Tapi klaim Nunun mengidap sakit pikun sempat diperdebatkan karena ia disebut-sebut sering melakukan perjalanan Singapura-Thailand untuk memenuhi hasratnya berpelesiran dan berbelanja. Politisi senior Golkar, Fahmi Idris, sempat membuka kebohongan Nunun dan bersumpah mengetahui bahwa Nunun pernah berada di Bangkok, Thailand dengan kondisi sehat walafiat.
Tidak jelasnya keberadaan Nunun, membuat Komisi Pemberantasan Korupsi meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menarik paspor Nunun Nurbaeti. Permintaan itu merupakan upaya Komisi Pemberantasan Korupsi memulangkan tersangka kasus suap cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tersebut. Dengan demikian, pergerakan Nunun di luar Indonesia akan terbatas di satu negara saja. Tanpa paspor, dia akan dianggap melanggar hukum satu negara.
Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, menjelaskan, Singapura punya hak mengabulkan atau menolak permintaan Indonesia mengembalikan Nunun.
Dia mencontohkan kasus ekstradisi David Nusa Wijaya, terpidana kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) BUS sejumlah Rp 1,291 triliun. David melarikan diri sebelum dieksekusi dan menjadi salah seorang dari 12 buronan kelas kakap Indonesia yang berada di luar negeri. Sebelumnya, di tingkat banding Mahkamah Agung pada tahun 2003 dia divonis hukuman penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 30 juta serta membayar uang pengganti sebesar Rp 1,291 triliun. Tapi, Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat (FBI) berhasil menangkap dan mengembalikan David ke Indonesia pada Januari 2006 dari AS.
"David Nusa Wijaya kita minta ke AS, meskipun tidak punya ekstradisi dengan AS. Dalam kasus Nunun, tinggal bagaimana kita yakinkan Singapura bahwa Nunun penting bagi Indonesia," ujar Hikamahanto saat dihubungi
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Kamis, 26/5).
Mengenai penarikan paspor milik Nunun, dianggap Hikmahanto sebagai solusi baik karena diatur dalam UU No 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian disebutkan kalau ada warga negara yang melakukan tindak pidana minimal lima tahun, dapat ditarik paspornya, tapi bukan dicabut.
"Kalau ditarik, Bu Nunun itu tidak akan punya dokumen sah di Singapura, oleh pemerintah Singapura melanggar keimigrasian mereka. Mungkin saja dia akan dideportasi," jelas Hikmahanto.
Ada pula kemungkinan otoritas Singapura akan menyerahkan Nunun karena tak punya kepentingan apapun dengan Nunun. Menurutnya, biasanya para koruptor membawa aset besar ke Singapura dan akhirnya negara itu memiliki kepentingan terhadap asetnya.
"Jadi dalam kasus koruptor yang punya aset di sana, Singapura harus hati-hati, meskipun itu aset tak halal. Tapi, kasus Bu Nunun ini saya kira tidak ada kaitannya dengan asetnya di Singapura," katanya.
Menurutnya, pencegatan Nunun dalam perjalanan Singapura-Thailand atau sebaliknya akan sulit dilakukan.
"Kemungkinan besar adalah kerjasama dengan Thailand. Kalau dengan otoritas Thailand kita belum punya perjanjian ekstradisi tapi punya kerjasama hukum dan di sana juga ada atase kejaksaan kita," terangnya.
[ald]