Demikian disampaikan SETARA Institute dalam rilisnya kepada
Rakyat Merdeka Online, beberapa saat lalu (Selasa, 18/1).
SETARA Institute mencatat ada beberapa kekerasan yang terjadi di awal Januari 2011.
Pada tanggal 6 Januari 2010, kegiatan SETARA Institute dengan organisasi HAM di Bandung dan perwakilan kelompok agama-agama minoritas dibubarkan paksa oleh Polisi setelah mendapat tekanan dari organisasi Front Pembela Islam (FPI).
Pada tanggal 13 Januari kegiatan serupa di Surabaya juga dibubarkan paksa oleh Kepolisian setelah ditekan oleh FPI. Bahkan dalam kasus Surabaya, Polisi
hyperactive untuk membubarkan kegiatan yang digagas oleh CMARs-JIAD dan SETARA Institute.
Pada 16 Januari 2011, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Jambi membubarkan paksa kegiatan Kontes Waria dalam ajang Miss Waria Jambi 2011.
Pada tanggal 17 Januari, aksi masyarakat yang diduga kuat diotaki oleh Tim 40 juga berbuat anarkis di ruang Sidang Pengadilan Negeri Cibinong, yang memeriksa 3 terdakwa dalam kasus pembakaran masjid Jemaat Ahmadiyah, Oktober 2010 lalu. Bagaimana mungkin kegiatan sidang sebuah pengadilan bisa dibubarkan karena tekanan massa!
Sementara pada 18 Januari 2010, kegiatan
Indonesia and The World in 1965 yang akan digelar pada 21 Januari, mendapat tekanan dari FPI untuk dibubarkan. Polisi ditekan oleh FPI, lalu Polisi menekan pelaksana kegiatan, agar membatalkan kegiatan tersebut.
Aksi-aksi kelompok
vigilante ini nyata-nyata telah mengancam kebebasan sipil warga negara untuk berserikat, berkumpul, berpendapat, dan berekspresi yang semuanya dijamin dalam Konstitusi RI. Polisi terbukti gagal menjadi pelindung masyarakat dan nyaris kehilangan martabatnya sebagai penegak hukum. Hal ini terjadi karena Polisi tunduk pada tekanan massa.
SETARA Institute menegaskan bahwa aparat hukum dan warga negara tidak boleh tunduk pada cara-cara kekerasan, semacam itu. Cara-cara main hakim sendiri bukanlah cara penegakan hukum dalam sebuah negara hukum. Membiarkan mereka terus beraksi sama saja membiarkan otoritas penegakan hukum ini kepada kelompok sipil yang gemar melakukan kekerasan.
SETARA Institute juga menyesalkan Kapolri yang sama sekali tidak mengambil langkah-langkah hukum terhadap para pelaku kekerasan. Presiden SBY harus memerintahkan Kapolri untuk mengambil langkah-langkah dalam menangani aksi-aksi
vigilante yang semakin meresahkan. Bukan demi citra SBY, tapi demi penegakan hukum di Indonesia.
[yan]
BERITA TERKAIT: