Kekuasaan Elite dan Kedaulatan Udara NKRI

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/chappy-hakim-5'>CHAPPY HAKIM*</a>
OLEH: CHAPPY HAKIM*
  • Kamis, 18 September 2025, 18:01 WIB
Kekuasaan Elite dan Kedaulatan Udara NKRI
Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia Chappy Hakim. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
DALAM setiap bangsa, kedaulatan adalah pilar utama yang menjadi landasan berdirinya negara. Kita belajar sejak awal kemerdekaan bahwa kedaulatan itu mutlak, baik di darat, laut, maupun udara. 

Tetapi sejarah juga memperlihatkan bahwa kedaulatan kerap tidak jatuh ke tangan rakyat secara utuh, melainkan sering digenggam oleh segelintir orang yang memiliki akses langsung terhadap kekuasaan politik, militer, dan ekonomi. 

Itulah inti dari teori Power Elite yang dikemukakan Wright Mills pada dekade 1950-an, dan teori ini tetap relevan untuk membaca situasi Indonesia hari ini, terutama ketika kita bicara soal pendelegasian wilayah udara atau Flight Information Region (FIR) ex-Singapura sebagaimana tercantum dalam perjanjian RI-Singapura tahun 2022.

Kekuasaan di Tangan Segelintir Orang

Mills melihat, pasca Perang Dunia II, Amerika Serikat dikuasai bukan oleh rakyat banyak sebagaimana retorika demokrasi, melainkan oleh tiga pilar elit yakni pemerintah, militer, dan korporasi besar. 

Mereka membentuk sebuah lingkaran kekuasaan yang eksklusif, saling berhubungan, bahkan saling bertukar posisi. Seorang jenderal bisa duduk di kursi direksi perusahaan setelah pensiun. Seorang politisi bisa masuk ke lembaga militer atau perusahaan strategis. Begitu pula seorang pengusaha bisa menduduki jabatan penting di pemerintahan. 

Hubungan yang cair, tetapi justru menguatkan dominasi mereka terhadap keputusan-keputusan penting bangsa.  Dalam logika ini, rakyat banyak hanya menjadi penonton. 

Demokrasi tetap berjalan secara formal, pemilu dilaksanakan, parlemen bersidang tetapi keputusan strategis diambil oleh segelintir orang di ruang tertutup. Mills menyebut fenomena ini sebagai "the power elite". Sebuah tesis yang menggugat idealisme demokrasi liberal dan menyingkap realitas politik modern.

FIR Bukan Sekadar Teknis Navigasi

Kasus FIR Indonesia-Singapura 2022 sesungguhnya mencerminkan persis apa yang dipotret Mills lebih dari setengah abad lalu. Publik sering menganggap FIR hanya soal teknis navigasi penerbangan, tentang siapa yang berhak mengatur lalu lintas pesawat di jalur udara tertentu. 

Padahal, FIR menyangkut kedaulatan negara, pertahanan strategis, sekaligus bisnis penerbangan internasional dengan nilai ekonomi sangat besar.  

Perjanjian FIR 2022 bukanlah keputusan teknis, melainkan produk kompromi politik tingkat tinggi. Keputusan itu lahir dari meja perundingan segelintir elit, Presiden, Menteri Luar Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri Pertahanan, Panglima TNI, pejabat AirNav Indonesia, dan tentu saja mitra mereka di Singapura. 

Rakyat banyak, DPR, apalagi komunitas profesional penerbangan, praktis hanya menerima keputusan setelah ia ditandatangani. Persis seperti tesis Mills, keputusan strategis bangsa ditentukan oleh lingkaran kecil elit, bukan partisipasi luas rakyat.

Persilangan Kepentingan Politik, Militer, Ekonomi

Tiga pilar elite Mills yaitu politik, militer, ekonomi juga bisa kita lihat nyata dalam kasus FIR. Dari sisi politik, perjanjian FIR menjadi bagian dari paket diplomasi yang lebih luas dengan Singapura yakni ekstradisi, pertahanan, dan FIR. 

Dari sisi militer, FIR bersinggungan langsung dengan ruang udara strategis Natuna dan Selat Malaka dijalur yang setiap hari dilalui ratusan pesawat sipil dan militer. Dari sisi ekonomi, FIR berkaitan erat dengan bisnis penerbangan sipil internasional, bandara, maskapai, bahkan posisi Changi sebagai hub penerbangan dunia. 

Dengan kata lain, FIR adalah simpul yang mempertemukan kepentingan politik, pertahanan, dan ekonomi sekaligus. Dan di simpul itu, keputusan akhirnya ditentukan oleh kompromi segelintir elit. Tepat sekali dengan gambaran Mills tentang bagaimana power elite bekerja.  

Satu lagi ciri khas power elite adalah sirkulasi orang-orang dalam lingkaran yang sama. Di Indonesia, kita juga menyaksikan pola itu. Nama-nama yang mengurus isu FIR tidak banyak berubah dari waktu ke waktu, hanya berputar di sekitar pejabat politik, birokrasi transportasi, pertahanan, dan bisnis penerbangan. Ada yang berpindah posisi, ada yang naik jabatan, tetapi lingkarannya tetap eksklusif. 

Publik, DPR, apalagi masyarakat penerbangan luas, hanya menjadi penonton yang mengetahui hasil akhirnya saja setelah diumumkan. 

Inilah kritik tajam yang bisa dilontarkan dengan menggunakan kerangka Mills bahwa ada kesenjangan nyata antara demokrasi formal UUD 1945 menegaskan kedaulatan ada di tangan rakyat dengan praktik kekuasaan nyata di lapangan, di mana rakyat justru tersisih dari proses pengambilan keputusan yang menyangkut kedaulatan mereka sendiri.  

Pertanyaannya, apa arti demokrasi jika keputusan strategis bangsa menyangkut ruang udara kita sendiri ditentukan hanya oleh segelintir elit tanpa keterlibatan publik? Mills sudah mengingatkan, demokrasi bisa berjalan formal, tetapi isinya kosong jika rakyat tidak dilibatkan. 

Demokrasi yang kosong inilah yang patut kita waspadai. Sebab di balik prosedur sah sebuah perjanjian internasional, bisa saja tersembunyi kompromi elit yang lebih mengutamakan kepentingan jangka pendek dibanding kepentingan jangka panjang bangsa.

Kedaulatan di Tangan Elite

Dalam Konvensi Chicago 1944 ditegaskan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udaranya. Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga menegaskan hal yang sama. 

Tetapi bagaimana jadinya jika kedaulatan yang sejatinya milik seluruh bangsa ini justru dinegosiasikan hanya oleh lingkaran sempit elite? Bukankah ini bentuk pengingkaran terhadap makna sejati kedaulatan itu sendiri? Inilah titik krusial yang bisa dibaca dengan kaca mata Mills. 

Kedaulatan tidak hilang karena serangan militer atau aneksasi. Ia bisa melemah perlahan lewat kompromi elite, lewat kesepakatan politik-ekonomi yang sah secara hukum, tetapi minim partisipasi rakyat.  

Menggunakan teori Power Elite, kita bisa sampai pada satu kesimpulan yakni selama isu strategis bangsa hanya ditentukan oleh segelintir elit, maka kedaulatan akan selalu berada dalam posisi rawan. 

Keputusan bisa diarahkan pada kepentingan diplomasi sesaat, pertimbangan ekonomi jangka pendek, atau bahkan keuntungan elit tertentu, bukan kepentingan jangka panjang rakyat Indonesia.  

Karena itu, yang diperlukan adalah reformasi mekanisme pengambilan keputusan strategis. Transparansi harus diperkuat. DPR mesti dilibatkan lebih aktif, bukan sekadar memberi persetujuan formal. 

Komunitas penerbangan nasional, akademisi, dan publik luas harus diberi ruang dalam proses konsultasi. Dan yang tak kalah penting, setiap keputusan besar yang menyangkut kedaulatan bangsa perlu diaudit secara terbuka: siapa yang diuntungkan, apa risikonya, bagaimana implikasi jangka panjangnya.

Demikianlah, Teori Wright Mills memang lahir dari konteks Amerika Serikat tahun 1950-an. Tetapi spiritnya bahwa kekuasaan sering terkonsentrasi pada segelintir elit masih sangat relevan untuk Indonesia hari ini. 

Kasus FIR 2022 menjadi cermin yang jelas bahwa sebuah keputusan besar menyangkut kedaulatan udara kita justru lahir dari kompromi elit, sementara rakyat sebagai pemilik kedaulatan tidak banyak dilibatkan. 

Mills mengingatkan, demokrasi bisa menjadi sekadar prosedur tanpa substansi bila rakyat dipinggirkan. Maka, tugas kita bukan hanya mengkritik, tetapi juga mendorong agar mekanisme keputusan strategis benar-benar kembali pada prinsip kedaulatan rakyat. Karena pada akhirnya, kedaulatan negara bukan milik segelintir elite, melainkan milik seluruh bangsa Indonesia.rmol news logo article

*Pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia




Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA