Telaga Pitu Sarinembah

Diceritakan kembali oleh Hujan Tarigan

Selasa, 24 Mei 2011, 10:02 WIB
Telaga Pitu Sarinembah
ilustrasi/ist

(Untuk anak-anakku; Sabda, Lia, Ghida, Farah, Timur, Tafta, Rasya)

SIANG meranggas. Terik membakar kulit. Ketujuh orang sakti dari Dairi itu terus melangkahkan kaki. Menuruni bukit menuju lembah. Kaki kaki mereka yang telanjang terus merangsek membelah semak belukar.


“Aku sudah tak sabar untuk menantangnya!” gerutu salah seorang.
“Sama,”

Ketujuhnya pun melepas lelah sejenak di tepi telaga. Mereka membasahi kerongkongannya yang sudah kering. Salah seorang dari mereka yang menjadi pemimpin rombongan berdiri menengadah ke langit. Sesaat kemudian, seekor elang mendarat mulus di lengannya.
“Ada berita apa, wahai elang?” tanya dia pada elang putih itu.

***

Tersebutlah seorang penghulu di Raja Tengah. Guru Diden gelarnya. Kesohor karena ilmu dan kepandaiannya. Dia dapat mengobati orang sakit, tahu tentang hari yang baik diantara hari yang tiga puluh. Dapat menghitung ganjil genapnya bilangan bulan di langit, dan mampu meramalkan tamu-tamu yang bakal datang.

Orang banyak hormat dan segan kepadanya, bukan saja karena ilmunya yang tinggi, tetapi juga karena sifatnya yang adil dan bijaksana. Salah satu diantara sikapnya yang sangat dipuji orang ialah ramah dan lemah lembut terhadap siapa saja, tanpa membedakan kaya ataupun miskin. Banyaklah orang yang menuntut ilmu kepadanya, sehingga tersebarlah murid-muridnya di berbagai tempat di Tanah Karo.

***

Siang mulai redup. Ketujuh datu sakti itu kembali membelah hutan.

“...Tak ada yang lebih sakti dari kami. Tak ada yang lebih pandai dari kami, kami Guru Pakpak Pitu Sedalinen siap turun mencoba kesaktian. Tak ada yang lebih sakti dari kami...” rombongan itu terus bernyanyi, mengusir lelah dan penat di hati. Sementara seekor elang teus berkaok-kaok di angkasa menuntun mereka.

Panas terus membakar. Matahari dengan perkasa membagi sinarnya hingga menembus celah dedaunan hutan yang lebat. Ketujuh datu sakti itu pun tiba juga di kampung Raja Tengah. Sambil menahan haus, mereka serentak menemui seorang pemuda yang mereka temui.

“Oh, silih, tolonglah ambilkan kami buah kelapa muda, karena kami ingin minum,” ujar pemimpin rombongan sambil menahan nafasnya yang terengah-engah.

Pemuda setempat yang ditemui mereka hanya tersenyum. Dengan ramah dia menjawab, “Baiklah, yang menanamnya dulu pun bermaksud, bahwa kelapa itu direlakannya untuk diminum oleh siapa saja yang datang ke kampung Raja Tengah ini, apakah ia kalimbubu, sembuyak atau anak beru, bahkan orang yang belum dikenal sekalipun,” kata dia sambil mengingatkan, bahwa kelapa yang akan diturunkannya dari pohon, tak akan habis diminum.

“Sudahlah. Turunkan saja silih. Adalah tanda laki-laki melaksanakan apa yang telah diucapkannya,” balas pemimpin rombongan, tetap dengan nafas yang terengah.

Pemuda kampung itu pun kemudian memanjat dan menjatuhkan tujuh buah kelapa dari tandan. Kemudian dipotongkan dan diserahkannya kepada Guru Pakpak Pitu Sedalinen.

Sambil bercengkrama dengan pemuda itu, ketujuh orang sakti itu mulai meminum air kelapa. Sudah hampir setengah jam, namun air kelapa tak habis-habis juga. Ketujuh orang sakti itu mulai kembung oleh air kelapa yang diberikan pemuda yang mereka temui. Sambil terus mengalihkan pembicaraan, ketujuh orang asing itu mencari cara untuk menghabiskan air kelapa.
“Air kelapanya sungguh segar, silih. Baru beberapa teguk, hilang hausku,” ujar pemimpin rombongan. Keenam orang lainnya pun berkata yang sama sambil meletakkan buah kelapa di atas tanah. Mereka menyerah. Si pemuda tersenyum geli. Namun sebagai tuan rumah dia berusaha ramah. Dibersihkannya sisa-sisa kelapa yang masih terisi air itu.
“Mubazir,” bisik lelaki itu kepada dirinya sendiri. Kemudian dia menendang satu per satu buah kelapa ke langit. Dan ajaib! Buah-buah kelapa itu kembali menempel di tandan di atas pohon kelapa.

“Boleh juga,” ujar pemimpin rombongan. Diliriknya si pemuda dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia mulai menerka. Bisa jadi pemuda ini salah seorang dari murid Guru Diden. Tak mau kalah, dia dan keenam temannya pun sepakat untuk menggelar atraksi kecil-kecilan.

Dengan pamer mereka kemudian mulai merapal. Angin diseru, hujan dipanggil. Maka hujan dan angin kencang pun turun di tengah siang yang gersang. Kilat terus menyambar, sambung menyambung. Guntur menderu-deru, menakutkan mahluk yang ada. Kayu-kayu roboh. Batang pohon terbakar oleh petir yang menyambar. Rumput-rumput tercabut dari tanah. Asap mengepul ke angkasa. Ketujuh datu sakti itu tertawa melihat alam yang marah.

Lama mereka memamerkan kesaktiannya itu pada pemuda kampung. Menjelang sore, barulah bencana itu mereda dan berakhir. Pemimpin rombongan tersenyum puas. Dipandangnya lelaki kampung yang berdiri takjub melihat kesaktian mereka.

Senja merembang. Ketujuh datu sakti itu memutuskan untuk menghentikan pencarian Guru Diden.
“Apakah kami bisa menginap di rumah ndu, silih?” tanya pemimpin rombongan. Pemuda yang mereka temui itu lagi-lagi tersenyum. Dia membimbing tamunya menuju gubuknya di Kampung Raja Tengah. Angin bertiup sejuk. Elang terbang berputar-putar diantara langit teja.

Sesampai di pondok sang pemuda, Guru Pakpak Pitu Sedalinen itu pun meminta disediakan makanan secukupnya. Mereka meminta ditanakkan tujuh periuk besar nasi untuk makanan mereka.
“Bisa. Tapi, nasi sebanyak itu takkan habis dimakan oleh silih,” kata lelaki itu menjawab permintaan ketujuh orang sakti itu.
“Adalah pantang bagi laki-laki tidak menepati cakapnya,” jawab pemimpin rombongan.

Maka pemuda itu pun meminta istrinya menyediakan nasi, tetapi banyaknya hanya sekira terhabiskan oleh ketujuh orang itu saja.

Tibalah waktu makan. Hidangan disediakan, dan ketujuh orang sakti itu telah duduk di tempatnya masing-masing. Oleh si empunya rumah, mereka dipersilakan untuk makan. Namun ketika mereka mencuci tangan di tempat yang telah disediakan ternyata tangan mereka melekat dan tak dapat lepas. Susah payah ketujuh orang sakti itu melepaskan tangan mereka dari tempurung pencuci tangan.

Sekian lama berusaha, akhirnya tangan mereka lepas juga. Maka makanlah mereka dengan lahapnya. Namun lagi-lagi mereka termakan kata-kata sendiri. Nasi yang disediakan tuan rumah terasa mengganjal mereka dengan cepat. Sehingga tak terhabiskan oleh mereka.

Merasa dikerjai, ketujuh orang sakti itu pun mulai bertanya-tanya perihal si tuan rumah.

“Siapa orang ini, apa mungkin dia itu si Guru Diden sendiri?”
“Tidak mungkin, dia terlalu muda,
“Ah, mungkin dia pun punya kesaktian menyalin rupa,”
“Entahlah, mungkin saja.
“Mungkin...”
“Tapi aku rasa bukan,”
“Iya. Ini Guru Diden,”
“Kita dikerjai...”

Ketujuh orang sakti itu terus menbak-nebak. Namun belum berani menyimpulkan. Usai makan, lagi-lagi si pemilik rumah, membersihkan makanan yang bersisa. Sembari dia membersihkan sisa makan malam, ketujuh orang sakti itu pun memutuskan untuk bertanya pada istri si pemilik rumah.

Dari balik dinding bilik, istri si empunya rumah menjawab semua pertanyaan ketujuh orang sakti itu.

***

Malam kian larut, suara jangkerik pun sudah tak terdengar lagi. Ketujuhnya masih berbincang-bincang tentang tuan rumah, Guru Diden yang terkenal itu. Orangnya kecil saja. Sepintas lalu mungkin disangka masih anak muda. Tetapi ilmu dan kedudukannya membuat ia termahsyur dan disegani orang banyak. Mereka sadar ternyata sepanjang pertemuan dengan pemuda kampung, adu ilmu sudah terjadi. Dan Guru Diden mampu membuat ketujuhnya menelan kekalahan.

“Bagaimana? Apa mau dilanjutkan?” tanya seseorang dari mereka dengan suara berbisik.
“Lanjutkan,”
“Sudahlah, cukup saja. Kita pulang besok. Malu aku,”
“Tak mengapa, sekali lagi kita coba kepandaiannya,”

Esok harinya, setelah selesai sarapan pagi, Guru Diden mengajak tamunya berkeliling melihat-lihat kampung Raja Tengah.

“Lihatlah kampung kami, agar nanti ada yang akan kamu ceriterakan bila telah pulang”, demikian kata Guru Diden. Ketujuh Guru dari Pakpak itu pun berjalanlah bersama-sama dengan tuan rumah.

Setelah lelah berkeliling, Guru Diden membawa tamunya ke sebuah tempat di perladangan dekat perbatasan Raja Tengah dengan Perbesi. Disitulah tempat menguji ketujuh orang dari Pakpak itu telah dipersiapkan oleh Guru Diden.

“Disini ada lubang yang berisi telur ayam, kue cimpa dan lain-lain. Silakan masukan tangan saudara itu ke dalamnya”, begitu kata Guru Diden. Maka seorang demi seorang mencoba memasukan tangannya ke lubang itu, tetapi setelah sampai di dalam tak bisa dikeluarkan lagi. Sudah enam orang yang memasukkan tangan, dan ke enam tangan mereka terjepit semua.

Pemimpin rombongan yang tak ikut memasukkan tangannya ke dalam lubang panik. Ditelannya ludahnya. Dia tengah menyaksikan kesaktian Guru Diden. Sementara keenam temannya terus meronta, mencoba melepaskan tangan mereka dari dalam lubang. Akhirnya pemimpin rombongan guru Pakpak Pitu Sedalinen menyerah.

“Aku akui kesaktianmu, Guru Diden. Sekarang lepaskanlah mereka,” ujar pemimpin rombongan yang hanya bisa melihat keenam rekannya terjebak.

“Aku hanyalah manusia biasa saja, seperti saudara juga. Ilmuku pun tak ada. Tapi kalau itu pun saudara akui kelebihanku, apa boleh buat terserahlah kepada saudara,” ujar Guru Diden. Mendengar penjelasan Guru Diden, pemimpin rombongan pun berjongkok dan memasukkan tangannya ke lubang untuk mengambil telur dan cimpa. Seperti keenam temannya, tangannya pun terjebak juga. Dia meronta.

Di langit, seekor elang terus terbang berputar-putar. Matanya nyalang mengawasi ketujuh orang sakti yang tengah terjebak.

Dengan hati dipenuhi kasih, Guru Diden pun melepaskan ketujuh orang sakti yang sudah mengakui kelemahannya. Guru Diden memukul tanah, dan lepaslah tangan ke tujuh orang sakti itu.

“Ilmu bukan untuk dipamerkan. Tetapi untuk diamalkan. Bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk dibagikan. Sekarang lihatlah, ilmu kalian menghasilkan sesuatu,” ujar Guru Diden. Perlahan dari ketujuh lubang memancar mata air bening. Membentuk tujuh telaga.

“Pulanglah, dan gunakan ilmu saudara di jalan semestinya,” tutup Guru Diden. Ketujuh orang sakti hanya bisa terhenyak melihat air mancur demikian indah.

***

Sampai sekarang, pada hari baik dan malam terang bulan, dari ketujuh mata air itu tampak air memancur tinggi, sehingga menimbulkan pemandangan yang menarik hati. Masyarakat percaya, itu adalah mata air keikhlasan tujuh datu sakti yang menyadari kekeliruan mereka.

Berastagi, 6 Nopember 2009


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA