Kalau perlu, tali gantung ikut dipajang sebagai properti tambahan. Lihatlah nasib Zulfikar Ali Bhutto, perdana menteri yang pada 1979 justru dijemput ke tiang gantungan setelah dakwaan yang empat puluh lima tahun kemudian disimpulkan Mahkamah Agung sebagai
mistrial. Ibarat pertandingan bola yang wasitnya baru mengaku salah tiup peluit ketika stadion sudah berubah jadi pusat perbelanjaan.
Di negeri yang boleh dibilang sebagai laboratorium antara demokrasi dan dominasi militer ini, penjara justru menjadi kantor sambilan bagi para pemimpinnya. Dalam lima dekade terakhir, hampir semua perdana menteri Pakistan pernah menikmati “paket wisata kurungan”, lengkap dengan todongan senjata dari markas militer.
Rasanya seperti tradisi karier bahwa sebelum jadi negarawan, silakan dulu mencicipi jeruji. Formula klasiknya tetap bahwa siapa pun pemimpin sipil yang lupa bahwa kekuasaan sejati bermata hijau tentara, akan segera diseret ke ruang sempit, lalu diberi tiket pengasingan dan instruksi untuk diam.
Imran Khan misalnya, sang bintang kriket yang naik panggung politik dengan aura manusia takdir, sebenarnya tidak pernah benar-benar keluar dari jalur naskah lama itu. Ia mungkin percaya bahwa popularitas adalah perisai, namun di Pakistan, perisai itu selalu berlubang jika tak diberkati kaum jenderal.
Ketika hubungan mesra dengan tentara retak, tuduhan berdatangan bagai daftar menu lengkap mulai dari isu suvenir negara hingga tuduhan memprovokasi serangan ke markas militer. Ia “diusir” bersama keluarga ke luar negeri, namun ia memilih tinggal di dalam negeri. Sejak beberapa pekan terakhir penahanannya, ia tak diizinkan menemui keluarga dan pengacara.
Rumor kematian pun beredar, seperti ritual tahunan yang menghantui setiap tokoh yang disingkirkan kekuasaan. Pemerintah membantah, tentu saja, tapi publik sudah terbiasa menganggap bantahan sebagai tanda bahwa sesuatu memang tak beres.
Foto-foto Khan dilarang muncul di televisi. Namanya tak boleh disebut. Para penyiar terpaksa memakai istilah sandi, “Ayahnya Kasim.” Julukan ini merujuk pada salah satu putranya, Kasim Khan, seolah-olah menghapus identitas ayah, membuatnya jadi “hanya ayah dari Kasim,” bukan mantan pemimpin besar.
Media dan pemerintah berusaha menenggelamkan jejaknya dari memori publik; menyebutnya dengan kode sudah menjadi bagian dari strategi penghapusan figur. “Ayahnya Kasim” bukan sekadar julukan, itu simbol degradasi status dari pemimpin nasional ke “nama tanpa profil”, korban isolasi politik dan media blackout.
Dan pada titik inilah, muncul sebuah pertanyaan yang lebih menusuk dari rumor-rumor itu sendiri yakni apa arti “Islam” dalam nama Republik Islam Pakistan jika darah, jeruji, dan kudeta justru menjadi kosa kata politik hariannya? Pakistan telah menyandang status republik Islam sejak 1956. Pasal 2 konstitusinya menegaskan Islam sebagai agama resmi negara.
Penduduknya? 96-97 persen Muslim, menjadikannya negeri berpenduduk Muslim terbesar kedua di dunia. Secara demografis, ini tampak seperti taman raya umat. Namun ironinya, nilai-nilai Islam justru sering terbaring lunglai di antara kabut gas air mata dan gema sepatu lars tentara berseragam hijau.
Mayoritas penduduknya Sunni dan minoritas Syiah yang hidup berdampingan pun terkadang harus menyaksikan bahwa nama besar agama hanya menjadi ornamen di plang negara yang hanya indah dari jauh, namun rapuh ketika disentuh. Ibarat hotel mewah berlabel syariah yang lobi depannya penuh karpet sutra, tetapi kamar-kamarnya dipenuhi bau kabel terbakar.
Jenderal Asim Munir, kini tampil sebagai figur utama dalam novel distopia yang sayangnya bukan fiksi. Melalui sebuah amandemen konstitusi yang terasa seperti parodi hukum, ia diberi komando atas tiga matra sekaligus yaitu perpanjangan masa jabatan, izin memakai seragam seumur hidup, serta kekebalan hukum selamanya. Republik Pakistan seolah berkata bahwa mengapa punya satu jenderal biasa, kalau bisa punya jenderal yang mirip kaisar mini?
Dari balik tembok penjara, Imran Khan pasti menyadari bahwa “tiger fight” yang selalu menjadi motonya tak dapat diulang begitu saja. Di tahun 1992 ia membawa tim kriket yang dulu kalah beruntun menuju kemenangan dunia. Tapi kali ini, lawannya bukan pemain bola kriket, melainkan struktur kekuasaan yang telah mengakar sejak negara itu berdiri yaitu tentara, intelijen, birokrasi, serta politisi yang bersedia menunduk demi kursi.
Sementara itu, sikap Kasim dan keluarganya yang tinggal di luar negeri belakangan mulai menimbulkan keributan global. Kasim, bersama saudara lelakinya, telah secara publik menyerukan agar otoritas Pakistan membuktikan bahwa ayah mereka masih hidup. Mereka sudah sekian pekan tanpa komunikasi, tanpa akses hukum maupun medis.
Dia menyebut penahanan itu sebagai “sel kematian tanpa transparansi,” menuduh bahwa upaya menyembunyikan kondisi sang ayah adalah bentuk penyiksaan psikologis. Mereka, yang kini menetap di London, memohon kepada komunitas internasional, organisasi HAM, dan pemerintah asing untuk menuntut “bukti kehidupan”, akses pengacara dan dokter pribadi, serta penghentian isolasi kejam itu.
Kasim dan keluarganya secara terbuka menyatakan bahwa sang ayah memilih penjara gelap di dalam negeri daripada hidup nyaman di luar negeri. Ia ditawari kenyamanan di Inggris, bersama mereka, tetapi menolak. Katanya, itu adalah harga untuk terus “berdiri melawan rezim korup.”
Dengan demikian, sorotan kini tak lagi hanya pada pria berjubah militer atau politisi korup, melainkan pada kondisi kemanusiaan, identitas, dan hak dasar yang seharusnya dijunjung tinggi dalam republik yang mengklaim dirinya sebagai ‘Islam’.
Kini, sang cornered tiger itu benar-benar dipojokkan dalam kandang tanpa pintu keluar. Jenderal-jenderal yakin mereka telah membuang kunci. Namun sejarah kerap membalas dengan cara yang ganjil yaitu semakin keras suara seekor harimau tua dikurung, semakin jauh gema yang dilantunkannya.
Pakistan, dengan segala drama kudeta, penggulingan, dan silang-sengkarut kekuasaan, tetap berjalan sebagai teater politik yang menolak menurunkan tirai.
Namun dari semua babak itu, ada hikmah paling pahit bahwa demokrasi tanpa kontrol sipil atas militer hanya akan menjadi parade boneka. Dan rakyat, seperti biasa, harus duduk di bangku paling murah, bangku penderitaan.

Pada akhirnya, bangsa yang membiarkan jenderalnya bermain api harus siap menanggung bau hangus sejarahnya sendiri.
Dan kata “Islam” yang terpampang megah dalam nama negara itu pun terdengar seperti doa yang terselip, bukan realitas yang tertegakkan. Karena agama, sebagaimana keadilan, tidak pernah bisa ditegakkan oleh tangan yang memegang pentungan.
BERITA TERKAIT: