Hal tersebut disampaikan anggota Komisi V DPR, Abdul Hakim kepada
Rakyat Merdeka Online, Jumat (20/5).
"Saya menilai kasus kecelakaan Pesawat Merpati jenis MA-60 di Kaimana beberapa waktu lalu tidak dapat dilihat hanya sebagai faktor teknis semata," ujar legislator PKS ini.
Dia mensinyalir ada persoalan terkait sertifikasi kelaikan standar yang dikeluarkan oleh
Direktorat Kelaikan Udara, Kementerian Perhubungan dalam proses pembelian pesawat itu. Apalagi berdasarkan catatan International Civil Aviation Organization (Organisasi Penerbangan Internasional/ICAO) tertanggal 27 Maret 2006, sertifikasi yang dikeluarkan tidak memenuhi standar internasional.
Yang semakin memperumit masalah, tidak terealisasinya amanat UU 1/2009 yang memandatkan pemerintah membentuk lembaga sertifikasi penerbangan setahun setelah terbentuknya UU terkait.
“Sudah lebih dari 1 tahun sejak UU ini disahkan dan sampai saat ini pemerintah belum mempunyai lembaga sertifikasi yang dimaksudâ€, tegas Hakim.
Menurutnya, jika standar lembaga sertifikasi ini sudah mendapat pengakuan setara dengan Federal Aviation Administration (Lembaga Standarisasi Penerbangan Amerika Serikat/FAA), maka tidak diperlukan lagi opini dari FAA untuk menentukan kelaikudaraan pesawat yang kita gunakan.
“Belajar dari kasus ini, Komisi V akan terus mendesak pemerintah agar segera membentuk Penyelenggara Layanan Umum Sertifikasi Kelaikudaraanâ€, pungkas
Hakim.
Sementara itu terkait kasus kecelakaan Merpati di Kaimana, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) meminta semua pihak bersabar menunggu hasil penyelidikan dan penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi menjelang jatuhnya pesawat MA 60 milik Merpati Nusantara Airlines di Teluk Kaimana, Papua Barat 7 Mei lalu. Namun, berapa lama proses investigasi akan berlangsung KNKT tidak bisa memastikan sebab hal itu tergantung dari kondisi dua kotak hitam yang diperiksa.
[ald]
BERITA TERKAIT: