Malam minggu, lelaki itu datang lagi, dengan setangkai mawar merah di tangan. Dibalut jas hitam dan dasi kupu-kupu, dia mulai menunggu.
Dengan kemalasan, lelaki itu mengangguk. “Saya hanya singgah. Saya lelah setelah bertahun-tahun melanglang buana.†balas dia dengan acuh.
“Saya tahu beberapa losmen di kota ini. Anda tinggal memilihnya sesuai dengan selera, dan isi kantong Anda,†ujar perempuan itu lagi dengan senyum yang tak akan mungkin bisa dilupakan oleh si lelaki.
“Oh ya?†tanya lelaki kurus. Kali ini dengan semangat.
“Iya, tentu. Saya mengenal beberapa pemilik losmen di kota ini.†jawab perempuan itu.
Entah Minggu malam ke berapa. Lelaki kurus singgah lagi di halte bis di kota itu. Masih dengan dandanan yang sama. Tak lupa sekuntum mawar merah segar sudah berada di tangan kirinya. Kali ini untuk mengusir kesunyian, dia membawa sebuah novel picisan di tangan kanannya, tentunya untuk membaca novel itu dia mengharapkan bantuan sinar rembulan yang bersinar empat belas hari. Tapi apa mau dikata, ketika bulan bulat ditutupi awan, lelaki malang itu hanya bisa mereka-reka kelanjutan cerita novel itu.
“Katakan padaku, sudut bumi mana yang paling indah untuk dijadikan tempat liburan, Jan†ujar Gita.
“Di sini,†jawab lelaki kurus itu.
“Kok?â€
“Iya,â€
“Mengapa di sini?â€
“Karena di sini, aku ingin selalu menghabiskan waktuku bersamamu,â€
“Gombal!â€
“Serius,â€
“Kamu bohong,â€
“Terserah, tapi aku yakin aku tidak sedang berbohong.â€
“Tapi kota ini sudah tidak seperti dulu lagi, terlalu banyak manusia palsu yang singgah. Dan menularkan kepalsuan mereka pada penduduk kota ini,†ujar Gita. Lelaki itu, menarik nafas.
“Sekarang kau meragukan cintaku?â€
“Habisnya, kau tak pernah bercerita terus terang padaku, tentang dari mana kau datang,â€
“Sudahlah, itu tak penting. Yang jelas, sekarang kita sudah tinggal berdua saja di halte ini. Gimana? Kau mau bercinta denganku?â€
“Ih! Genit!â€
Hari mulai terang. Lelaki kurus itu terjaga dari tidurnya. Rupanya tanpa sadar dia telah tertidur di atas bangku di halte itu.
Kembali digesernya lengan jasnya. Pukul setengah lima . Dia hampir terlambat. Dengan lesu diletakkannya sekuntum mawar yang masih segar di atas bangku. Lantas balik badan meninggalkan tempat itu.
Perlahan tetes hujan turun membasahi tanah. Awalnya hanya rintik. Namun semakin siang, hujan itu malah semakin deras. Sore hari, bayangan hitam itu muncul melintasi jalan-jalan sepi. Dengan mengatupkan bibir, lelaki kurus itu menahan gigil yang sejak siang telah membungkusnya.
Selasa malam dia sudah duduk lagi di halte itu. Meski pakaiannya basah, dia tetap yakin, kalau perempuan itu akan singgah. Lelah menderanya sepanjang hari ini. Namun lelaki kurus itu tetap semangat menanti janji yang tak pernah diberi.
“Aku benci kota ini. Hujan, bawalah aku pergi,†desak Gita suatu ketika.
“Tidak mau. Aku cinta kota ini,†jawab lelaki itu.
“Bagaimana mungkin? Sejak kedatangan orang-orang sepertimu, kotaku sudah tak lagi asli. Semua imitasi. Lihat saja, semua penduduk sudah memakai pakaian kepalsuan. Hujan, aku tak mau menjadi manusia palsu. Please bawa aku pergi,â€
“Manisku, aku tidak bisa membawamu,†bujuk lelaki itu.
“Kenapa? Kau sudah punya istri ya di kota lain? Sudah punya anak?â€
“Bukan begitu,â€
“Ah, kau palsu. Sama saja seperti orang-orang asing yang singgah ke kota ini.â€
“Jangan bicara begitu honey,â€
“Habisnya, kalau kau memang bukan imitasi, lantas apa? Banci?â€
Lelaki itu masih tersenyum-senyum sendiri setiap kali mengingat wajah kekasihnya yang marah. Bagi dia wajah cemberut pacarnya adalah pemandangan yang luar biasa. Bahkan lebih luar biasa daripada pemandangan ketika pada suatu hari, dia melihat satu persatu penduduk kota itu pergi dengan alasan yang tak pernah jelas.
“Tatap mataku, kau tak pernah serius padaku. Kau hanya tertarik pada kota terkutuk ini,â€
“Aku suka kota ini,â€
“Bohong, mana ada orang yang suka pada kota kosong melompong begini?â€
“ Ada, akulah orangnya,â€
“Ih!!!â€
Hari lain sudah menanti. Lelaki kurus itu pergi untuk kemudian nongkrong kembali di halte bis pada sore harinya. Entah Rabu keberapa. Tapi yang jelas lelaki itu tetap ada di sana. Dengan jas hitam berdasi kupu-kupu. Tak lupa menggenggam sekuntum mawar yang selalu segar.
Lelaki itu menyembunyikan senyumnya di balik selubung malam. Diingatnya tirus wajah pacarnya. Wangi rambut, kenyal dada, serta bibir sang pacar yang kadang-kadang manis kadang-kadang tawar.
Semakin malam, pikiran si lelaki semakin terbang ke awan. Dia tak hirau dengan serangan nyamuk atau bisikan setan yang gentayangan. Lelaki itu asik pada ingatannya sendiri. Hingga terang mengganti hari, dan lelaki itu pergi, untuk kembali lagi.
Hujan turun kembali pada Kamis malam. Dengan payung, si lelaki itu menerobos kegelapan untuk sebuah tujuan; halte sepi di tengah kota mati. Dengan wajah yang semakin muram, lelaki itu duduk menyandarkan dirinya di palang besi di halte itu. Nafasnya memburu. Dia hamper hilang kesabaran. Sudah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-tahun, berwindu-windu, namun sang pacar tetap tak singgah.
“Aku pergi,â€
“Mau kemana?â€
“Keliling duniaâ€
“Keliling dunia? Buat apa?â€
“Liburan,â€
“Liburan? Aku kira kau benci bertemu dengan manusia palsu,â€
“Aku memang benci dengan mereka,â€
“Lantas? Buat apa kau keliling dunia? Di setiap sudut bumi banyak manusia palsuâ€
“Mau menakut-nakutiku? Heh, aku tak takut lah yaw,â€
“Bagaimana dengan aku?â€
“Kita bisa pergi bersama-sama,â€
“Tapi aku suka kota ini,â€
“Aku tidak,â€
Pukul tiga pagi hujan baru berhenti. Tak dirasa, genangan air sudah mengepung kaki si lelaki. Dia kaget, ketika menyadari ribuan kuntum mawar mengambang di dekat kakinya. Kemudian dia bangkit, dengan berat diseretnya kakinya perhgi meninggalkan kuntum mawar di atas bangku.
Hari Jumat lelaki itu jatuh sakit. Pilek dan gatal-gatal. Dia putuskan untuk tidak datang ke halte itu pada malam harinya. Di sudut lain di bumi ini, lelaki itu memutuskan menghabiskan waktu dengan cara yang beda. Mungkin dia akan menemui kelompoknya yang sudah bertahun-tahun ditinggalkannya, memesan berbotol-botol bir lantas mabuk sampai pagi. Namun begitu dia sampai di kelompoknya yang dia temukan bukan teman-teman yang seperti diharapkannya. Semuanya sudah berubah. Lelaki kurus tak lagi menemui wajah-wajah lama. Sekarang yang dilihatnya adalah wajah asing pemuda-pemuda ingusan duduk bergerombol menghabiskan candu diselingi canda mesum.
Dengan langkah gontai lelaki kurus mengambil tempat di antara orang-orang asing itu. Ditenggaknya bir, seteguk dua teguk, sebotol dua botol. Berbotol-botol habis ditelannya. Hari makin larut. Dengan sempoyongan dia bangkit meninggalkan gerombolan pemuda itu.
Sabtu pagi. Sinar mentari menusuk matanya. Silau membuat lelaki kurus itu terjaga dari mabuknya. Setengah sadar dia bangkit dari tidurnya, dan menggaruk-garuk kepala sendiri begitu menyadari dia telah berada di halte itu lagi. Cengengesan, dia perlihatkan deretan giginya yang kuning. Sejurus dia meraba-raba saku jasnya. Dia menemukan sekuntum mawar segar, namun sudah rusak. Perlahan dia berbisik pada mawar itu. Meracau sendiri.
Hari itu, aku singgah juga di kota itu. Kota yang benar-benar sepi. Sekian mil berjalan, barulah aku bertemu dengan seseorang. Maka kuhentikan mobilku persis di depan sebuah halte bis yang tak terawat.
“Hai Pak Tua, di mana semua orang?†tanyaku. Lelaki kurus hening sejenak. Kemudian dengan setengah tertawa dia mendekat padaku.
“Aku tak tahu kemana semua orang brengsek itu pergi,†katanya sambil tertawa. Bau busuk mulutnya meruap masuk ke hidungku.
“Tapi satu hal yang harus kau ketahui Anak muda, kota ini indah sekali,†ujarnya sambil menjauhi mobilku dan halte bis.
Usai berkeliling kota kecil itu, aku kembali ke halte bis. Memarkir mobil dan menyetel musik keras-keras. Sambil mengirimi surat-surat elektronik kepada developer yang akan mengelola kota ini.
Hampir copot jantungku ketika menyadari seorang perempuan mengetuk-jendela mobilku. Di malam begini, ketika hari mau berganti.
“Ada apa Bu?â€
“Mas, saya mau bertanya,â€
Dengan waspada, aku turunkan kaca jendela mobil perlahan-lahan, hingga akhirnya samar-samar kulihat wajahnya.
“Anda meliat seorang lelaki yang singgah di halte ini?â€
“Lelaki?†tanyaku lagi. Dia mengangguk sambil memperlihatkan sinar matanya yang menawan. Ya, kukira perempuan itu sudah tua, namun sisa-sisa kecantikan masih terlihat di wajahnya. “Lelaki seperti apa Bu?†tanyaku lagi.
“Lelaki, gagah, berjas hitam dan menggenggam sekuntum mawar,†ujarnya menerangkan. Aku tak paham dengan maskud dia. Seingatku tak ada orang lain di kota ini. Kecuali lelaki tua yang kutemui pagi tadi. Tapi dia sama sekali tidak gagah. Akhirnya aku hanya menggeleng saja padanya.
“Bila suatu waktu kelak, Anda bertemu dia, sampaikan padanya, bahwa jangan lagi menungguku. Dan sampaikan maafku padanya, meski aku tak pernah berjanji, namun aku yakin dia pasti selalu datang ke kota ini. Oh ya, satu lagi, aku hanya singgah di kota ini. Hanya untuk mengingat wajahnya sesaat. Mau kah kau berjanji untuk itu?†ujar perempuan itu, kemudian pamit meninggalkanku. “Hm, iya.," Aku bengong saja mememerhatikan langkahnya yang berat meninggalkan mobilku.
Hari ini hari yang berat, kantuk menggantung di pelupuk mataku. Namun aku harus mengerjakan tugas-tugasku. Besok pagi kota ini akan mulai berbenah kembali. Setelah gedung dan fasilitas umum akan dibangun oleh pengembang, tempat aku bekerja.
Hah, aku ngantuk sekali, namun aku harus mengirimkan sebuah pesan pada kekasihku di kota lain. Aku sudah berjanji pada dia, bahwa aku akan segera menemuinya. Iya, meski ku akui aku bukan lelaki setia, tapi untuk memenuhi janji yang satu ini, aku lakukan apa saja.
Minggu pagi, lelaki kurus itu datang pagi-pagi sekali. Dengan wajah berseri dia duduk di sudut halte dan memeerhatikan pekerja yang sudah tiba sejak dini hari. Dari kejauhan aku melihat lelaki yang kemarin kutemui. Dia memang pakai jas hitam, dan memegang sekuntum mawar segar. Namun dia tidak gagah. Sama sekali tidak.
Kota (k) kami, 15 Desember 2007 dinihari.
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: