TIBA-TIBA saja dari ujung sana aku melihat semburat cahaya. Hanya hal ini yang bisa membuatku yakin bahwa aku baru saja melewati sebuah malam lain di sebuah tempat yang lain pula. Ini hari ke-40 pasca ombak menggulung kampung kami.
Sebilah papan tempat aku bersandar mulai rapuh dikikis air laut. Aku juga tidak habis pikir, mengapa Tuhan masih membiarkan aku menyaksikan lagi sebuah sinar yang perlahan-lahan memantul dari riak-riak ombak. Terlebih kalau aku melihat pada diriku sendiri yang ternyata masih bertahan hidup selama 40 kali matahari muncul dari balik rerimbunan pulau yang jaraknya bermil-mil di depanku.
Hidup di atas sebilah papan ini mengingatkan aku pada sebuah kisah yang dulu sering diceritakan lewat syair-syair yang dikutip dari Quran oleh guru mengajiku di meunasah kampung kami.
Entahlah, aku sudah kehabisan tenaga dan putus harapan untuk keluar dari laut yang penuh misteri ini. Bagaimana dengan nasib orang-orang kampung setelah ombak menghancurkan dengan kemarahan yang dahsyat itu? Lantas bagaimana dengan nasib adik-adikku yang dengan sekuat tenaga kurawat? Bagaimana dengan nasib keluarga dan handai taulanku lainya?
Aku masih ingat dimana aku pada saat air menerabas kampung kami. Aku bahkan masih sempat memperingatkan anak-anak kecil yang kegirangan melihat mulut pantai berubah menjadi besar. Ikan-ikan menggelepar terdampar. Perempuan-perempuan pergi ke bibir pantai yang sudah jauh surut. Semuanya kegirangan melihat bakal santapan siang didapat dengan gampang. Aku masih melihat si Bungsu berlari menyongsong ikan-ikan dan berebutan. Sebenarnya aku mau peringatkan dia, namun jala-jala yang merentang dan mengelilingi menghalangi gerakku.
Tiba-tiba saja semua hening. Aku melihat si Bungsu mengalir bersama air di depanku. Rumah-rumah roboh. Perahu-perahu berlayar ke daratan, serta puluhan orang berenang-renang seperti ikan. Air sudah mengurungku dengan temboknya yang tinggi, sehingga aku tak dapat melihat lagi pucuk pohon kelapa yang tumbuh di sepanjang pantai kami.
***
Bayangan buruk itu terus membekas dan membuatku tak punya alasan untuk hidup. Apalagi, sebelum peristiwa itu terjadi, aku sudah mengalami peristiwa lain yang tak mungkin aku lupa. Sejak suatu malam ayahku "diambil" oleh orang-orang berseragam, dan untuk seterusnya tidak pernah dipulangkan. Bahkan sampai ombak mengamuk, sebenarnya sudah terjadi badai di rumah kami.
Hal itu membuatku sebagai anak tertua mempunyai tanggung jawab atas masa depan ketiga adikku yang masih duduk di sekolah tingkat dasar. Aku harus menjadi seorang ayah bagi mereka. Membelikan buku sekolah, baju dan memberi uang pada saat lebaran tiba. Namun setiap kali aku mengingat akan itu maka akan semakin pula membuatku kuat dan melupakan keputusasaan. Aku harus bertahan dan selamat sampai ke pantai untuk kemudian mencari adik-adikku.
Selama ini aku bertahan oleh curah hujan. Aku masih bisa mengucapkan syukur pada Tuhan karena Dia telah menurunkan hujan dan memberikan aku ikan.
Yah… ikan-ikan itu begitu saja menghampiriku. Aku tidak tahu. Yang jelas setiap kali aku menjulurkan tangan ke arah ikan-ikan yang mengerubungiku, pasti selalu dengan mudah kuraih.
Hanya saja, sampai hari ini aku masih tidak paham apa alasan Tuhan memindahkan laut ke kampung kami. Padahal di kampung kami semua orang pergi ke meunasah untuk menjalankan rukun Islam. Semua bersedekah dan berbuat baik. Bahkan pada kelompok orang-orang berseragam yang telah "mengambil" Ayah, kami mencoba berlaku dengan ramah.
Yang jelas di kampung kami tidak pernah ada Kan’an seperti yang kudengar mengenai riwayatnya dari mulut guruku. Lantas siapa yang dikejar dan dicari ombak, sehingga memporak-porandakan kampung kami? Apakah ini sebuah hukuman atas kelakuan kami? Tapi apa mungkin? Kami selalu patuh pada perintah Tuhan. Bahkan kami juga bersahabat dengan alam. Tuhan tidak mungkin bosan hanya karena melihat kami patuh pada-Nya. Atau alam tidak mungkin enggan bersahabat dengan kami, sebab kami selalu mencintai mereka.
Tapi mengapa? Apakah dikarenakan oleh kelakuan orang-orang pendatang itu yang dengan sesukanya menebang pohon dan menanamkan benda-benda aneh ke dalam perut bumi kami? Atau apa? Dan mengapa harus kampung kami yang dijadikan sasaran kemarahan?
Pertanyaan itu terus keluar dari kepalaku. Membuatku gelisah ketika mentari mulai merambat gelap, dan membuatku optimis setiap kali melihat sinar yang memancar dari balik gelombang air. Pertanyaan itu pula yang telah menguatkan tubuhku yang sebagian terendam di laut. Mungkin dapat dibilang, selama ini aku bertahan hidup hanya karena aku belum berhasil mendapatkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan ku sendiri.
Sementara dari ufuk timur memantul cahaya dari balik riak-riak gelombang. Sebuah siluet perahu besar tengah melintas di depanku. Samar-samar aku melihat kalau perahu itu seluruhnya terbuat dari gelondongan kayu yang kasar. Layar yang lebar, serta anjungan luas yang kokoh. Perlahan kemudinya mengarah kepadaku. Tiba-tiba semua gelap. Aku tak bisa melihat secercah sinar pun yang memantul dari riak-riak gelombang yang kurasakan semakin besar. Seluruh bagian perahu itu menutupi pandanganku dari sinar matahari. Semakin lama semakin dekat. Aku menjulurkan tangan ke arah bayangan gelap itu. Tak ada yang menyambut. Tak ada yang menyambutku. Ini adalah hari ke 40, aku mengambang di samudera Allah.
PD KP: 05 Jan 05
< SEBELUMNYA
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.
BERITA TERKAIT: