Sayangnya, pemerintah tidak mampu berbuat banyak untuk mengontrol dan mengendalikan pasar. Misalnya, masih banyak makanan impor yang tidak mencantumkan bahasa Indonesia, banyak yang tanpa label halal maupun Standar Nasional Indonesia. Hal itu, menurut Anggota Komisi VI DPR, Iskandar Syaichu, karena lemahnya instrumen dalam negeri.
"Belum lagi soal menyaingi produk impor. Bahkan saya khawatir pelaku industri kita akan berubah profesi sebagai pedagang produk impor daripada mendirikan pabrik sendiri," ujar Iskandar Syaichu kepada
Rakyat Merdeka Online, sesaat lalu (Kamis, 31/3).
Tak heran jika protes keras dilancarkan para pelaku bisnis dalam negeri kepada pemerintah karena pemerintah belum konkrit membantu mereka dalam suasana serbuan impor.
"Sama saja APBN kita dibelanjakan barang luar negeri, barang China, buktinya ya impor ini. Kami mendesak dilakukan evaluasi menyeluruh terkait satu tahun pelaksanaan ACFTA," tegasnya.
Ia mengaku selama ini seperti diberi angin segar terus oleh Menteri Perdagangan, Mari Elka Pangestu, yang terus sesumbar bahwa ekspor non-migas RI ke China pada 2010 meningkat.
"Tapi apa yang kita rasakan? Kita merasa babak belur diserbu impor," ketus Wakil Bendahara Fraksi PPP ini.
Syaichu juga akan meminta Kementrian Perindustrian memonitor sejauh mana dampak ACFTA terhadap kinerja industri dalam negeri terutama yang mencakup 228 pos tarif dengan fokus pada lima kelompok industri, logam, Tekstil dan Produk Tekstil, elektronik, permesinan dan furnitur.
Sebelumnya, haÂsil survei yang dilakukan KeÂmenperin menyimpulkan, ACFTA telah berdampak pada penurunan produksi sektor inÂdustri dalam negeri.
[ald]
BERITA TERKAIT: