Pihak bank tak mau tahu uang yang dipinjam harus dipulangkan karena katanya bukan milik bank tapi dititipkan nasabah penabung dan deposan. Tapi, sang peminjam uang atau pengutang sedang tidak punya uang, bisa karena tidak bekerja atau pengangguran, bahkan tak punya modal untuk berusaha.
Ada di antara mereka yang pekerjaannya hilang dan diputus hubungan kerja (PHK) oleh perusahaannya yang tutup, bangkrut atau tenaganya sudah tidak dibutuhkan lagi. Dari sisi kehidupan ekonomi sudah tidak memiliki kemampuan untuk membayar utangnya. Pada momentum peringatan Hari Pahlawan ke-80 tahun ini perlu kiranya memutar ulang pengorbanan pejuang bangsa dan negara atas paradigma perbankan. Jangan sampai uang sebagai alat (tools) tukar dan pembayaran jadi ajang adu domba dan keributan warga negara.
Mengacu pada data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) selama periode 2019-2024 terdapat sekitar 3.500 lebih pengaduan konsumen yang didominasi oleh persoalan perbankan dan pinjaman online (pinjol). Hal ini menunjukkan, bahwa ada permasalahan serius atas sistem dan mekanisme perbankan umum dan pinjol yang tidak adaptif bagi konsumen. Lalu, bagaimana tindak lanjut penyelesaian pengaduan konsumen tersebut? Nyaris tidak ada sama sekali!
Pihak perbankan mengabaikan untuk si kecil yang memiliki utang macet. Berbeda halnya dengan utang konglomerat yang beroleh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan KLBI sampai Surat Keterangan Lunas (SKL). Pengaduan konsumen ini haruslah ditindaklanjuti oleh penyelesaian melalui sebuah kebijakan yang komprehensif di sektor keuangan dan perbankan. Khususnya, terhadap materi berbagai perundang-Undangan perbankan dan peraturan yang berlaku saat ini.
Utang atau kredit macet konsumen perbankan dan pinjol yang sudah sangat kesulitan hidupnya tidak bisa ditangani oleh DC. Sebab, utang-piutang adalah soal perdata, jangan sampai berakibat hilangnya harta kekayaan (aset) pengutang atau debitur. Lebih tidak manusiawi lagi dan jauh dari nilai Pancasila jika terjadi konflik atau pertikaian senjata antara DC dan debitur (banyak kasus).
Bankable dan Rp200 Triliun
Persoalan krusial perbankan tak adaptif atas kredit macet inilah yang diambil penanganannya oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024 (PP 47/2024) tentang Penghapusan Utang Macet UMKM pemerintah memberikan kesempatan baru bagi pelaku UMKM untuk memperbaiki kondisi usaha mereka. Hal ini dianggap penting dan suatu langkah besar untuk meringankan beban pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia yang sedang menghadapi kesulitan akibat terjerat utang.
Sasaran pemerintah agar total kredit macet sejumlah Rp14 triliun untuk satu (1) juta pelaku UMKM di seluruh Indonesia segera direalisasikan agar kembali menggerakkan roda perekonomian bangsa. Dengan demikian, UMKM diharapkan bisa kembali mendapatkan akses pendanaan dan menjalankan usaha tanpa tekanan serta mendukung program swasembada pangan untuk kemandirian ekonomi melalui dukungan perbankan. Atas dasar itulah, publik membutuhkan konfirmasi kepada pihak perbankan terkait kinerja penghapusan utang macet UMKM tersebut.
Mengapa demikian? Tidak lain karena berbagai peraturan dan per-UU-an perbankan tidak mengakomodasi penghapusan utang atas PP 47/2024. Sebaliknya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berwenang mengawasi lembaga keuangan perbankan dan non perbankan bertindak "melawan" kebijakan Presiden RI. Atau tak dihiraukan lembaga perbankan.
Buktinya, Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023 (POJK 22/2023) tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan tidak ada perubahan kebijakan penagihan utang macet. Bahkan, utang macet produk perbankan seperti kartu kredit (KK) yang ditawarkan ke konsumen-pun tidak ada skema penghapusan utangnya.
Hal yang sama, juga akan terjadi pada kebijakan Menteri Keuangan (Menkeu) RI Purbaya Yudhi Sadewa atas dana Rp200 triliun pemerintah yang ditempatkan di lembaga perbankan. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan likuiditas dan mendorong kredit ke sektor riil. Tentu saja kebijakan ini perlu didukung untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen atau 8 persen.
Pertanyaannya, benarkah penempatan dana pemerintah itu akan digelontorkan pihak perbankan kepada para debitur non korporasi atau konglomerat? Tidak ada jaminan sama sekali! Malah ruang kongkalikong terbuka antara oknum bankir dan debitur besar untuk mempercepat pencairannya (kasus BRI perlu diperiksa). Meskipun, penempatan dana itu diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025 dapat dipastikan tidak akan efektif dan efisien.
Bagi debitur mikro dan kecil tidak akan memenuhi persyaratan kredit 5C/5K (bankable), yaitu Karakter (Character), Kapasitas (Capacity), Modal/Kapital (Capital), Agunan/Jaminan (Collateral), dan Kondisi Perekonomian (Condition of Economy). Dengan begitu, dapat dipastikan dana pemerintah Rp 200 triliun tersebut akan berpotensi diselewengkan. Apalagi, tidak ada lembaga yang akan memantau pelaksanaan alokasi dan distribusinya.
Oleh karena itu, lima (5) bank BUMN yang memperoleh alokasi penempatan dana pemerintah harus memperoleh pengawasan lembaga khusus. Untuk sektor apa dan pengusaha skala berapa dana Rp200 triliun itu akan didistribusikan? Sebab, sejumlah Rp55 triliun (27,5 persen) ke Bank Mandiri, BNI, dan BRI atau totalnya Rp165 triliun (82,5 persen). Dan, BTN yang memperoleh sejumlah Rp 25 triliun (12,5 persen), serta BSI alokasi terkecil sejumlah Rp10 triliun (5 persen) telah dikucurkan pada 12 September 2025.
Tanpa aturan yang jelas penempatan dana pemerintah tak mungkin menyasar ke kelompok UMKM serta tanpa adanya penghapusan utang macet. Selain itu, transformasi struktural perekonomian Indonesia hanya akan bisa dilakukan melalui perubahan paradigma perbankan. Yaitu, melalui peradaban bisnis dan penguatan ekonomi berbasis kerakyatan dengan mengubah UU perbankan konvensional (UU 23/1999 tentang BI, UU 21/2011 tentang OJK dll).
Kebijakan persyaratan kredit dan penghapusan utang macet hanya bisa dilakukan dengan merevisi UU Perbankan konvensional. Persoalan UU inilah yang lebih prioritas dikerjakan oleh DPR RI dan pemerintah untuk menegakkan Sistem Ekonomi Konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) bagi kelancaran dan kesuksesan visi-misi Asta Cita dalam jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045. Inilah yang sebenarnya ditunggu konsumen kecil, UMKM yang menjadi debitur perbankan. Termasuk kinerja program unggulan Presiden RI, yaitu kredit sektor agro maritim dan perumahan rakyat.
Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
BERITA TERKAIT: