Pernyataan itu terdengar tegas, namun juga memantik kegelisahan. Pemerintah, kata Prabowo, bahkan siap menyesuaikan kebijakan dan regulasi agar ekspatriat bisa menduduki jabatan tertinggi di perusahaan negara. Bagi sebagian orang, langkah ini menunjukkan keberanian untuk bersaing di gelanggang global. Tapi bagi sebagian lain, termasuk saya, justru menimbulkan pertanyaan mendasar: di manakah letak kemandirian bangsa yang dijanjikan dalam Asta Cita Prabowo Subianto?
Dalam visi-misi Asta Cita, komitmen pertama Presiden Prabowo jelas: menegakkan ideologi Pancasila dan UUD 1945. Ini berarti setiap kebijakan pemerintahan harus berpijak pada konstitusi dan semangat kebangsaan, bukan pada logika pasar semata. Profesionalisme penting, tentu saja. Namun ketika “profesionalisme” dijadikan dalih untuk membuka pintu bagi warga asing memimpin aset strategis negara, ada sesuatu yang terasa janggal. Bukankah sejarah membuktikan bahwa pelanggaran integritas, perdagangan terselubung (insider trading), dan kejahatan korporasi besar justru banyak dilakukan oleh pihak asing?
Lebih jauh, ada perbedaan mendasar antara sistem ekonomi kapitalisme yang tumbuh di Amerika Serikat dan Eropa dengan sistem ekonomi konstitusi Indonesia yang berpijak pada Pasal 33 UUD 1945. Di negeri kapitalis, kepemilikan modal adalah segalanya. Perusahaan besar berdiri untuk mengejar keuntungan sebesar-besarnya bagi segelintir pemilik. Sementara di Indonesia, perekonomian seharusnya disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan, bukan sebagai arena perebutan laba tanpa batas.
Mari sejenak menengok sejarah. BUMN bukan sekadar korporasi. Ia lahir dari semangat perlawanan terhadap sistem ekonomi kolonial yang menindas. Nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda pada era 1950-an, yang diatur melalui UU Nomor 86 Tahun 1958, adalah bagian dari upaya bangsa ini merebut kedaulatan ekonominya. BUMN adalah simbol kemandirian, bukan perpanjangan tangan modal asing.
Kini, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang merevisi UU BUMN Nomor 19 Tahun 2003, peta pengelolaan perusahaan negara berubah drastis. Pemerintah membentuk Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (disingkat BPI Danantara) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025. Lembaga baru ini menjadi pengelola aset dan investasi BUMN strategis, bahkan menerima pelimpahan sebagian kewenangan langsung dari Presiden.
Namun di sinilah letak persoalannya. Pasal 2 PP 10/2025 menyebut bahwa Presiden melimpahkan sebagian tugas dan kewenangannya kepada badan ini. Artinya, BPI Danantara bisa bertindak atas nama negara dalam mengelola kekayaan BUMN. Dengan wewenang sebesar itu, pengurusnya dapat melakukan berbagai aksi korporasi--asal mendapat restu Presiden.
Pertanyaannya: bagaimana jika lembaga strategis ini kelak dipimpin oleh ekspatriat? Siapa yang menjamin bahwa kebijakan mereka akan berpihak pada kepentingan bangsa, bukan pada keuntungan jangka pendek atau kepentingan asing?
Tumpang-tindih kewenangan kini mulai terasa antara dua lembaga: BPI Danantara dan Badan Pembina (BP) BUMN yang menggantikan kementerian sebelumnya. Siapa yang berhak menentukan arah investasi? Siapa yang mengendalikan dividen dan laba BUMN untuk aksi korporasi? Di tengah ketidakjelasan itu, ruang abu-abu muncul dan di sanalah risiko penyalahgunaan kekuasaan tumbuh.
Apalagi, perubahan dalam UU 1/2025 juga menyentuh definisi kekayaan BUMN. Jika sebelumnya disebut sebagai “kekayaan negara yang dipisahkan”, kini tafsirnya menjadi lebih lentur. Celah seperti ini bisa berbahaya bila dikendalikan oleh pihak asing yang tak memiliki ikatan emosional maupun nasionalisme terhadap Indonesia.
Apakah kita yakin ekspatriat akan memahami makna “rasa senasib sepenanggungan” yang lahir dari perjuangan kemerdekaan 17 Agustus 1945? Apakah mereka akan mengelola BUMN dengan semangat gotong royong, bukan semata logika korporasi global?
Di sini pula muncul pertanyaan yang paling menggelitik: apakah bangsa ini benar-benar kehabisan anak bangsa yang berkompetensi kelas dunia? Bukankah di berbagai sektor, dari teknologi, energi, hingga keuangan, banyak putra-putri Indonesia yang telah diakui internasional? Mengapa pemerintah justru tampak minder dan tergoda untuk menyerahkan kendali aset negara kepada warga asing?
Bung Hatta pernah menyebut sikap seperti itu sebagai bentuk inferiority complex--rasa rendah diri bangsa jajahan yang belum sepenuhnya merdeka dalam pikirannya sendiri. Padahal, kemandirian adalah ruh dari perjuangan ekonomi bangsa. BUMN didirikan justru untuk menolak sistem kapitalisme-liberalisme yang dulu dipaksakan oleh korporasi asing seperti VOC di bawah pemerintahan kolonial Belanda.
Kini, ketika Prabowo Subianto berjanji menempatkan sumber daya manusia Indonesia sebagai prioritas utama pembangunan, langkah membuka pintu bagi ekspatriat memimpin BUMN terasa berlawanan arah.
Pasal 33 UUD 1945 lahir dari pengalaman getir penjajahan. Ayat demi ayatnya mengandung semangat agar kekayaan alam dan cabang-cabang produksi penting dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. BUMN, bersama koperasi, adalah dua pilar utama ekonomi konstitusi Indonesia. Ia bukan sekadar entitas bisnis, melainkan agent of development--agen pembangunan bangsa.
Kini, kekayaan BUMN strategis yang jumlahnya lebih dari 142 perusahaan, dengan total aset mencapai Rp12.000 triliun, tengah berada di bawah konsolidasi BPI Danantara. Di atas kertas, niatnya baik: efisiensi dan optimalisasi investasi. Namun tanpa landasan nasionalisme yang kuat, semua itu bisa menjadi pintu baru bagi liberalisasi dan pengalihan kepemilikan aset negara secara halus.
Karena itu, saya berpendapat, Presiden Prabowo perlu meninjau kembali wacana pemberian ruang bagi ekspatriat untuk memimpin BUMN atau BPI Danantara. Pertimbangan konstitusional, ideologis, dan historis bangsa ini jelas menolak gagasan tersebut.
Kemandirian ekonomi bukan sekadar slogan. Ia adalah amanat konstitusi. Dan BUMN adalah instrumen utama untuk menjaga amanat itu tetap hidup. Menyerahkannya kepada ekspatriat, betapa pun “profesional”-nya, sama saja dengan menyerahkan nyawa ekonomi bangsa kepada tangan yang tak ikut berjuang merebutnya.

Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
BERITA TERKAIT: