DARI sebilah pedang, dimulailah kisah ini.
Ketika Edo masih menjadi ibukota Jepang. Ketika itu musim gugur. Daun-daun terhempas angin, melambai jatuh, terbang kemana-mana. Bunga sakura, gugur dari pucuk-pucuk dahan. Mereka gugur entah kemana rimba, untuk tumbuh kembali, menjadi baru. Bunga sakura yang baru .
Seusai perang saudara, kelaparan terjadi di mana-mana. Perampokan dan perbuatan semena-mena bisa terjadi di setiap tempat. Di setiap waktu. Yang kuat pasti menghabisi yang lemah. Yang pintar memakan yang bodoh. Dan itulah yang biasa terjadi di saat hukum tak tegak berdiri.
Di masa itulah, Pak Tua Toki Susumu hidup dan menjaga kedai minumnya. Sepanjang hari, di musim seperti ini, kedai minum Pak Tua Susumu nyaris dipenuhi pengunjung. Bersama seorang pembantunya, dia bekerja keras. Sementara anak semata wayangnya, Shiro yang gemar bermain dadu dan mabuk, sama sekali tak mau membantu.
Siang menjadi malam, berminggu-minggu, hingga musim gugur hampir berlalu, Pak Tua Susumu tetap bekerja didampingi pembantu. Sementara Shiro terus menghabiskan waktunya untuk bermain dadu dan membual bersama teman-temannya.
“Dari mana saja kau?” tanya Pak Tua Susumu suatu malam. Shiro yang ketika itu baru pulang dengan sempoyongan mendekati ayahnya yang tengah terbaring.
“Waktuku hampir tiba,” lanjut orang tua itu. Dengan pandangan nanar, Shiro menunduk dan duduk di samping Pak Tua.
“Aku sedih, bila mengingatmu,” lanjut Pak Tua.
Pria itu lantas sesenggukan. Sambil menahan nafasnya yang tersengal, dia melanjutkan kata-katanya.
“Maafkan aku karena tak bisa mendidikmu dengan baik. Maafkan aku karena membuatmu menjadi seperti ini. Tugasku memang belum selesai, tapi aku kira sudah cukuplah.”
Shiro masih duduk bergeming. Pemuda 19 tahun itu terus menundukkan wajahnya. Tak berani ditatapnya tampang sang ayah yang tengah sekarat meregang nyawa.
“Kedai ini adalah masa depanmu. Rawat dia. Walau aku tahu kau tak menyukainya, tapi jagalah. Karena ini adalah titipanku kepadamu,” ujar Pak Tua.
Tak lama dia batuk berkali-kali. Shiro memberi isyarat kepada Pak Tua untuk tidak berbicara lagi.
“Namun, bila nanti, kau tak mampu menjalankan kedai ini, jual saja. Aku tak memaksamu untuk tetap memertahankannya,” ujar Pak Tua sambil terbatuk-batuk.
“Ayah,” potong Shiro.
“Kau boleh menjual seluruh isi kedai kita, tetapi Nak, jangan kau jual pedang yang selalu tergantung di dapur itu. Karena pedang itu adalah titipan seorang teman kepadaku. Aku tak tahu apa yang akan terjadi, jika pedang itu pun kau jual juga,” ujar Pak Tua. Nafasnya semakin berat. Shiro mengangkat kepala ayahnya dan mencoba melonggarkan selimut yang membukus ringkih tubuh Pak Tua Susumu.
“Sebelum aku mati, aku mau kau serius dengan hidupmu. Dan hentikanlah kebiasaan membualmu. Dan, jangan sekali-kali kau membuka pedang itu dari sarungnya, kirim dia kepada si pemiliknya.” pesan Pak Tua Susumu.
Di luar rumah, angin kencang mengalir deras. Bulir salju mulai turun. Mengganti masa, mencuci waktu. Sakura terakhir gugur dan terbang dibawa angin keheningan malam. Menghilang di ujung jalan yang telah terkurung salju.
Pak Tua Susumu meninggal dalam keadaan paling damai. Jauh dari pertempuran saudara. Jauh dari tetesan darah yang masih mengalir dari pedang-pedang para samurai yang masih terus saling membantai. Pak Tua Susumu tertidur di ujung musim gugur.
Empat bulan telah berlalu. Musim dingin yang kejam perlahan pergi meninggalkan catatan-catatan buruk bagi Shiro. Di musim itu, dia terpaksa memberhentikan Kikuchiyo, satu-satunya pembantu yang selama ini setia mengabdi kepada keluarganya. Di musim itu pula, satu per satu perabotan kedai miliknya habis dijual. Shiro benar-benar diambang kehancuran. Di usia semuda itu dia akan segera memasuki babak baru; masa-masa kelam dan penderitaan yang panjang.
Barulah Shiro menyadari kekeliruannya. Selama ayahnya hidup, sekali pun dia tak pernah tertarik dengan ilmu yang diajarkan sang ayah. Tak ada satu ilmu pun dalam berdagang yang dia kuasai. Shiro selalu merugi. Dan terus, hingga akhirnya suatu hari dia temukan kedai sang ayah telah kosong. Plong!
Terlintas di pikiran pemuda itu untuk mengakhiri nyawanya karena telah mengecewakan keluarganya. Dengan langkah gontai Shiro berlalu ke dapur dan mengambil pedang yang menempel di dinding. Dengan tatapan kuyu, Shiro memandangi pedang bersarung kulit dan berukir harimau.
Seseorang menyeru dari halaman. Lamunan Shiro buyar. Dengan malas diseretnya kakinya menuju pintu masuk kedai.
“Ini, uangnya,” ujar seseorang sambil menyerahkan dua kantong uang kepada Shiro. Sempat tertegun sejenak, akhirnya Shiro menerima kantong itu.
“Aku tahu, dimana tempat yang baik untuk menghabiskan uangmu itu, pergilah ke rumah judi,” ujar si pemberi kantong. Shiro menggeram. Di pegangnya erat-erat sebilah pedang yang dibawanya dari dapur. Hati pemuda itu terluka. Dia berpikir dia benar-benar tak bisa menjaga kepercayaan ayahnya.
Dengan langkah berat, pemuda itu meninggalkan rumahnya. Sekali lagi dia telah membuat keputusan yang salah. Habis sudah apa yang dipercayakan Pak Tua Susumu terjual. Sekarang Shiro tak punya apa-apa lagi.
Uang hasil penjualan rumahnya pun sudah habis di meja judi. Sekarang tinggallah sebilah pedang yang dibawa Shiro pergi menuju suatu tempat. Sebuah tempat di mana dia bisa mengakhiri segalanya dan memulai sesuatu yang baru.
Di sebuah bukit, Shiro yang putus asa terus menimbang-timbang nasibnya. Dalam sekejap pikirannya berubah-ubah. Kadang ingin mati bunuh diri, kadang ingin lari, kadang ingin pergi dan terakhir dia berpikir untuk mencari si pemilik pedang yang telah dititipkan kepada ayahnya, untuk selanjutnya pedang itu dititipkan padanya.
Rintik hujan mulai turun. Musim segera berganti. Shiro turun dari bukit dan menginjakkan kaki di tempat asing. Sebuah kota di mana perang saudara masih berkecamuk. Di mana para tuan tanah masih terus berebut pengaruh. Dimana orang miskin saling berebutan dan menginjak sesama.
“Hujan, hujan,” teriak seorang perempuan sambil berlari-larian di lorong jalan yang sepi. Lantas masuk ke dalam sebuah rumah dan langsung mengunci dari dalam. Shiro memperlambat langkahnya. Pemuda itu memasang telinga dan pengawasan mata. Perlahan dia merayap di antara tembok kayu rumah warga.
“Pergilah anak muda, berlindung di tempat lain, atau kau mati,” bisik perempuan itu dari balik dinding kayu.
“Ada apa bu?”
“Mereka datang, para pemburu hujan.”
“Para pemburu hujan?”
“Pergilah anak muda, jangan sampai mereka menemukanmu,” ujar perempuan di balik dinding kayu.
“Tolong biarkan aku masuk ibu,” pinta Shiro memelas.
“Pergi anak muda, di sini sudah penuh. Tak ada tempat lagi,” ujar si perempuan sambil memalingkan wajah dari Shiro.
“Tolong aku bu, tolong,” ujar Shiro sambil memukul-pukul dinding kayu.
Sementara dari jauh, iring-iringan para pemburu hujan dengan gagah membelah jala hujan. Semakin dekat, semakin Shiro ketakutan. Pemuda itu berlari mencoba masuk ke dalam rumah warga yang lain.
Sial, tanah berlumpur menyebabkan dia tergelincir. Dan...
“Berhenti!” perintah salah seorang dari pemburu hujan. Shiro ketakutan. Pemuda yang tak bisa bermain pedang itu mengurungkan niatnya untuk mencoba bangkit dan lari.
Dari atas kudanya, keempat pemburu hujan itu mendekati Shiro dan berputar-putar mengelilingi Shiro. Lumpur membuncah, muncrat ke wajah Shiro.
“Kami minta harta yang kau punya, serahkan, atau kau...” kata seseorang lagi.
Shiro pemuda lemah. Dia tak bisa berbuat apa-apa selain bermain dadu dan membual. Tapi dia berniat untuk bisa menghilangkan tabiat jelek itu. Maka dia bangkit.
“Ini, ini tuan. Inilah yang saya punya,” ujar Shiro sambil memberikan pedang yang selalu dibawanya. Dia tak lagi berpikir bahwa pedang itu adalah satu-satunya amanah ayahnya yang tersisa. Lantas pedang itu disodorkannya kepada para pemburu hujan.
Salah seorang dari pemburu hujan menundukkan tubuhnya dan menerima pedang pemberian Shiro. Namun, belum sempat dia menyentuh pedang itu, dia kembali menegakkan tubuhnya.
“Tak ada gunanya bagi kita bertempur dengan orang ini. Ayo kita lanjutkan perburuan kita,” ujar orang itu sambil memberikan isyarat dengan wajah diliputi ketegangan. Keempatnya kemudian memacu kuda dan menghilang di balik kurungan hujan.
Shiro tak habis mengerti dengan peristiwa itu. Satu yang dia tahu, seusai para pemburu hujan meninggalkannya, warga desa itu mengelukannya bak pahlawan. Shiro dijamu, dan disuguhi shake yang banyak. Pemuda itu mabuk dan kembali membual.
“Aku seorang samurai. Datang dari Edo khusus menantang master-master di daerah sini,” ujar Shiro. Pandangannya nanar. Dunia berputar. Shiro terkapar. Gelap.
“Buang dia ke hutan, biar saja hewan buas yang membunuhnya. Kita tak perlu mengotori tangan dengan darah penipu ini,” ujar seorang perempuan.
“Juga pedangnya, aku berharap semua pedang di dunia ini dihancurkan.”
Paginya, Shiro tersadar juga. Kepalanya pusing. Dia sangat kaget begitu menyadari bahwa dia tengah berada di hutan belantara. Dengan sempoyongan dia berusaha bangkit dan meneruskan perjalanan.
Tak seberapa jauh melangkah, segerombolan begal telah menghadangnya. Gerombolan itu bersiap hendak menyerang Shiro, namun begitu melangkah dan hendak menjangkau Shiro, mereka dikagetkan dengan sebilah pedang yang ada di genggaman anak muda itu.
Hening sejenak, para begal saling melempar pandang. Sesaat kemudian mereka balik kanan dan lari tunggang langgang. Tinggal Shiro yang masih terherang-heran dengan kejadian aneh ini. Sepanjang jalan menembus hutan, Shiro mulai mengamati pedang yang tengah dibawanya. Sebilah pedang yang biasa saja, dengan sarung coklat berukiran harimau yang mencakar, dan tatahan emas hiragana membentuk kata-kata: “hanya untuk keberanian”.
Lama Shiro memikirkan pedang itu. Dia mereka-reka apa gerangan yang membuatnya selalu lolos dari maut yang sudah mencegatnya. Untuk pertama kalinya, Shiro mulai meneliti setiap inchi pedang milik teman ayahnya itu. Tak sabar dia ingin membuka pedang itu dari sarungnya. Namun begitu pikiran itu singgah, dia pun lantas teringat pesan ayahnya untuk tidak membuka pedang itu dari sarungnya.
Minggu berganti, musim datang, musim pergi. Shiro tumbuh menjadi pengelana yang dibesarkan oleh kerasnya keadaan. Petualangannya dimulai, dia selalu menggunakan pedang untuk menakut-nakuti orang. Demi semangkok nasi dan shake tentunya.
Tak terhitung lagi sudah berapa gerombolan yang coba mendekatinya, tetapi semuanya lari sendiri dan tak kembali lagi.
“Aku utusan Kaisar. Beri aku makan,” ujar Shiro sambil meletakkan pedang di atas meja di sebuah kedai minum. Shiro begitu lahap menikmati makan, minum shake dan membual sepanjang malam dengan orang-orang yang tak dikenalnya. Kebiasaan buruknya tetap tak bisa hilang.
Suatu masa, setelah empat kali musim semi berganti, Shiro tiba di sebuah kota. Tak ada perang saudara di sana. Tak ada pengemis dan sesama gembel saling bunuh gara-gara nasi. Semua orang berpakaian bagus, mondar-mandir di pelabuhan. Semua jagoan menyarungkan pedangnya dengan baik.
Dengan pongah, Shiro menghampiri kerumunan orang-orang di dekat sebuah kuil. Ternyata ada duel pedang di sana. Seorang lelaki besar dengan pedang panjang melawan pria yang tubuhnya ringkih dan berpedang lebih pendek dari lawannya.
“Maaf tuan, aku kira di sini tempat yang aman, tapi kenapa mereka saling membantai?” tanya Shiro bingung kepada seorang lelaki yang ada di antara kerumunan orang.
“Oh, itu hanya sebuah pertunjukan. Seni, bukan ajang pembantaian,” jawab lelaki itu.
“Hm, ada hadiahnya?”
“Ada, makan dan minum shake.”
“Apa? Bagaimana caranya saya bisa ikut?”
Si lelaki yang ditanyai sempat terhenti beberapa lama dan kemudian menatap dengan Shiro dengan seksama, “Anda bukan dari sini?”
Shiro mengangguk, “Aku butuh makanan,” jawab dia dengan wajah angker yang dibuat-buat.
Lelaki yang ditanya kemudian bergeser dan pergi ke arah seseorang yang berdiri di dalam kuil. Mereka berbisik. Shiro terus mengawasi dengan tatapan tajam dan perut yang kosong.
Duel pun dimenangkan si lelaki berpedang pendek. Tak ada darah yang menetes, tak ada seppuku. Tak ada yang dilukai. Duel itu bukan duel eksistensi.
“Anda, silakan maju ke tengah,” ujar seseorang menunjuk Shiro. Dengan langkah terpaksa Shiro yang kelaparan maju. Seorang lawan pun dipilihkan untuk Shiro. Mereka kemudian berhadapan di tengah lapangan. Tanpa banyak mengatur jurus, lawan Shiro langsung menyerang membabi buta. Shiro hanya bisa menghindar dan berlari-larian. Dia sama sekali tak bisa berpedang. Satu-satunya hal yang bisa dilakukannya hanya bertahan.
Orang di dalam kuil memberi tanda, bahwa pertandingan tidak seimbang. Sang wasit muncul ke tengah lapangan, dan menghentikan pertandingan.
Dengan nafas tersengal, Shiro kembali mengikat pedangnya di pinggang. Dia bersyukur, maut belum datang menghampirinya.
Gegap gempita dan riuh rendah sorak sorai penonton terdengar membahana di udara. Wasit telah memutuskan bahwa duel tersebut dimenangkan oleh Shiro.
Shiro, si pembual dari Edo akhirnya bisa makan dan diundang khusus oleh Daimyo.
Pada saat makan malam, Shiro makan terlalu banyak dan minum shake sampai puas. Pemuda malang itu agaknya menghabiskan malamnya dengan mabuk dan membual.
Daimyo pun menghampiri Shiro. “Siapa namamu anak muda?”
“Shiro,” setengah teler Shiro menjawab.
“Asal?”
“Edo...”
“Tuan?”
“Aku tak punya Tuan.”
“Roninkah?”
“Pembunuh bayaran,” jawab Shiro sekenanya. Dia sudah mabuk. Pikirannya melayang entah kemana.
“Berapa banyak yang sudah kau bunuh?”
“87, 16, mungkin ada 70 lebih.”
“Hm, kau pasti hebat. Aku mau lihat pedangmu. Boleh?”
“Hah, jangan. Awas kalau kau berani sentuh, kurusak pestamu!” ancam Shiro sambil menggenggam pedangnya dengan erat.
“Apa kau berminat dengan tawaranku?”
“Apa?”
“Membunuh Shimada.”
“Shimada? Jenderal perang itu?”
“Tak penting. Dia hanya orang tua yang memiliki 520 orang murid. Dia tinggal tak jauh dari sini.”
“Tapi...”
“Sudahlah, kau dibayar mahal untuk itu, dan aku sudah siapkan pengawalku untuk melindungimu.”
“Baiklah, bangunkan aku besok pagi.” ujar Shiro itu.
Paginya seorang pembantu Daimyo menghampiri Shiro. Sebuah pesan dan sebuah peta.
Menjelang tengah hari, Shiro sudah tiba di gerbang padepokan Shimada. Beberapa murid Shimada mencoba menghalangi laju Shiro. Namun Shiro yang yakin dirinya dilindungi seribu dewa tetap maju. Dan benar saja, hanya dengan menggunakan jurus lari-lari, dia berhasil memerdaya murid-murid Shimada, hingga akhirnya tiba di pintu masuk padepokan.
“Shimada, keluar, aku menantangmu!” seru Shiro. Pintu terbuka dari dalam muncul seseorang dan memersilakan Shiro untuk masuk.
“Aku bersedia menerima tantanganmu,” ujar seseorang yang ternyata adalah Daimyo yang malam sebelumnya telah menjamu Shiro.
“Aku Daimyo Shimada, dengan adil ingin menantangmu di sekolah yang sudah kudirikan ini.”
“Baiklah, cabut pedangmu, kita duel sampai mati,” ujar Shiro sambil menyerang Shimada.
Sang Daimyo melompat mundur sambil mengeluarkan pedangnya.
“Aku tak bisa, bertanding dengan lawan yang tak membuka pedangnya dari sarungnya,” ujar Shimada sambil menghindari sabetan pedang Shiro yang belum dibuka dari sarungnya. Namun Shiro tetap menyerang. Keyakinan dia akan peruntungan semakin mantap ketika di sebuah pojok, Shimada melepaskan pedangnya dan berlutut di depan Shiro.
“Aku menyerah. Aku kalah. Aku tak bisa menanggung malu. Bunuh aku dengan pedangmu,” rengek Shimada. Suasana hening. Para pengikut Shimada terpana menyaksikan pemandangan itu. Tak mungkin sang master kalah dengan anak muda yang sama sekali tak mahir memainkan pedang.
“Aku mohon buka pedangmu dan bunuh aku,” pinta Shimada, Shiro menghindar. Shimada memberi aba-aba kepada muridnya untuk menunggu di luar.
“Aku tak bisa Tuan.”
“Bunuh aku, atau kau yang dibunuh murid-muridku.”
“Aku tak bisa Tuan.”
“Kenapa?”
“Aku tak biasa memainkan pedang,” jawab Shiro gelagapan.
“Kenapa?”
“Karena aku bukan pembunuh bayaran.”
“Lantas kau siapa?”
“Aku pengembara yang kebetulan melintas di sini Tuan. Biarkan aku pergi, maafkan aku,” kata Shiro sambil membalik badannya siap melangkah keluar.
“Kau tak bisa pergi. Kau hanya punya dua pilihan, membunuhku dan meninggalkan pedangmu atau dibunuh dan pedangmu tetap untukku,” kata Shimada sambil bangkit.
Shiro membalikkan badannya ke arah Shimada. Dia siap memenuhi permintaan Shimada. Namun, ketika hendak mencabut pedangnya, dia kembali teringat pesan ayahnya.
“Aku tak bisa terus-terusan mengecewakan mendiang ayahku, Tuan. Aku tak mau lagi langgar pesannya.”
“Ah, diakan sudah mati. Kalau kau tak memenuhi permintaanku, kau pun segera menyusul dia.”
Lalu, tiba-tiba Shiro berani mengambil keputusan yang lebih beresiko dari sekadar menjual rumah peninggalan sang ayah.
“Lebih baik saya mati dengan pedang Anda daripada saya harus membuka pedang ini atau menyerahkannya kepada orang lain.”
“Ceritakan,” pinta Shimada.
“Selama hidup, aku tak pernah menjadi manusia berguna. Aku selalu mengambil keuntungan dari penderitaan orang. Bahkan, ketika ayahku sakit-sakitan dan dia harus menjaga kedainya. Sementara aku, terus bermain dadu, mabuk dan menjual kebohongan-kebohongan kepada orang-orang. Sekarang sebelum aku mati, aku mau berbakti kepada ayahku, ujar Shiro “tinggal ini satu-satunya pesan beliau yang masih kupertahankan,” bisiknya lagi kepada diri sendiri.
“Apakah si Tua Susumu itu tak memerintahkan engkau untuk menyerahkan pedang itu kepada pemiliknya?”
“Iya. Tapi bagaimana Anda kenal dengan ayahku?” tanya Shiro kaget.
“Kami adalah musuh dalam permainan, tapi kami adalah teman dalam persahabatan,” kata Shimada mendekat. “Anak muda, akulah pemilik pedang Tora yang ada di tanganmu itu,” “Pedang Tora?”
“Pedang yang sudah mencabut jutaan nyawa itu kutitipkan pada ayahmu.”
‘Tapi kenapa Anda menitipkannya pada ayah?”
“Karena aku percaya dia orang baik dan jujur. Tidak suka membual dan setia kawan. Dia tak mengambil keuntungan dari kehebatan temannya. Maka itu, aku jenderal Shimada senang menghabiskan waktu di kedai minum ayahmu.”
“Aku tidak mengerti tuan, maafkan aku.”
“Satu lagi anak muda, boleh aku pegang pedang itu?” tanya Shimada. Dengan ragu dan waspada Shiro menyerahkan pedang Tora kepada Shimada.
“Pedang ini, sudah tak sempurna lagi. Dia tinggal legenda,” ujar Shimada sambil mencabut pedang Tora dari sarungnya.
Betapa kaget Shiro. Tanpa terasa air mata menetes dari sepasang matanya.
“Pedangnya patah di tengah,” ujar Shimada.
“Apa yang akan terjadi padaku, seandainya dulu aku mencabutnya?” bisik Shiro.
“Kau pasti ditertawakan, karena membawa pedang patah dan yang pasti kau tak bisa meneruskan kebiasaanmu mabuk dan membual lagi,” ujar Shimada.
“Aku mengampunimu Susumu kecil. Sekarang pergilah. Dan jangan kecewakan ayahmu,” ujar Shimada.
Sambil menangis. Shiro berlutut di kaki Shimada. “Tuan ajarkan aku tentang sebuah kejujuran,” pintanya.
Maka, musim Semi pun tiba. Sakura baru telah tumbuh dan muncul dari kuncupnya. Demikian pula dengan kuntum yang lain. Sakura-sakura itu terus tumbuh, memenuhi dahan dan ranting. Merimbun.
Dari atas kudanya, Shiro memandang lembah yang ada di hadapannya. Di sisinya, Shimada yang menunggang kuda berwarna putih terlihat semakin tua.
“Waktuku hampir tiba. Mau kah kau menjaga ini semua untukku?” tanya Shimada. Dari atas kudanya, Shiro memandangi Shimada.
“Seluas ini?”
“Lebih luas dari kedai minuman milik ayahmu,” jawab Shimada.
Shiro tertegun sejenak sambil menelan ludah. Kali ini dia diserahkan tanggung jawab yang besar. Shimada mengeluarkan pedang yang ada di sakunya.
“Sejak Tora pertama patah, aku memesan Tora Tora. Bajanya lebih kuat. Kau dapat bertarung selama dua hari dua malam dengan pedang ini,” kata Shimada, “tapi tentunya bila kau dapat bertahan dan selalu menghindar,” ujar dia tertawa.
Shiro ikut tertawa. Dirabanya pedang Tora Tora. Di pangkalnya tertatah kalimat: “Hanya untuk keberanian dan kejujuran”.
“Kau memerlukan pedang untuk memertahankan tanahmu. Pedang itu untukmu,” ujar Shimada.
“Untukku?”
Shimada mengangguk, “Bukalah,” kata dia
“Buka?”
“Jangan takut, pedang itu sempurna.”
“Tapi...”
Shimada merebut Tora Tora dari tangan Shiro, kemudian membuka sarungnya, “Seperti sakura, selalu ada yang gugur dan ada yang tumbuh,” kata Shimada sambil menyerahkan pedang itu kepada Shiro.
“Iya, seperti sakura,” sambung Shiro. Mereka berdua kemudian pergi memacu kuda dan membelah hutan sakura.
Palmerah, Sabtu dinihari, 18 Oktober 2008
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: