“Mencari apa,Nak,†sidik Wak Rustam sambil menggulung kemeja bajunya. Wajahnya masih basah oleh sisa wudhu.
“Anu, ini Pak, saya mau menawarkan produk baru,†jawab Saiman gelagapan sambil merogoh tasnya, mencari surat keterangan tempat dia bekerja dan beberapa buah botol.
“Produk apa?â€
“Obat penurun panas tinggi Pak,,†balas Saiman sambil menyerahkan surat kepada Wak Rustam serta beberapa sample botol obat. Lama orang tua itu membaca dan membaui botol sample.
“Kok saya baru tau ada obat ini ya? Namanya kurang lekat di masyarakat kampung sini, Nak,†ujar Wak Rustam kembali mematahkan harapan Saiman.
Saiman menarik nafas dalam-dalam, sambil terus memerlihatkan senyumnya yang paling gombal. “Mungkin bisa dicoba, ambil beberapa botol, Pak,†usul Saiman.
“Bukan saya tidak mau mengambil, tapi memang saya tak mau coba-coba, Nak. Takut tak terjual, mubazir jadinya. Mungkin di tempat lain membutuhkan obat ini. Tapi agaknya tidak di sini Nak,†kata Wak Rustam mencoba menentramkan risau Saiman.
“Bukan kita meminta sakit ya Pak, tapi obat ini memang paten. Efektif membunuh kuman dan meredakan demam,†kata Saiman mempromosikan produknya. “Harganya murah kok Pak. Tapi bukan murahan loh ya,†ujar dia ditingkahi tawa ringan.
“Bukan soal murah atau murahan Nak. Ini soal minat. Warga sini jarang ada yang mengeluh karena demam. Apalagi mencari obat penurun demam,â€
“Maksud Bapak?â€
“Iya, orang di sini jarang sakit. Bahkan dalam setahun bisa dihitung yang terpaksa memanggil mantri atau pergi ke kota untuk berobat,â€
“Ah, si Bapak. Bisa aja,†ujar Saiman.
“Loh bener. Tidak percaya sama saya?â€
“….â€
Saiman putus harapan. Wak Rustam menolak produknya dengan sangat halus dan dengan cerita yang sepertinya dibuat-buat.
“Jadi, warga sini memang jarang ada yang sakit?â€
Wak Rustam mengangguk beberapa kali. “Warga di sini tahu segala macam jenis obat dari alam. Sakit gigi, sesak nafas, pusing, sakit maag, sakit perut, pegal-pegal, keseleo, keram otot, mencret-mencret, semua diobati sendiri. Warga sini tak biasa minum hasil olahan pabrik,†lanjut Wak Rustam.
“Masa sih, Pak?†tanya Saiman sambil mengedarkan matanya ke dalam toko Wak Rustam, dan benarlah, dia tak menemukan sebuah produk obat pun yang terpampang dijual, kecuali obat anti nyamk bakar.
“Bahkan mantri pun kadang-kadang hanya mengurusi orang sunat dan lahiran saja,â€lanjut Wak Rustam membuyarkan pandangan Saiman.
“Wow, hebat sekali warga di sini,â€
“Baru tahu ya, kalau warga di sini hebat-hebat?â€
“Maaf Pak. Tapi saya memang kaget karena baru pertama kali datang ke sebuah tempat yang tak memerlukan obat,â€
“Bukan tak memerlukan obat, tapi tak membiasakan diri dengan obat. Semua sakit dan luka yang diderita hanya ditelan dan dibiarkan pecah di perut saja, Nak,â€
Saiman bergeming. Seingatnya, dalam perjalanan ke kampung itu dia memang tak berpapasan dengan apotek atau puskesmas. Saiman terperangah.
“Alam lah yang mengobati dan menjaga kami. Seperti juga alam yang mengobati dan merestui perjuangan Amat Gaboh,â€
“Amat Gaboh?†Saiman mengulang nama yang disebut Wak Rustam. Sebuah nama yang lekat di kupingnya, tapi siapa dan di mana dia dengar nama itu, dia tak ingat benar,â€
“Iya, Amat Gaboh dari kampung sini. Dan dia asli kelahiran kampung sini. KEbanggaan dan panutan warga sini,†lanjut Wak Rustam dengan senyum penuh kebanggaan.
Saiman masih diam, dia terus mengingat-ingat Amat Gaboh.
“Apapun yang Anak dengar tentang Amat Gaboh, adalah dusta dan tipu daya pemerintah,†ujar Wak Rustam melanjutkan. Saiman semakin bingung. Dia berusaha keras mengingat semua cerita yang pernah didengarnya, dan Amat Gaboh…. Belum bisa diingatnya.
“Ceritakan padaku tentang Amat Gaboh, Pak,â€
Maka berceritalah Wak Rustam tentang suatu masa, ketika Amat Gaboh jadi teror bagi penguasa.
“Amat Gaboh, demikianlah nama yang dikenal Negara. Bandit, rampok dan kepala gerombolan pengacau keamanan yang dibandrol satu miliar bagi yang berhasil mendapatkannya. Masuk hutan karena jadi incaran tentara Jakarta . Kriminal dan sejumlah tindakan amoral adalah saudara kandungnya. Tapi itu versi pemerintah, “ Demikian Wak Rustam mengisahkan Amat Gaboh.
“Kalau ada versi pemerintah, tentu ada versi yang bukan pemerintah, Pak?†tanya Saiman mulai penasaran. Wak Rustam tersenyum dan mengangguk.
“Amat Gaboh, anak langgar yang juga tumbuh di pasar. Pemakan semua jenis buku dan suka belajar. Bila bertemu supir atau pelintas kota , dia belajar. Bila bersua dengan buruh kontrak yang dipekerjakan pabrik kertas di kampong ini, dia pun tak segan untuk bertanya. Pendeknya, tak ada yang salah dari dirinya. Sampai suatu ketika….†Dan Wak Rustam menghentikan kisahnya.
“Sampai suatu ketika, apa yang terjadi padanya?†tanya Saiman. Wak Rustam menerawang. Matanya berkaca-kaca. Di luar hujan mulai mereda. Senja semakin menggantung. Gelap mulai meraja, menyelubungi kampung Y di kota N.
“Apakah Anak pernah mendengar cerita mengenai orang-orang kampung sini yang terkenal sakti?†tanya Wak Rustam teringat sesuatu. Saiman menggeleng. “itulah sebab, mengapa warga di sini jarang mengeluh soal sakit,â€
“Begitu ya Pak?†tanya Saiman. “Terus bagaimana cerita si Amat Gaboh tadi?†Saiman teringat pada kisah yang menggantung yang keluar dari mulut Wak Rustam.
“Dia naik gunung dan masuk hutan. Bersama beberapa kawanannya. Dia menenteng senjata, melawan tentara yang didatangkan Jakarta .
“Bagaimana bisa, Pak?â€
“Terlalu banyak yang dilihatnya di pasar. Terlalu banyak yang didengarnya di langgar. Sehingga dia cepat memahami apa yang sedang dilakukan orang Jakarta pada kampungnya,†kisah Wak Rustam terputus-putus.
Malam yang tak berubah itu pun akhirnya pasti mampir juga di sana . Saiman mulai gelisah untuk bertahan berlama-lama di tempat itu. Diliriknya Wak Rustam yang sedang bersiap menutup tokonya. Niatnya menawarkan obat yang suda susah payah dibawanya dari kota , sirna setelah pemilik took berkisah mengenai nasib obat-obatan buatan pabrik yang tak laku di kampung itu.
“Jadi begitulah, Amat Gaboh itu memang sakti. Tak ada satu peluru pun yang mampu menembus kulitnya. Tak ada senjata tajam yang bisa menggores dan menyadap darah dari tubuhnya,†lanjut Wak Rustam sambil terus menutup tokonya yang tak menjual obat jenis apapun selain obat anti nyamuk bakar.
Hujan berhenti berderai. Di luar jejaknya menggenang dan merendam cerita buram….
***
Amat Gaboh berhenti di halaman sebuah rumah. Wajahnya pucat. Dia dibopong beberapa kawan setianya yang memilih pergi naik gunung dan bertempur melawan penjaga pabrik marmer di kampungnya.
“Siapa?†tanya seseorang dari dalam rumah.
“Gaboh†suara yang lirih itu menggelegar mengampar-ampar. Pintu dibuka sedikit, seseorang mengintip kegelapan. Amat Gaboh hampir pingsan ketika si empunya rumah keluar dan dengan cepat memasukkan Amat Gaboh, buronan nomor wahid dari kampong itu.
Sesampai di dalam, betapa kaget si empunya rumah begitu memastikan bahwa benarlah orang yang tengah berjuang melawan maut itu telah berada di rumahnya.
“Hampir sepekan panasnya tak kunjung reda. Sanak punya cara untuk menyembuhkannya?†tanya seorang pendamping Amat Gaboh. Si empunya rumah menggeleng sedih.
“Tapi biarlah rumah ini dijadikan tempat peristirahatan tuan-tuan,†ujarnya mengobati kecewa.
“Apa di sini aman?â€
“Insyaallah,â€
“Orang yang tengah sekarat ini dihargai miliaran oleh pemerintah..â€
“Tak ada urusan dengan saya. Sanak tak perlu meragukan kesetiaan saya. Sebab kesetiaan saya sama seperti kesetiaan yang Sanak miliki dan Amat Gaboh punyai,†ujar si empunya rumah.
“Mungkin nyawanya tak tertolong lagi. Mungkin di sinilah tubuh orang ini akan berhenti berperang. Jauh dari pertempuran dan hutan-hutan yang menjadi persembunyian. Sanak, kami sudah kehilangan akal akan nasib Amat Gaboh. Dia terserang penyakit misteri, yang boleh jadi bukan karena perbuatan mambang dan penunggu hutan,â€
“Tapi mungkin memang sudah mestinya begini suratan Tuhan, Sanak,†balas si empunya rumah.
“Tiga teman kami pun tewas di tengah hutan dengan penyakit yang serupa. Demam, lalu reda, lalu meninggi kembali. Kemudian mati. Alamatkah, perjuangan kami tak direstui semesta?â€
“Jangan begitu Sanak, inilah Tuhan punya rencana. Amat Gaboh hanya seorang contoh. Dalam kisah para khalifah dan pejuang syaifullah, ada banyak yang bernasib sama. Namun, meski tubuh mereka hancur dikubur atau binasa oleh tangan angkara murka, tidak demikian dengan semangat mereka. Perjuangan tetap berlangsung meski tanpa atau dengan,†ujar si empunya rumah menyabarkan.
“Baiklah, kata-kata Sanak telah membuat kami ingat pada perjuangan. Kami serahkan Amat Gaboh untuk dirawat. Dan bila ada suatu hal kejadian yang tak diinginkan menimpa dirinya, kami ikhlaskan kepergiannya. Tapi, demi Penguasa Semesta, kami tak ikhlaskan bila mayatnya jatuh ke tangan pemerintah. Kuburkan jasadnya secepat maghrib menuju isa,â€
Hujan benar-benar berhenti sekarang. Saiman masih menunggu akhir kisah dari si empunya rumah; Wak Rustam.
“Yah, Amat Gaboh akan selalu menjadi pahlawan di hati kami meski pemerintah menyebutnya sebagai garong dan rampok,†ujar Wak Rustam mulai menyudahi kisahnya.
“Sungguh malang nasib pemuda kampung itu. Tapi Pak, penyakit apa gerangan yang menimpa Amat Gaboh?â€
“Wallahu alam bishawab. Setelah akhirnya penguasa mencium jejak kematian Amat Gaboh, beberapa intel dan wartawan datang menyesaki rumahku ini. Mereka bertanya macam-macam. Dan aku pun menjawabnya dengan bermacam-macam pula,†ujar Wak Rustam setengah tertawa.
“Namun belakangan muncul berita penyebab kematian si sakti Amat Gaboh,â€
“Apa sebabnya, Pak?†sambar Saiman setengah mendesak.
“Nyamuk,â€
“Nyamuk?â€
“Warga di kampung ini sangat takut pada nyamuk. Itulah sebab mengapa hanya ada satu obat yang paling laku dibeli warga sini,†ujar Wak Rustam. Saiman mulai mengerti alasan warga dikampung Y yang hanya membeli obat anti nyamuk.
***
Empat hari berselang, Saiman, pegawai kontrak pemasaran sebuah pabrik obat ternama di Jakarta singgah lagi di kampung Y di kota N. Kali ini dengan wajah berseri dia singgah ke toko Wak Rustam. Dengan senyum penuh kemenangan dia tunjukkan obat produk pabrik tempatnya bekerja.
Di botol kemasan dicetak sebuah kalimat dengan huruf kapital: OBAT KEBAL NYAMUK PEMBUNUH AMAT GABOH
Mata Wak Rustam berkaca-kaca ketika menerima obat yang dibawa Saiman dari Jakarta . Tak tahu persis apa yang dirasakan lelaki tua, saksi mata kematian Amat Gaboh itu.
Binjai, 1 Oktober 2010
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: