Konon, sebetulnya lebih dari empat orang mahasiswa yang tertembak mati. Ratusan mahasiswa saat itu jadi korban kekerasan negara dan dibawa ke RS Sumber Waras. Mereka yang tewas kemudian dinobatkan menjadi Pahlawan Reformasi. Tapi, gelar pahlawan tidak meluruskan sejarah.
Perjuangan terhebat kita adalah perjuangan melawan lupa. Mungkin itu pula salah satu sebab bangsa ini terkenal sebagai negara yang tidak pernah selesai dalam hal menuntaskan daftar panjang pelanggaran HAM di masa lalu yang sebagian besar dilakukan sistematis oleh negara.
Tidak hanya kasus kerusuhan Mei 1998, kasus penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998 juga diabaikan pemerintah, sejumlah kasus pelanggaran HAM berat, Tanjung Priok 1984, Talangsari 1989, Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998/1999, semua samar. Mundur lagi ke belakang, pembantaian ribuan manusia pasca 1965. Bangsa ini melupakan tragedi.
Mungkin kalau hanya melupakan tragedi, bisa kita berasumsi, bangsa ini tidak mau membangkitkan luka lama di kehidupan kini. Padahal, bangsa ini tidak alergi pada tragedi!
Kejadian hari ini 12 tahun lalu di Trisakti memicu kerusuhan lebih luas. Aksi damai mahasiswa yang dibubarkan dengan peluru tajam berakibat pembakaran dimana-mana, penjarahan, dan akhirnya yang terburuk, sejumlah perempuan diperkosa atas nama kebencian ras. 13-14 Mei 1998, Jakarta benar-benar lumpuh.
Hari itu merupakan puncak dari huru-hara di Jakarta.Tim Gabungan Pencari Fakta Tragedi Mei mencatat, 288 korban meninggal, 101 korban luka, 92 perempuan menjadi korban perkosaan, dan ribuan rumah rusak terbakar. Kerugian fisik diperkirakan mencapai Rp 2,5 triliun.
Berbicara tragedi Mei, tak lepas dari bayangan akan konspirasi. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menjadi sorotan kalau kita bicara konspirasi. Saat suasana tegang dan mencekam Ibu Kota di pertengahan Mei 1998, tepatnya 14 Mei, hampir semua perwira tinggi teras ABRI tidak berada di Jakarta. Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto pergi ke Malang untuk menjadi inspektur upacara serah terima Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC). Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan dalam biografinya "Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando" yang ditulis oleh Hendro Subroto, mempertanyakan keberadaan ABRI saat keamanan memburuk di Mei 98.
Jenderal Wiranto di bukunya bertajuk "Bersaksi di Tengah Badai", yang diterbitkan tahun 2003 menyebutkan soal kepergiannya sebagai Panglima ABRI ke Malang untuk timbang terima Pengendalian Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC) atas permintaan Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo. Panglima ABRI Jenderal Wiranto memboyong jenderal-jenderal penting ke Malang untuk menghadiri sebuah acara peralihan Komando Pengendalian Pasukan Pemukul Reaksi Cepat di tengah suasana Jakarta rusuh? Tidak ada satupun unit militer yang mengendalikan api dan amuk massa 13-14 Mei. Polemik ini pula yang menjadi bahan bantah-membantah antara Prabowo dan Wiranto sebelum akhirnya mereka "berdamai" di Pilpres 2009.
Tangan Kapolri Jenderal Timur Pradopo juga disebut berdarah-darah pada bulan Mei 1998. Dia pernah bertanggung jawab atas insiden berdarah pada tahun 1998 yang menewaskan sejumlah mahasiswa. Selaku Kapolres Jakbar saat itu, Timur Pradopo bertugas sebagai Wakil Komandan Kolaops dalam struktur komando operasi Mantap Jaya III di bawah pimpinan Pangdam Jaya, Mayjen TNI Safrie Syamsuddin. Dia juga berada dalam struktur komando operasi Mantap Brapa III dengan penanggung jawab Kapolri Jenderal Dibyo Widodo. Timur Pradopo berada di lapangan saat terjadi penembakan terhadap mahasiswa Trisakti. Begitu pula dalam peristiwa Semanggi II.
Baiklah, itu kenangan pahit. Tapi bukan berarti harus dilupakan. Dan pemerintah, seharusnya menjadi yang terpercaya mengupas dan menegakkan keadilan. Janganlah berdalih dengan hukum positif. Sadarkah para elit pemerintah dan DPR bahwa keadilan versi rakyat saat ini sedang bercerai dari hukum positif.
Mengertikah para pemangku kekuasaan, kebesaran yang mereka renggut saat ini adalah anak kandung pengorbanan panjang rakyat dengan darah dan air matanya. Sadarkah mereka demokrasi yang saat ini diklaim pemerintah sebagai prestasi merupakan anak kandung dari kematian tragis mahasiswa, ribuan luka mahasiswa.
Kalau mau melupakan tragedi, tegakkan dulu keadilan. Nama-nama petinggi militer yang diduga kuat menjadi pemberi instruksi penembakan mahasiswa harus dibawa ke muka pengadilan, bukan hanya
kroco-kroco berseragam yang dihukum ringan.
Dan satu lagi, kalau mau melupakan tragedi, jangan pula kita tidak alergi pada tragedi. Peristiwa-peristiwa menyedihkan masih saja menaungi atmosfer berdemokrasi. Bukankah kemiskinan dan pembodohan (bukan kebodohan) mayoritas rakyat adalah tragedi juga? Lalu, bagaimana kita memandang deretan peristiwa pelarangan ibadah yang menimpa minoritas, bukankah itu juga tragedi? Peristiwa Ciketing, Kerusuhan Temanggung, Kerusuhan Cikeusik, dan banyak lagi. Aksi-aksi terorisme, kiriman paket bom buku, bom bunuh diri, bukankah itu tragedi pula?
Memang banyak yang harus negara ini selesaikan. Kasus warisan masa lalu dan bibit-bibit tragedi di masa depan yang sedang bertunas kini. Semoga demokrasi, keadilan dan kesejahteraan tidak berjalan mundur, lagi saling mendahului.
[ald]