"Hingga hari ini dari pertengahan Maret lalu, sudah hampir 25 hari, belum ada perkembangan membaik," ujar Guru Besar Hukum Internasional, Hikmahanto Juwana, kepada
Rakyat Merdeka Online, Senin (11/4).
Indikasi bahwa peran pemerintah belum optimal adalah, pertama, tuntutan uang tebusan melonjak dari sebesar 2,6 juta dollar AS, kemudian dinaikkan menjadi 3,5 juta dollar AS.
"Sebelumnya, pernah ada kapal Arab Saudi yang dibajak, mereka cepat negosiasi dan bisa menurunkan harga," ucap Hikmahanto memberi perbandingan.
Kemudian, Pemerintah RI tidak pikirkan apakah kapal itu memiliki stok logistik dan obat-obatan yang cukup untuk jangka waktu tertentu.
Padahal, perompak Somalia yang membajak Sinar Kudus bukanlah pembajak yang canggih. Dan, soal komunikasi dari RI dengan kapal tidak ada kesulitan.
"Uang saja mereka minta
cash bukan transfer," tegasnya.
Menurutnya, Pemerintah punya dua opsi. Pertama, opsi damai memenuhi tuntutan. Tapi memang opsi ini nyaris mustahil, karena pemerintah akan menjaga harga dirinya tidak tunduk pada pembajak.
Kedua, dengan kekekerasan. Tapi, opsi ini rahasia dan tidak bisa dibuka ke publik. Hikmahanto yakin, kekuatan TNI sangat memadai melakukan operasi pembebasan. Ia teringat operasi pembebasan sandera dalam pesawat Garuda Indonesia pada 1981 yang dilakukan Kopassus.
"Yang harus diutamakan adalah keselamatan ABK harus dipikirkan. Tetapi, kalau Sinar Kudus berada di perairan Somalia kita harus izin dulu. Kalau di perairan internasional, ada hukum internasional yang memperbolehkan kita masuk," jelasnya.
Hikmahanto membandingkan upaya pembebasan sandera Sinar Kudus dengan evakuasi warga negara dari negara-negara Timur Tengah yang alam konflik seperti Mesir dan Libya.
"Evakuasi dari Libya misalnya berjalan cepat, tapi yang ini (sandera Sinar Kudus) tidak. Indonesia sudah ada dalam konteks global. Di sinilah peran penting Indonesia perlu hadir," tuturnya.
[ald]
BERITA TERKAIT: