UTANG LUAR NEGERI

Inilah Dua Kekeliruan yang Harus Diluruskan

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-1'>TEGUH SANTOSA</a>
LAPORAN: TEGUH SANTOSA
  • Senin, 16 Agustus 2010, 21:36 WIB
Inilah Dua Kekeliruan yang Harus Diluruskan
RMOL. Ada dua kekeliruan yang harus diluruskan di balik sikap pemerintah terhadap utang luar negeri Indonesia yang terus membengkak.

Kekeliruan pertama, sebut Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan, berkaitan dengan keengganan pemerintah untuk mengambil langkah moratorium atau tidak membuat utang baru untuk sementara. Pemerintah kerap mengatakan bahwa moratorium utang akan diikuti persepsi negatif pelaku pasar keuangan terhadap kondisi ekonomi nasional.

“Kekhawatiran tersebut akan terus-menerus terjadi bila akumulasi utang-utang baru terus bertambah. Akibatnya kebijakan ekonomi akan didominasi dan dikontrol oleh kepentingan kreditor dan investor pemilik surat berharga negara yang ingin meraup laba. Sikap pemerintah tersebut sangat merisaukan,” ujarnya.

Sikap ini juga aneh, karena di satu sisi pemerintah terlihat sangat takut berhadapan dengan kreditor. Sementara di sisi lain berani mengambil kebijakan yang menyengsarakan rakyat, seperti menaikkan tarif dasar listrik, menaikkan harga BBM, menaikkan tarif LPG, menaikkan tarif tol, dan seterusnya untuk memenuhi kewajiban membayar bunga utang.

Kedua, pilihan pemerintah untuk melunasi seluruh utang juga merupakan tindakan yang keliru. Sebab, sambung Dani, tidak semua utang yang tercatat di atas buku digunakan untuk proyek pembangunan. Sebagian dari utang itu justru diselewengkan. Belum lagi transparansi dan akuntabilitas pengelolaan utang luar negeri sangat buruk. Belum lagi, pihak kreditor juga lalai dalam memberikan utang, dan terkadang terlibat dengan kadar tertentu dalam skandal korupsi proyek-proyek utang dari dulu hingga sekarang.

Pemerintah, masih sebut Dani, juga perlu mempertimbangkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2008 tentang kejanggalan proyek utang luar negeri dan 18 temuan yang dapat membebani keuangan negara. Misalnya saja temuan sekitar 500 dari 2.214 perjanjian utang luar negeri atau loan agreement yang diteken pemerintah bersama sejumlah lembaga pendonor yang dinyatakan telah raib. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA