Kejanggalan-kejanggalan itu mulai dari alasan penetapan status tersangka dan penahanan terhadap ke-24 mantan anggota Komisi IX DPR periode 1999-2004, hingga langkah KPK dalam mengungkap siempunya
travellers cheque, Nunun Nurbaeti.
"Penetapan tersangka dan penahanan dilakukan KPK karena beralasan sudah ditemukan bukti yang cukup, ternyata tidak. KPK hanya melihat putusan Dudhie Makmun Murad (terpidana kasus yang sama)," ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia sekaligus pengacara tujuh tersangka TC, Petrus Selestinus di gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan (Selasa, 15/3).
Alasan hukum KPK yang mengkhawatirkan para tersangka akan melarikan diri, katanya lagi, juga tidak bisa diterima. "Itu hal mustahil. Sekalipun mantan DPR tapi aktivitas politik dan sosial mereka sangat tinggi. tidak mungkin kabur," sergah dia.
Hal lain yang juga menjadi kejanggalan, terang Petrus, KPK tidak melihat aliran
travellers cheque dari Bank Internasional Indonesia (BII) ke tangan Nunun Nurbaeti yang tidak dilihat sebagai bentuk pencucian uang.
"KPK mengabaikan itu, karenanya kami curiga ada rekayasa dalam kasus TC ini. Buktinya KPK tidak bisa membawa (pulang) Nunun dari Singapura," tegasnya.
Dalam putus Dudhie Makmun Murad di pengadilan Tipikor tahun lalu itu disebut bersalah bersama-sama dengan Emir Muis dan Sutardjo. Tapi kenapa, Petrus mempertanyakan, sampai saat ini KPK belum juga menahan keduanya.
"TC yang di bawa Dudhie Makmun Murad ke fraksi PDI Perjuangan itu tersimpan dulu seminggu di kas fraksi. Tjahjo Kumolo selaku ketua Fraksi waktu itu tidak juga diperiksa. Ingat, dari Rp 10,3 miliar yang dibawa Dudhie, yang Rp 500 juta-nya masuk ke kas Fraksi," imbuhnya.
[zul]