartawan, Nazaruddin yang diduga masih berada di Singapura, menuduh kader Demokrat yang menjabat Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Mirwan Amir, sebagai aktor utama penerima aliran suap Sesmenpora dan membagikannya ke semua pimpinan Banggar.

Direktur Eksekutif Indonesia Development Monitoring, Munatsir Mustaman, mengatakan, kisruh di Partai Demokrat dipastikan bakal sangat panjang juga membuang energi yang besar. Carut marut itu turut berpengaruh pada kinerja dan citra Presiden Yudhoyono yang adalah Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat. Karena itulah wajar menguat desakan agar Presiden mengundurkan diri dari partai.

"Alangkah lebih baik dia (SBY) mundur dari Demokrat. Selama ini kan SBY gembar-gemborkan pemberantasan korupsi, tapi sekarang lihatlah partainya jadi sarang korupsi. Itu sangat bertolak belakang dengan apa yang ia perjuangkan," ujar Munatsir kepada Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Selasa, 21/6).

Sungguh aneh bila Presiden mengkampanyekan pemberantasan korupsi tapi partai binaannya adalah sarang koruptor. Menurutnya, seharusnya Presiden memulai pemberantasan korupsi dari Demokrat sebagai bukti tegas bahwa slogan anti korupsi bukan omong kosong. Dan sebelum memulai, SBY terlebih dahulu keluar dari Demokrat agar tidak terjebak konflik kepentingan.

"Selama ada di dalam partai, konsentrasinya akan terpecah dan terseret konflik kepentingan anak buahnya," ujarnya.

Lagipula, Munatsir menambahkan, SBY sudah kehilangan pengaruh di dalam Demokrat. Kasus Nazaruddin menunjukkan dengan gamblang bahwa Demokrat terpecah-pecah. Faksi-faksi bertarung membawa kepentingan masing-masing dan SBY seperti kebingungan di tengah pertarungan kepentingan itu.

"Sebenarnya, SBY mulai kehilangan pengaruh karena faksi- faksi di dalam partai akan berjuang dengan kepentingan masing-masing dan bisa saja bertentangan dengan kepentingan SBY. Ingat, SBY tidak bisa mencalonkan diri lagi di Pilpres 2014, itu membuat di dalam Demokrat terjadi perpecahan yang hebat. Lebih baik dia keluar dari Demokrat," pungkasnya.[ald]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA