Tempat

Oleh: Hujan Tarigan

Minggu, 03 Oktober 2010, 08:28 WIB

(untuk para pemburu Hujan; “kita punya sejarah sendiri kawan”)

HUJAN mulai turun ke bumi. Satu-satu tetesnya  membasahi ruas jalan yang seketika senyap dari orang-orang yang lalu-lalang. Di kanan-kiri jalan, di emperan pertokoan sudah penuh orang berjejal menyelamatkan diri dari lumatan hujan. Aku sendiri masih berlari-lari mencari tempat teduh sebagai perlindungan. Harus kemana aku menyelamatkan diri? Sudah tak ada lagi tempat buatku menepi.

Hujan semakin deras. Guntur semakin memperjelas ketakutanku; bahwa hari ini aku tak dapat pergi menemui seseorang di kota ini. Sambil berlari-lari mencari tempat berteduh, kucengkram erat saku kemeja di bagian dada kiriku. Habislah, aku, bila secarik kertas yang berisi alamat, rusak oleh air yang merembes masuk. Aku terus berlari sembari melindungi  saku kemejaku.

“Nak, sini!” teriak seseorang. Suaranya menembus hujan yang turun semakin lebat. Aku menoleh sejenak. Seorang lelaki tua tengah melambai-lambaikan tangannya ke arahku.

“Berteduh di sini!” serunya. Langkahku terseok ketika menginjak jalanan berlubang yang digenangi air.

“Nah, untunglah belum basah semua,” ujarku pada diri sendiri sambil terus mengibas-kibaskan kemeja dan sisa lumpur yang menempel di celana jeansku.

Orang tua yang kuhampiri hanya tersenyum-senyum memandangku. “Tiba-tiba hujan,” kataku padanya. Dia menelan ludah, jakunnya turun naik. “Selalu begitu,” lanjutnya sambil mempersilakan aku duduk di sampingnya.

Kukeluarkan kertas dari saku kemejaku. Untunglah, tinta yang ada di kertasku belum kabur,  meski tulisannya sudah sedikit luntur.

Di langit gemuruh bersahut-sahutan. Sementara di antara hujan yang turun siang sore ini, kulihat mentari masih bersinar dengan garang di balik awan yang tak begitu hitam.

“Mencari sesuatu di sini?” ujar orang tua itu padaku.

“Eh, iya Pak,” kataku sambil terus berusaha merapikan lipatan kertas alamat yang kupegang.

“Tahu alamat ini, Pak?” tanyaku sejurus pada lelaki tua itu. Dia mengernyitkan dahi. Sesaat kemudian melempar senyumnya padaku. “Tidak,” ujarnya sambil menggelengkan kepala.

“Oh, tidak ya?” tanyaku bersungut-sungt menyesali diri sendiri. Sepanjang hari aku sudah berputar-putar di kota ini, mencari tahu alamat yang tertera di kertas yang sudah lecek ini. Sekali dua kali aku bertanya, namun agaknya semua menjawab sama seperti bapak tua ini.

“Tidak ya, Pak?” ulangku sekali lagi. Lelaki tua itu mengangguk. “Saya tak bisa baca,” jawabnya sambil tersenyum.

Sial, pikirku. Tapi semoga saja dia hanya buta aksara, namun tidak buta peta.

Dengan sabar aku menjelaskan padanya tentang tujuanku.

“Kota B, Simpang Empat, Jalan Reif nomer satu,” paparku. Lelaki tua itu diam sejenak.

“Kota B, Simpang Empat ya?” ulangnya kepadaku.

“Betul Pak,” jawabku.

“Kota B nya sudah benar, tapi simpang empatnya…”

“Simpang empatnya Pak?” tanyaku sekali lagi. Dia tercenung sejenak. “Sebentar Mas,” katanya sambil memegangi jidatnya yang lebar hingga ke ubun-ubun kepalanya.

“Mungkin yang Mas maksud jalan Sahabat?” tanyanya lagi.

“Bukan Pak, Simpang Empat.” ulangku. Lelaki itu diam. Aku mengeluarkan bungkus rokok dari kemejaku. Memilah batang rokok yang kering. Mungkin dengan rokok ingatan lelaki ini bisa terbuka. Kusodorkan kota rokok yang sudah kupilihkan untuk dia, “Ini Pak, hisap dulu,” tawarku. Dia tak menggubris dan terus menggaruk kepalanya yang setengah meranggas.

Tetes hujan terus jatuh menghantam atap bangunan setengah jadi yang kutumpangi. Aku masih menunggu jawaban lelaki itu.

“Hingga setua ini, saya tak pernah meninggalkan kota ini. Simpang Empat…” ujar dia sambil menggelengkan kepalanya tanda menyerah.

Aku masih terpaku berdiri, menunggu jawabannya.

“Simpang Empat yang anda maksud, saya tak paham, tapi mungkin saya bisa katakan, mungkin yang dimaksud adalah jalan Sahabat. Inilah jalan yang saya maksud.” Kata lelaki itu.

“Tapi, Simpang Empatnya?”

“Simpang Empat?” tanya lelaki itu lagi. Diangguk-anggukkannya kepalanya, kemudian dia tertawa. “Kemari Mas,” bisiknya sambil meraih lenganku. Kemudian kami beranjak pergi ke sebuah sudut di tempat yang sama.

“Anda lihat itu?” kata dia sambil menunjuk sebuah tempat.

“Hm, iya, saya melihatnya,” kataku sambil memastikan bahwa yang berada di depan mataku sekarang adalah sebuah lapangan kosong berukuran tak lebih luas dari mushala tempatku bekerja. Lapangan kosong melompong, di tengah-tengah hiruk-pikuk kota .

“Bundaran yang itu bukan?” kataku memperjelas pertanyaan. Lelaki tua itu menganggukkan kepalanya.

“Tapi itu kan sebuah taman yang berisi… semacam monumen?” tanyaku. Sambil memfokuskan pandangan pada empat sosok -entah patung manusia entah menhir- bayangan besar di balik tetesan hujan.

“Nah, bunderan itulah yang Anda maksud sebagai simpang empat.” ujar lelaki tua itu berseri-seri. Aku masih terpana. Tak mengerti dengan maksud lelaki tua itu.

“Itu seperti taman di tengah jalan. Di mana perempatannya?” aku kembali menegaskan pertanyaan serupa.

“Anda sudah berada di tempat yang tepat,” katanya lagi. Sekarang tinggal mencari nomornya. Jalan apa tadi?” tanya lelaki tua itu dengan senyum mengembang.

“jalan Reif nomor satu. Tapi ini…” kataku memotong kesadaranku.

“Hehehe,” dia terkekeh. Itu cukup membuat bulu kudukku berdiri. Inilah, sekarang aku tersesat di sebuah tempat, terkurung oleh tembok hujan dan ditemani lelaki tua asing yang mungkin saja sudah pikun.

“Kemari Mas,” ujar dia mengajak aku duduk di sampingnya. Seolah terhipnotis, aku ikuti saja instruksinya. Lantas aku duduk di sampingnya. Kami duduk persis menghadap bundaran yang di tengah-tengahnya terdapat beberapa batu yang tak jelas membentuk apa.

“Saya luruskan ceritanya,” kata dia sambil terus menggaruk kepalanya. Penasaran, aku dekatkan kepalaku ke arahnya. Sambil meraba saku kemeja, kukeluarkan sebungkus rokok.

“Ceritakanlah padaku tentang sesuatu Pak Tua,” ujarku sambil menyodorkan kotak rokok.

Dengan sungkan dan malu-malu dia menerima pemberianku. Kunyalakan geretan dan muncullah api kecil setengah biru, kemudian kudekatkan ke ujung batang rokoknya.

Sekali hisapan, kemudian mengepulkan asapnya. “Terima kasih” katanya.

Hujan masih turun, di sudut lain, di sebuah emperan toko orang-orang masih gelisah menunggu saat hujan reda.

“Betul-lah yang sekarang di hadapan kita ini bundaran. Bukan perempatan. Dahulu konon kabarnya memang ada perempatan yang menghubungkan semua jalan ke bundaran itu.” kata pak tua itu yang belakangan kukenal sebagai Saiman, seorang kakek berusia 62 tahun dan masih bekerja. Tukang batu di tempat yang saat ini menjadi tempatku berteduh.

Kuseka bulir keringat yang tiba-tiba muncul di dahiku. Melihat Saiman memulai cerita, aku teringat mendiang kakekku yang selalu mendongeng untukku.

“Dahulu bunderan itu adalah sebuah tempat yang paling digemari oleh Reif dan teman-temannya.”

“Siapa Pak? Reif?” tanyaku.

“Iya, Reif.” Ujar dia dingin dan datar.

“Siapa dia?”

“Bukan siapa-siapa,” ujarnya lagi. Aku bingung, sepemahamanku, biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang namanya diabadikan sebagai nama sebuah jalan. Tapi ini, Reif, yang bukan siapa-siapa itu…

“Entah siapa dia, dan siapa nama sebenarnya,” lanjutya memastikan. Aku tersenyum. Aneh betul kota ini. Ada pula nama jalan dari seseorang yang bukan siapa-siapa dan… belum tentu pula itu nama sebenarnya. Aku tersenyum saja. Tapi terus khusu mendengar kisah Saiman.

“Reif punya tiga teman. Opung, Gobun dan Piner,”

“Tiga teman? Dan nama mereka?”

“Hehehe. Sama seperti nama Reif, entah nama itu adalah nama mereka yang sebenarnya, entah tidak. Entahlah. Yang penting kami cukup puas bisa mengenali mereka. Nama itu tak penting. Yang penting adalah apa yang sudah mereka kerjakan.” kata dia sambil menarik kembali sisa rokoknya.

“Memangnya apa yang telah mereka kerjakan Pak? Apa mereka itu semacam empat serangkai juga? Seperti Warkop DKI?” tanyaku remeh.

“Entahlah, aku tak mengerti. Tapi yang jelas, mereka telah melakukan sebuah pekerjaan. Dan karena pekerjaan mereka itu, warga di sini menghormati mereka.”

“Memangnya apa yang mereka kerjakan?” kataku ingin tahu.

“Mereka, duduk di sana ,”

“Di sana ? Di bundaran itu?” tanyaku bingung. Saiman mengangguk.

“Apa yang mereka lakukan?”

“Duduk, dan hanya duduk saja,”

Bah, apa pula ini? Bagaimana mungkin orang yang duduk-duduk saja dikatakan telah melakukan sesuatu. Aku semakin heran dengan dongeng si Saiman ini.

“Jadi mereka duduk?” kataku. Saiman mengangguk. “sepanjang hari?” lanjutku,

“Sepanjang waktu” jawab Saiman.

Sekarang kepalaku pusing. Tak bisa kusimpulkan cerita si Saiman. Maka, kubakar saja rokokku dan kuhisap. Sambil terus memaksa masuk isi ocehan Saiman ke kepalaku.

“Mereka duduk di sana , berdiskusi sambil sekali-kali tertawa. Dan kalau sudah tertawa, orang-orang di kota ini akan terganggu dengan suara mereka yang menakutkan,” cerita Saiman.

“Bagaimana bisa sekumpulan pemuda pengangguran begitu bisa dihormati orang?” tanyaku semakin ingin tahu.

“Hm, suatu hari, agaknya keempat pemuda itu pergi menghilang dari kota ini. Untuk sesaat kota ini menjadi tenang dari ocehan-ocehan pemuda itu. Tak ada lagi yang suara-suara sengit dari pertarungan pendapat mereka masing-masing. Untuk sesaat, kota ini sepi dari gagasan-gagasan mereka yang diam-diam telah menyusup lewat angin malam dan masuk ke kepala orang-orang di kota ini pada waktu itu.”

“Apa yang mereka perdebatkan Pak?”

“Semua. Mereka berdebat soal keyakinan, tata cara hidup, hubungan antar tetangga, kemajuan dan masa depan kota , serta peran orang per orang dalam hidup bermasyarakat.” kata Saiman. Sesaat aku merenungkan kata-kata Saiman. Apanya yang hebat, pikirku.. “Sesekali juga mereka berbicara soal negara.” lanjut Saiman kemudian.

“Negara? Apa yang mereka tahu soal negara?”

“Entahlah, aku juga tidak tahu,”

Hm, aneh.

Hari makin gelap. Sementara hujan belum reda juga. Aku masih mendengarkan Saiman bercerita tentang Reif dan tiga sahabatnya. Menurut Saiman, cerita itu didengarnya dari mulut ke mulut. Sejarah Kota B berarti legenda Reif dan tiga sahabatnya. Tapi siapa Reif dan komplotannya? Sehingga kisah mereka selalu dihubung-hubungkan dengan sejarah berdirinya Kota B, dan lebih parahnya, warga di sini mempersembahkan empat buat batu besar tak berbentuk untuk menghormati empat orang ini.

Ah, tak penting. Yang penting bagiku sekarang, hujan segera reda dan aku bisa melanjutkan pencarianku tentang alamat yang tak jelas. Huh, ini semua karena bosku yang memberikan tugas yang membuatku cukup lelah hari ini.

“Lantas bagaimana dengan Simpang Empat?” tanyaku mengingatkan Saiman.

“Suatu masa, keempat sahabat itu terlibat perdebatan sengit.”

Aku masih mengerutkan dahi. Sudah nyaris habis rokokku,  tapi orang ini masih meracau saja. Tak memberi aku informasi apapun. Aku mau saja pergi meninggalkan dia dan segenap dongengannya yang tak jelas itu. Tapi rasa-rasanya mustahil, di luar sana hujan masih turun dengan deras.

“Reif mengatakan soal hujan peluru di sebuah pemakaman.” kata Saiman sejurus kemudian.

“Hujan peluru di sebuah pemakaman?”

“Reif sedang merencanakan sesuatu,”

“Sesuatu?”

“Reif mengajak teman-temannya untuk memburu hujan itu,”

“Apa? Memburu hujan itu?” tanyaku mendelikkan mata. Saiman mengangguk.

“Memburu hujan peluru.” ulangnya.

Hah, omong kosong. Orang tua ini sudah kelewatan. Dia pikir, karena aku tersesat kemudian dia bisa dengan seenaknya mengolokku dengan cerita begitu. Sial. Hari ini aku betul-betul sial.

“Sebenarnya entah apa yang terjadi pada mereka saat itu. Sebagian orang mengatakan ada percokcakan antara Reif yang ingin selalu ingin memimpin teman-temannya dengan Gobun. Sebagian orang bilang kalau Gobun berselisih paham dengan Piner soal hujan. Ada yang menganggap Opung murka pada Reif yang dinilai terlalu berlebihan dalam mengeluarkan gagasan. Ada cerita tentang Reif yang mengusir Piner karena Piner tak punya sikap atas kekejian negara. Sebagian orang lain bilang, bahwa Piner kemudian dibela oleh Opung dan Reif didukung oleh Gobun.

Tapi ada juga yang cerita, bahwa mereka sepakat keluar dari kota ini untuk melanjutkan perburuan mereka. Memburu hujan.” ujar Saiman dengan tatapan mata yang menerawang. “Entahlah,ada yang bilang juga, mereka kalah dan gagal dalam perburuan mereka. Ada juga berita yang mengabarkan, kalau suatu malam, mereka menghilang dibawa oleh orang-orang berseragam,” sambung Saiman lagi dengan suara pelan.

Aku terhenyak dengan kisah lelaki tua itu. Bingung dan kagum bercampur ketika Saiman mengisahkan berbagai macam versi tentang asal usul sejarah Simpang Empat.

“yang pasti kepergian kelompok pemuda itu membuat warga bertanya-tanya. Ada apa gerangan dengan keempat pemuda yang telah mengisi kehidupan warga dengan pemandangan-pemandangan aneh, diskusi-diskusi aneh dan perdebatan-perdebatan aneh.” Saiman terhenyak. Matanya menatap tajam ke arah bundaran yang sudah tak kelihatan karena gelap malam.

“Bagaimana kelanjutan kisahnya Pak?”

“Satu-dua penduduk mulai merasa kehilangan pemuda-pemuda itu. Kota menjadi sepi, tak ada lagi tawa yang membuncah ketenangan malam dan menggangu tidur mereka. Warga dikecam ketakutan, dikecam pembalasan dendam hujan. Sehingga pada suatu hari beberapa tahun setelah menghilangnya empat sekawanan itu, seorang asing tiba di kota ini.”

“Lalu?” tanyaku.

“Dengan susah payah, dia membawa empat bongkah batu berukuran sebesar manusia dan memancangkannya di sana ,” ujar Saiman sambil menunjukkan bundaran yang ada di hadapan kami.

Hari semakin dingin. Lidah kilatan cahaya sambung menyambung membelah langit. Sesekali tampak olehku kemegahan empat bongkah batu di tengah bunderan itu. Mulutku mengatup menahan gigil yang menusuk persendianku. Di luar hujan mulai mereda.

“Siapa lelaki itu Pak?” tanyaku. Saiman menggeleng. Dikedipkannya matanya.

“Tak ada yang tahu siapa dia. Sama seperti ketidak ahuan warga tentang kapan persisnya taman di bundaran itu mulai diisi keempat bongkah batu.

“Jadi?” tanyaku semakin bingung.

“Sebagian orang bilang bahwa lelaki asing yang telah membangun taman itu adalah salah seorang dari keempat pemuda itu. Sebagian orang lain meyakini bahwa dialah si Reif yang pulang dari perburuan dan merayakan kesuksesannya sendirian. Yang lain mengatakan bahwa lelaki misterius itu adalah salah seorang keturunan dari pemburu hujan. Lain lagi, ada juga orang berpendapat bahwa lelaki itu adalah saudagar kaya yang mengagumi kisah empat pemuda. Ada yang mengatakan bahwa lelaki itu saudagar asli dari kota ini. Tapi kuat dugaan, lelaki itu tak pernah ada.” ujar Saiman sambil mengajakku pergi dari tempat itu.

“Hujannya sudah reda. Saya mau pamit pulang,” ujarnya sambil beranjak ke tempat awal kami berjumpa. Dari belakang aku mengekorinya dengan langkah yang berat.

“Tapi Pak…” kataku tercekat. Saiman membalikkan tubuhnya.

“Simpang Empat tidak pernah ada. Inilah tempat yang Anda tuju,” kata dia sambil merapikan perkakas bertukangnya.

Aku masih berdiri bingung di tengah kesuraman malam yang diam-diam telah menghampiriku. Hujan sudah berhenti, kutoleh ke luar, kota-kota sudah ramai lagi. Jalanan becek mulai dilintasi pancaran lampu kenderaan. Satu dua orang berjalan tergesa-gesa dengan payung mengembang. Melintasi emperan toko yang mulai sepi dari pejalan yang berteduh.

Saiman sudah tidak ada. Dia sudah pergi sambil berpesan padaku untuk segera meninggalkan proyek bangunan ini. Dengan perasaan campur aduk aku pun pergi menjauhi tempat itu. Sambil terus memegangi kertas alamat lembab.

Sudah kuputuskan untuk tidak bertanya lagi pada orang setempat soal alamat ini. Aku akan pulang dan melaporkan situasi yang aku hadapi di sini kepada bosku.

Yah paling tidak, ini menurutku, bahwa Simpang Empat memang tidak ada. Mungkin seseorang telah iseng mencantumkan nama itu pada peta di kantor pos yang dibikin pemerintah. Mungkin orang itu adalah Reif, bisa jadi Opung, boleh tentu si Gobun, Bisa pula Piner. Atau jangan-jangan Pak Tua Saiman, bisa juga bosku mau mengerjai aku. Atau, jangan-jangan aku yang salah datang ke Kota B. Bukankah negeri ini begitu luas? Ada berapa Kota B dan jalan Simpang Empat di negeri ini? Ada banyak lokasi berbeda dengan nama yang sama. Ah… Persetan.

Palmerah, 30 Desember 2007

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA