SKK Migas dibentuk sebagai respons atas perubahan tata kelola sektor hulu migas di Indonesia. Awalnya, Pertamina (berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971) memegang peran utama sebagai pelaksana kegiatan usaha hulu migas, termasuk pengelolaan kontrak kerja sama dengan pihak ketiga. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
Terjadi pemisahan fungsi regulator/pengawas dan pelaku usaha, di mana pelaksanaan dan pengawasan kegiatan usaha hulu dialihkan dari Pertamina kepada badan pelaksana independen. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003, Pertamina diubah menjadi PT Pertamina (Persero), dan hak serta kewajiban dalam usaha hulu beralih ke BP Migas.
BP Migas kemudian dibubarkan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU- X/2012, dan pemerintah membentuk SKK Migas melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013.
SKK Migas saat ini berfungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mengelola kontrak kerja sama, sedangkan Pertamina berperan sebagai pelaku usaha yang dapat menjadi kontraktor pada wilayah kerja tertentu, sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2022.
Putusan MK dan BP Migas
Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 menyatakan BP Migas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 ayat (3). MK menilai penguasaan negara atas sumber daya alam strategis, termasuk migas, harus diwujudkan melalui kebijakan, pengelolaan, dan pengawasan langsung oleh negara untuk kemakmuran rakyat, bukan diserahkan kepada badan mandiri yang terpisah dari pemerintah.
BP Migas dinilai tidak sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah, sehingga berpotensi mengurangi peran negara dalam mengelola sumber daya migas secara langsung.
MK menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam strategis tidak boleh dipisahkan dari fungsi negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas sumber daya tersebut. Akibat putusan tersebut, seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang mengatur BP Migas dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan pengelolaan usaha hulu migas harus kembali di bawah kendali langsung pemerintah.
SKK Migas dibentuk sebagai satuan kerja khusus di bawah Kementerian ESDM berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 sebagai solusi sementara pasca pembubaran BP Migas.
Status sementara SKK Migas ditegaskan dalam konsiderans dan penjelasan peraturan perundang- undangan terkait, yang menyatakan pengelolaan hulu migas akan diatur lebih lanjut melalui undang-undang baru.
Idealnya, diperlukan pembentukan badan atau lembaga pengelola hulu migas yang secara tegas berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada pemerintah (eksekutif), dengan pengaturan yang jelas dalam undang-undang.
Badan pengelola yang ideal harus memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan, pengawasan, dan pengendalian kegiatan usaha hulu migas, namun tetap berada di bawah kontrol dan pengawasan pemerintah pusat, bukan sebagai badan otonom yang terpisah.
Pengaturan kelembagaan ke depan harus memberikan kepastian hukum, efisiensi tata kelola, serta mencegah konflik kepentingan antara regulator dan pelaku usaha, sebagaimana menjadi tujuan utama pemisahan fungsi dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.
SKK Migas dan KESDM
Secara hukum, SKK Migas berada di bawah pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Menteri ESDM, meskipun Kepala SKK Migas bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Model ini memiliki kelebihan dan kekurangan yang signifikan, memengaruhi efektivitas pengelolaan hulu migas di Indonesia.
Kelebihan SKK Migas, di antaranya (1) sinergi dan koordinasi menjadi terpusat. Dengan berada di bawah Kementerian ESDM, koordinasi antara kebijakan hulu migas dan kebijakan energi nasional menjadi lebih mudah. SKK Migas dan Ditjen Migas di Kementerian ESDM bisa bekerja sama lebih erat, sehingga kebijakan pemerintah, seperti percepatan proyek atau penggunaan energi terbarukan, dapat selaras dengan program hulu migas.
(2) Pengambilan keputusan lebih cepat. Keberadaan SKK Migas dalam satu atap kementerian dapat memangkas jalur birokrasi, terutama terkait perizinan dan persetujuan. Ini bisa membuat proses operasional menjadi lebih efisien, karena tidak harus menunggu persetujuan dari lembaga yang terpisah dari pemerintah.
(3) Pengawasan yang lebih ketat. Pengawasan langsung oleh Menteri ESDM, yang juga menjadi ketua Komisi Pengawas, membuat kinerja SKK Migas lebih terawasi. Ini dapat meningkatkan akuntabilitas dan memastikan semua keputusan sejalan dengan target pemerintah.
(4) Dukungan kebijakan. Kementerian ESDM dapat memberikan dukungan kebijakan yang lebih kuat untuk SKK Migas, misalnya dalam hal insentif fiskal atau penawaran wilayah kerja. Ini penting untuk menarik investasi baru dan mendorong kegiatan eksplorasi yang lesu.
Sementara kekurangannya ialah (1) adanya potensi konflik kepentingan. Posisi SKK Migas sebagai pengawas kegiatan hulu migas bisa berpotensi tumpang tindih dengan fungsi Ditjen Migas di Kementerian ESDM. Hal ini bisa menimbulkan kebingungan peran, terutama dalam perumusan kebijakan dan implementasinya.
(2) Kurang fleksibel dan lambat dalam urusan komersial. Sebagai lembaga pemerintah di bawah kementerian, SKK Migas terikat pada prosedur birokrasi yang kaku. Padahal, industri migas sangat dinamis dan membutuhkan keputusan bisnis yang cepat. Hal ini membuat SKK Migas kurang fleksibel dalam negosiasi atau mengambil keputusan komersial dibandingkan model perusahaan migas nasional (National Oil Company).
(3) Keterbatasan kewenangan. Meskipun bertanggung jawab kepada Presiden, secara teknis SKK Migas tetap harus mengikuti arahan Menteri ESDM. Ini bisa membatasi otonomi SKK Migas dalam mengambil keputusan strategis, terutama yang bersifat jangka panjang dan lintas kementerian.
(4) Status hukum yang tidak pasti. SKK Migas masih berstatus “sementara” karena belum adanya undang-undang yang permanen. Walaupun berada di bawah Kementerian ESDM, status ini membuat investor ragu akan keberlanjutan dan kepastian hukum dalam jangka panjang.
Secara keseluruhan, model saat ini yang menempatkan SKK Migas di bawah Kementerian ESDM menciptakan sinergi yang baik, tetapi juga mewarisi masalah birokrasi dan keterbatasan wewenang yang menghambat sektor hulu migas untuk berkembang lebih cepat. Ini menjadi alasan utama mengapa revisi UU Migas dan pembentukan lembaga permanen yang kuat sangat mendesak.
Lembaga pengelola hulu migas harus berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada pemerintah pusat, bukan sebagai badan otonom atau mandiri, agar penguasaan negara atas sumber daya migas tetap terjaga sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.
Kelembagaan tersebut harus diatur secara tegas dalam undang-undang, bukan hanya melalui peraturan presiden atau peraturan menteri, untuk memberikan kepastian hukum dan menghindari dualisme peran antara regulator dan pelaku usaha.
Fungsi utama lembaga ini meliputi pengelolaan, pengawasan, dan pengendalian seluruh kegiatan usaha hulu migas berdasarkan kontrak kerja sama, dengan tetap menjamin transparansi, akuntabilitas, dan pengutamaan kemakmuran rakyat.
Struktur organisasi lembaga ideal harus memungkinkan pengawasan internal dan eksternal yang efektif, serta melibatkan unsur pemerintah secara langsung dalam pengambilan keputusan strategis, sebagaimana dicontohkan dalam pengaturan Komisi Pengawas pada SKK Migas dalam Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013.
Lembaga pengelola tidak boleh merangkap sebagai pelaku usaha, untuk mencegah konflik kepentingan dan menjaga objektivitas pengelolaan. Kewenangan lembaga harus meliputi pemberian pertimbangan atas penyiapan dan penawaran wilayah kerja, penandatanganan kontrak kerja sama, pengawasan pelaksanaan kontrak, serta penunjukan penjual minyak dan gas bumi bagian negara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2022.
Format BUK Migas
Saat ini, pembentukan lembaga permanen yang ideal untuk mengelola hulu migas di Indonesia masih menjadi pembahasan dalam revisi Undang-Undang Migas. Konsep yang paling sering diusulkan untuk menggantikan SKK Migas adalah Badan Usaha Khusus (BUK) Migas.
Beberapa poin penting dari model ideal BUK Migas ini antara lain: (1) Mandat yang kuat dan jelas. BUK Migas yang ideal harus memiliki mandat yang kuat sebagai atau pemimpin dalam industri hulu migas. Tidak hanya berfungsi sebagai pengawas, lembaga ini juga harus diberikan wewenang yang lebih besar, termasuk dalam hal koordinasi lintas kementerian. Permasalahan perizinan dan pajak yang tumpang tindih dengan kementerian lain (seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Perindustrian) sering kali menjadi kendala bagi investor. BUK Migas yang ideal harus bisa menjadi koordinator utama untuk memangkas birokrasi ini.
(2) Pengambilan keputusan strategis. Lembaga ini harus memiliki otonomi untuk mengambil keputusan cepat terkait eksplorasi dan produksi, sehingga tidak terhambat oleh proses birokrasi yang panjang. (3) Fungsi ganda (regulator dan operator). Beberapa ahli menyarankan BUK Migas bisa meniru model National Oil Company (NOC) seperti Petronas di Malaysia. Artinya, lembaga ini tidak hanya mengatur, tetapi juga bisa berpartisipasi langsung dalam kegiatan bisnis hulu migas melalui anak perusahaannya, sekaligus tetap menjalankan fungsi pengawasan.
(4) Mendorong investasi dan eksplorasi. Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menarik investasi hulu migas, terutama untuk kegiatan eksplorasi yang berisiko tinggi. Model BUK Migas yang ideal harus mampu menciptakan iklim investasi yang lebih menarik dengan: yang fleksibel dan kompetitif. Pemerintah perlu menawarkan skema bagi hasil (Production Sharing Contract) atau skema ain yang lebih menarik bagi investor, disesuaikan dengan karakteristik tiap wilayah kerja.
(5) Kepastian hukum dan kontrak. Investor membutuhkan kepastian bahwa kontrak yang mereka tandatangani tidak akan berubah di tengah jalan. BUK Migas yang permanen dan kuat akan memberikan jaminan ini.
(6) Penyederhanaan perizinan. Mengurangi jumlah izin yang diperlukan dan mempercepat prosesnya adalah kunci untuk mempercepat proyek hulu migas. (7) Akuntabilitas dan pengawasan yang ketat. Meskipun diberikan wewenang yang lebih besar, lembaga pengganti SKK Migas harus tetap memiliki akuntabilitas yang tinggi.
Model yang ideal harus memastikan adanya pengawasan langsung dari presiden. Seperti SKK Migas saat ini, lembaga baru harus bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk memastikan visi dan target nasional tercapai. Transparansi dalam pengelolaan pendapatan negara. Sistem yang transparan harus diterapkan untuk memastikan penerimaan negara dari migas dikelola dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Penerapan governance: Menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good governance) untuk mencegah korupsi dan memastikan operasional yang efisien.
Secara singkat, BUK Migas yang ideal bukanlah sekadar nama baru, melainkan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan penuh, terpisah dari regulasi yang rumit, dan didukung oleh undang- undang yang kuat untuk menjadi motor penggerak industri hulu migas Indonesia. Ini merupakan langkah fundamental untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel dan gas 12 miliar kaki kubik per hari pada tahun 2030.
Terdapat dua model utama pengelolaan hulu migas di dunia: Pertama, model National Oil Company (NOC) sebagai operator tunggal dan regulator, seperti yang pernah diterapkan Indonesia melalui Pertamina, juga ditemukan di Arab Saudi (Saudi Aramco) dan Iran (NIOC). Model ini memberikan kontrol penuh kepada negara namun berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan kurangnya transparansi.
Kedua, Model pemisahan fungsi regulator dan operator, sebagaimana diterapkan di Norwegia (Norwegian Petroleum Directorate sebagai regulator dan Equinor sebagai operator) serta Malaysia (Petronas sebagai NOC di bawah pengawasan pemerintah). Model ini menekankan transparansi, akuntabilitas, dan pencegahan konflik kepentingan.
Indonesia saat ini menganut model pemisahan antara regulator (SKK Migas sebagai perpanjangan tangan pemerintah) dan pelaku usaha (BUMN, BUMD, swasta, dan asing), yang sejalan dengan praktik internasional terbaik.
Namun, kelembagaan SKK Migas masih bersifat sementara dan belum diatur secara permanen dalam undang-undang, sehingga kepastian hukumnya belum optimal.
Idealnya, pengelolaan hulu migas di Indonesia ke depan perlu diatur secara tegas dalam undang- undang, dengan lembaga pengelola yang berada di bawah pemerintah, tidak merangkap sebagai pelaku usaha, dan memiliki kewenangan penuh dalam pengelolaan, pengawasan, serta pengendalian kegiatan usaha hulu migas.
Menuju Hulu Migas Ideal
Ada beberapa langkah penting dan tantangan yang harus diatasi untuk merealisasikan pengelolaan hulu migas yang ideal, terutama dengan pembentukan Badan Usaha Khusus (BUK) Migas:
Ini adalah langkah paling krusial. Pembentukan BUK Migas sebagai lembaga permanen membutuhkan dasar hukum yang kuat, yaitu UU Migas yang baru. BUK Migas merupakan amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2012 yang membubarkan BP Migas. Oleh karena itu, DPR dan Pemerintah perlu segera menyelesaikan revisi UU Migas ini dengan mendefinisikan secara jelas tugas dan fungsinya agar tidak tumpang tindih dengan lembaga lain. Undang-undang baru harus secara eksplisit mendefinisikan BUK Migas sebagai regulator sekaligus operator, seperti yang diamanatkan MK, agar dapat memiliki fungsi kebijakan dan pengusahaan.
Indonesia menghadapi tantangan investasi yang terbatas di sektor hulu migas. Agar BUK Migas bisa efektif, perlu ada perbaikan fundamental untuk menarik investor. Skema fiskal yang kompetitif. Pemerintah perlu menawarkan skema bagi hasil (Production Sharing Contract/PSC) atau sistem lain yang lebih fleksibel dan menarik, disesuaikan dengan risiko dan potensi di setiap wilayah kerja.
Penyederhanaan perizinan. Biaya dan waktu yang besar untuk perizinan adalah hambatan utama. Perlu ada sistem “satu atap, satu pintu” untuk semua perizinan terkait hulu migas, yang mencakup koordinasi lintas kementerian (misalnya dengan KLHK dan Kementerian Keuangan). Kepastian hukum dan kontrak. Undang-undang baru harus menjamin kepastian bagi investor bahwa kontrak yang telah disepakati akan dihormati dan tidak akan diubah di tengah jalan.
Model ideal BUK Migas tidak akan berjalan tanpa dukungan kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni. Independensi kelembagaan BUK Migas harus memiliki posisi independen dan otonom, bertanggung jawab langsung kepada Presiden, agar terhindar dari intervensi politik dan birokrasi yang menghambat. Integrasi SDM. Seluruh SDM SKK Migas yang kompeten perlu diserap ke dalam BUK Migas agar kesinambungan operasional dan keahlian tidak hilang. Tata kelola yang baik (good gevernance) Penting untuk menerapkan sistem pengawasan yang ketat dan transparan, termasuk melibatkan lembaga seperti KPK, BPK, dan BPKP, untuk memastikan semua proses bisnis berjalan efisien dan akuntabel, serta bebas dari praktik korupsi.
Isu mengenai pembentukan dana migas khusus kembali mengemuka di DPR. Dana ini akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek eksplorasi yang berisiko tinggi dan sulit mendapatkan pendanaan.
Sumber pendanaan. Dana ini dapat berasal dari kontribusi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Pemanfaatan: Dana migas ini bisa dimanfaatkan untuk mendanai kegiatan eksplorasi besar- besaran, terutama di area laut dalam (deepwater), yang membutuhkan modal dan teknologi tinggi.
Dengan langkah-langkah ini, BUK Migas diharapkan tidak hanya menggantikan SKK Migas, tetapi juga menjadi instrumen yang kuat untuk mencapai target produksi migas nasional, menarik investasi, dan menjamin ketahanan energi jangka panjang bagi Indonesia.
Kesimpulan
Apakah Pemerintah perlu membentuk BUK Migas mengingat plus minus keberadaan SKK Migas saat ini? Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hulu migas di Indonesia telah mengarah pada praktik tata kelola yang ideal secara internasional, dengan pemisahan fungsi regulator dan pelaku usaha.
Namun, status kelembagaan SKK Migas yang masih sementara memerlukan penguatan melalui pembentukan badan pengelola permanen yang diatur secara tegas dalam undang-undang. Rekomendasi utama adalah segera melakukan pembaruan regulasi untuk membentuk lembaga pengelola hulu migas yang berada di bawah pemerintah, tidak merangkap sebagai pelaku usaha, dan memiliki kewenangan penuh serta akuntabilitas tinggi demi kemakmuran rakyat.

*Penulis adalah praktisi hukum
BERITA TERKAIT: