Sebenarnya aku ingin memberikan sedikit kontribusi untuk pesta itu. Tapi mau bagaimana lagi. Karnaval tersebut begitu cepat berlalu. Beberapa detik, luluh-lantak kota. Dalam sekejap mata semua orang terkesiap menyaksikan kampanye akbar itu. Tak ada lagi cerita tentang si Agam, yang beberapa hari lalu bapaknya telah diciduk dari rumah oleh orang-orang berseragam. Tak ada cerita wanita-wanita yang kehilangan suami di pagi buta. Tak ada lagi kisah tentang anak-anak melihat mayat bapaknya meringkuk di tengah pasar yang ramai. Semua sepi.
Karnaval masih terus menyeret orang-orang yang ditemuinya dengan paksa. Seorang bapak harus menyelamatkan nyawa anak-istrinya. Seorang ibu yang mempertahankan selembar nyawa anaknya. Perempuan bunting. Orang jompo. Anak-anak yatim, yang bapaknya hilang, sekarang telah menemukan bapaknya di tengah-tengah barisan mayat yang mulai menyesaki kota.
"Manyet…manyet. Manyet meusipreuk, manyet di laot, manyet di tamung u pante. Manyet di gampong. Manyet ditarek meunasah,[1]" teriak Geuchik[2] memperingatkan warga.
Begitu saja, tiba-tiba semua orang berubah menjadi mayat. Ada yang sedang tidur, ketika bangun sudah menjadi mayat, ada yang di pasar, bersenda gurau di pantai, membajak sawah, ada yang duduk-duduk sambil nonton tivi. Mereka semua diseret paksa untuk bergabung bersama yang lain! Bersama kasur, bersama pasar, bersama pantai… bahkan tivinya juga.
Aku tidak tahu persis apa alasan mereka sebenarnya, sehingga mereka memutuskan untuk ikut dan bergabung di dalam konvoi tersebut. Sial. Aku bahkan tidak bisa membuat reportase langsung dari puncak euphoria mati massal ini. Tak ada seorang mayat pun yang berhasil aku wawancarai. Mereka pergi dengan rahasianya masing-masing. Pergi dengan keadaan bungkam. Entah pada siapa.
Sebenarnya ada juga sih yang sudi memberikan testamennya kepadaku sesaat gelombang itu datang. Tapi dia keburu pergi dibawa ombak.
Aku sangat kecewa dengan sikap mereka yang mati tapi tidak sempat memberikan kesaksian. Sehingga aku putuskan untuk tetap tinggal di atas rumah permanen milik seorang pedagang sambil mereka-reka alasan kesertaan mereka. Dan membuat sebuah laporan:
"Sebenarnya sudah lama mayat-mayat ini rindu pada keluaraga yang telah menjadi mayat juga. Mereka dipisahkan. Ayah dari istri dan anak, istri dari suami dan anak. Adik dari kakak, kakak dari adik. Kematian mereka yang misterius konon telah membuat sebagian mayat yang berpartisipasi dalam kampanye tsunami kali ini nekat untuk bergabung…"
Laporan tersebut ku buat dengan tergesa-gesa. Jelas aku cuma mengarang, lha wong, tak ada narasumber pada kejadian itu. Semua calon mayat sudah pergi ke laut.
"Di depan mayat-mayat lain sudah menyambut. Mereka bangkit penasaran. Sebagian dari mereka adalah ulama. Sebagian petani, sebagian tidak punya urusan apa-apa dengan kelompok manapun, bahkan sebagian dari mereka orang gila"
***
Geuchik mulai blangsatan. Semua panik. Semakin banyak warga ingin ikut di dalam barisan panjang tersebut dan turun kejalan-jalan yang disinggahi mayat "Abu, abu…" ratusan anak-anak berlari ke arah zombie-zombie yang bangkit dari ladang-ladang sawit. "Kamoe rindu keu abu[3]".
Begitu pula kaum istri, mereka menyongsong suami mereka dengan senyuman. "Ho seulawat nyoe?[4]" .
Pak Geuchik mencoba mencegah warganya. Dengan segala kekuatan dia menghalau laju antusiasme warga yang berbondong-bondong datang dari pantai dan kampung.
"… sebagian dari mereka sudah lama merencanakan kesempatan berbahagia ini. Kapan lagi bisa mati dan bertemu sanak saudara yang lama hilang, secara bersamaan?..."
Tanganku terus menulis. Air sudah setinggi rumah. Seseorang yang seperti mayat singgah di tempat aku berdiri. Benar! Wajahnya pasrah sekali! Lantas ku tarik dia. Sial! Lagi-lagi yang ku temukan benar-benar sudah mati! Tapi… dalam jarak tiga meter di hadapanku lewat seorang bapak, calon mayat! Dia melambai ke arahku. Rupa-rupanya dia mengajakku untuk bergabung di dalam pestanya.
Seorang bapak setengah baya, melambai ke arahku, "Ka keuh oh noe mantong. Lon jak mita aneuk yang katrep gadeh hana meu ho. Kamoe meucebre le ureung bajee seragam,[5]"
Tanganku masih menulis. "Yah… selamat jalan bapak, sampaikan salamku pada putramu. Aku juga rindu padanya, aku rindu pada karya-karyanya".
Kali ini aku berhasil mewawancarai seorang mayat. Walau hanya dari tatapan mata saja…
Bersamaku ada juga beberapa manusia. Doa-doa dan dzikir menggema dari mulut mereka. Sebagian dari mereka terlihat ketakutan, sebagian lagi pasrah untuk ikut dibawa gelombang. Ruang tempat kami berpijak agaknya sebentar lagi juga hanyut. Aku begitu yakin dengan ketakutan mereka. Maka aku juga menulis sebuah laporan:
"…sebagian dari mereka ternyata tidak siap untuk berpartisipasi di dalam karnaval kali ini. Mungkin mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai seorang kerabatpun yang dahulu kala telah menjadi mayat, seperti putra bapak tua yang saya wawancarai sebelumnya. Mungkin juga mereka punya, tapi memasrahkan anggota keluarganya hilang begitu saja ditelan malam.
Atau mereka sebenarnya tertarik untuk ikut, tapi merasa ada tugas yang belum selesai dikerjakannya di dunia. Misalnya, melanjutkan perjuangan kerabat mereka yang lama menjadi mayat, hilang, atau lari ke negeri jiran…"
***
Seorang bapak menggandeng tangan anak-anak berusia tiga tahunan, sementara istrinya menggendong bayi yang sedang menyusu. Mereka hanyut dengan bergandengan tangan.
Dalam situasi seperti ini, bagaimana mungkin begitu banyak orang yang ingin liburan bersama keluarga? Berbondong-bondong tergesa-gesa. Dalam perbekalan yang luar biasa banyaknya. Tivi, kulkas, mesin cuci, motor. Ada juga yang membawah rumah mereka.
Mayat-mayat berlalu dengan keadaan beraneka ragam. Mayat bersepatu kets, mayat naik motor, mayat berkain sarung. Mayat tak berbusana. Mayat berkacamata. Bahkan ada di antara mayat yang lewat di depanku, sudah tidak utuh bagian tubuhnya. Siapakah mayat itu? Di mana kah ditinggalkannya anggota tubuh yang lain? Mungkin dia menitipkanya di suatu tempat. Tempat yang tak terlihat. Mungkinkah anggota tubuh itu adalah sesuatu yang ternyata selama ini dicari-cari oleh orang yang telah mengamuk disana sejak empat periode belakangan ini? Sayang aku juga tetap tidak bisa mewawancarainya. Mayat itu terkesan buru-buru.
Iring-iringan terus merangsek. Semakin panjang iringan itu berjalan, semakin banyak mayat yang terkumpulkan. Semakin meriah konvoi itu. Petasan, kembang api, ikut memeriahkan karnaval yang tidak tahu kapan lagi akan diadakan. Klakson mobil bersahut-sahutan.
Semua mayat terlihat antusias dalam mengikuti prosesi. Meski berdurasi kurang dari dua jam, namun kota ini sudah cukup hancur oleh hingar bingar pesta mereka.
Selang beberapa meter di depanku ada juga bangunan yang masih kokoh berdiri. Banyak orang yang juga mengevakuasi diri sendiri ke atapnya. Mungkin antara enam sampai sembilan orang jumlah mereka. Diantara mereka ada seorang ibu dan yang menggenggam erat tiga anak kecil. Aku tidak dapat menebak apakah tiga anak itu adalah darah dagingnya, atau yang mana suaminya, dari sekian banyak lelaki dewasa yang juga berlindung di sana.
"…Hari ini ribuan orang melayang syahid ke surga. Banyak di antara mereka yang tidak tahu alasan kepergian mereka ke sana. Kebanyakan mereka adalah anak-anak. Tidak sedikit juga dari antara mereka yang pergi bersama hewan ternaknya…"
Tempat aku berpijak telah oleng. Dua orang di sebelahku sudah terseret gelombang. Aku dapat merasakan bagian mana dari tembok rumah itu yang dihantam gelombang. Semua tercerai-berai mengambang seperti anai-anai. Tiba-tiba aku sudah berada di antara mereka. Sangat dekat! Begitu dekatnya, sehingga aku dapat melihat raut wajah mereka. Wajah yang penasaran. Aku mengalir di dalam karanaval yang menggelombang. Mengikuti arus mereka. Melalui jalan yang disinggahi oleh mereka yang telah lebih dulu menjadi mayat.
Aku berusaha keras menyelamatkan catatanku. Dalam gulungan karnaval yang mengocok perutku, aku muntah. Muntahku mengalir. Muntah itu darah. Darah telah mengalir dari mulutku. Tidak mungkin, pikirku. Tapi benar. Darah itu merah. Di dalam lumpur aku melihat darahku sendiri. Darah dari tubuh yang takut mati.
Sesosok mayat lewat dengan sopan sekali di depanku. Dia masih setengah mayat! Aku mengejarnya. Ini wawancara hebat, tak ada seorang wartawan pun yang akan mewawancarai narasumbernya dalam keadaan seperti ini. Maka ku kejar dia. Gila, gerakannya gesit sekali. Mungkin dia ini atlit renang, mungkin nelayan, atau mungkin juga informan. Peduli setan siapa dia. Yang jelas aku harus menariknya keluar dari barisan ini. Sinting, telingaku kemasukan air.
Dalam pengejaranku, aku melihat wajah-wajah yang penasaran, ikhlas dan tenang. Wajah-wajah teduh dan dingin. Wajah-wajah asing yang sama sekali tidak pernah aku kenal. Di antara mereka aku melihat satu-satunya orang yang aku kenal di kota ini. Dia mengalir mengikuti pesta sampai akhir
"Geuchik, Geuchik" aku berteriak. Siapa sangka kami bertemu lagi di sana. Sekarang aku harus mengejar Pak Geuchik…
Namun kami berpisah di antara ingatan dan harapan. Aku harus menyelesaikan laporanku.
***
Satu jam berlalu. Perlahan-lahan jalanan mulai sepi dari karnaval. Semua yang hidup mulai turun dari genteng, atap rumah, pohon kelapa serta apa saja yang telah membuat mereka bertahan dari ajakan karnaval tersebut. Aku sendiri turun dari atas kubah sebuah mesjid. Kakiku berdarah, lukanya lebar sekali. Kemeja dan jeans-ku hilang dibawa gelombang. Entahlah. Aku juga bingung. Bagaimana hal itu terjadi. tiba-tiba saja sekarang aku telah telanjang. Bugil tanpa sehelai benang.
Aku berjalan menuju keramaian di kota. Pendopo sudah disesaki orang. Semua berteduh di bawah gedung bekas istana sultan. Sepanjang jalan menuju kota lumpur menggenang. Perempuan menangis, anak-anak terpisah dari orang tua. Suami-suami stres. Banyak yang pingsan. Banyak juga yang tertidur di sepanjang jalan. Mungkin mereka lelah setelah berpesta.
Aku dekatkan wajahku ke wajah seorang bapak yang tergeletak di antara tumpukan orang-orang yang kelelahan. Wajahnya begitu sepi. Tidurnya tidur abadi. Ada banyak yang tidur abadi seperti bapak ini. aku melihat tumpukan mayat yang berada di sekelilingku. Seorang anak memberikan aku selembar seprei, untuk menutup tubuhku. Aku lupa, kalau saat itu aku sedang tak berbusana.
Aku mengeluarkan block notes-ku, dari dalam tas. Sebuah pena yang menggantung di leherku, ternyata tidak hilang dan masih dapat digunakan. Aku membuat sebuah catatan. Penting: pesta baru saja usai!
Di bawah ini aku meneruskan laporanku:
"…Sejauh mata memandang, cuma kerusakan yang mereka tinggalkan. Rumah hancur, mobil terbalik, pohon tumbang, lumpur. Luar biasa banyaknya mayat-mayat di sana. Mayat-mayat itu sudah menjadi akrab dan sangat dekat. Bahkan setelah konvoinya surut. Mayat-mayat terus dan semakin banyak saja berserakan di jalan-jalan, mayat di sawah, mayat di sekolah, mayat di meunasah , mayat di genteng, mayat di dalam mobil, mayat tak berkepala, mayat nyangsang di pohon aren. Mayat di bawah reruntuhan. Mayat bertindihan. Sekeluarga mayat, mayat sepasang kekasih. Mayat nelangsa. Mayat yang rela, Mayat…mayat orang tua, anak-anak, perempuan, lelaki, pejabat, dhuafa, sipil dan non sipil, semuanya berbaris dengan tenang. Semua sudah mendapat tempat istirahat. Hanya saja, sebagian dari mereka belum ditemukan. Malahan menurut kesaksian mata seorang mayat, sebagian mayat masih terus ikut di dalam rombongan karnaval. Sebagian menuju laut, dan sebagian lagi masuk ke kota, menerabas masuk barak dan markas tentara. Mayat-mayat itu mencari anggota keluarga disana.
Dari lokasi pesta saya melaporkan keadaan sebenarnya"
Lantas laporanku selesai. Sekarang tinggal tugas yang hidup untuk membersihkan sampah yang ditinggalkan karnaval mayat. Tapi agaknya pak Geuchik tidak bisa ikut kali ini. Yah… aku bilang tidak bisa ikut saja.
Menteng, 22 Januari 05
Catatan:
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: