Melalui analisis kritis, artikel ini menyimpulkan bahwa Angkatan Laut Republik Indonesia (TNI AL) harus beralih dari paradigma “armada kapal perang” menuju paradigma “sistem kekuatan terintegrasi” yang memprioritaskan peperangan bawah laut, pertahanan berlapis, strategi asimetris, dan integrasi jaringan tempur lintas matra (combat cloud). Reorientasi strategis ini penting untuk mempertahankan kedaulatan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang luas dan menjamin keamanan Sea Lines of Communication (SLOCs) vital seperti Selat Malaka dan Laut Natuna Utara.
Dunia strategi maritim sedang mengalami pergeseran paradigma yang dipicu oleh kemajuan teknologi persenjataan, khususnya rudal hipersonik. Senjata ini, dengan kecepatan yang melebihi Mach 5 dan kemampuan manuver yang sulit diprediksi di jalur penerbangannya, secara efektif melumpuhkan waktu reaksi sistem pertahanan tradisional.
Ketika dipasangkan dengan teknologi Multiple Independent Reentry Vehicle (MIRV), sebuah hulu ledak tunggal dapat berubah menjadi hujan rudal yang menargetkan beberapa kapal sekaligus dalam suatu gugus tugas, mengubah konsep formasi armada menjadi kumpulan target yang rentan. Realitas baru ini menempatkan angkatan laut di seluruh dunia pada sebuah persimpangan jalan, mempertanyakan relevansi doktrin-doktrin klasik yang telah berusia lebih dari seabad. Bagi Indonesia, sebuah negara kepulauan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang luas dan bergantung pada jalur laut seperti Selat Malaka dan Selat Sunda, tantangan ini bukan hanya teoritis tetapi bersifat eksistensial.
Keamanan ekonomi dan kedaulatan nasional terikat langsung pada kemampuan untuk mengamankan domain maritim. Dalam konteks inilah, pemikiran dua teoritikus maritim terkemuka, Alfred Thayer Mahan dan Geoffrey Till, harus dikaji ulang bukan untuk dibuang, tetapi untuk disesuaikan dengan realitas peperangan abad ke-21.
Menguji Teori Klasik dalam Cawan Pengujian Teknologi Hipersonik
Teori Mahan, yang dirumuskan pada akhir abad ke-19, berdiri di atas tiga pilar utama: pencapaian command of the sea melalui pertempuran laut yang menentukan (decisive battle) oleh armada kapal tempur besar (battle fleet), penguasaan jalur komunikasi laut (Sea Lines of Communication/SLOCs), dan keberadaan pangkalan laut di seberang lautan. Dalam visi Mahan, laut adalah medan tempur sekaligus perisai yang melindungi armada yang mampu memproyeksikan kekuatan secara global.
Namun, di era hipersonik, premis ini mendapatkan tantangan yang sangat keras. Konsep decisive battle ala Mahan, yang membayangkan dua armada saling berhadapan dalam jangkauan tembak meriam, telah berevolusi menjadi pertempuran over-the-horizon yang dimenangkan oleh pihak yang pertama kali mendeteksi dan menembak dengan rudal jelajah jarak sangat jauh atau rudal balistik. Kapal induk, yang merupakan simbol proyeksi kekuatan dan battle fleet modern, telah berubah statusnya dari queen of the seas menjadi high-value asset yang sangat rentan, memaksanya untuk beroperasi dari jarak yang semakin jauh dari wilayah sengketa, sehingga mempersempit jangkauan pengaruhnya.
Lebih mendasar lagi, laut telah kehilangan sifatnya sebagai medium perlindungan. Sebuah kapal perang, betapapun besar dan canggihnya, tidak dapat lagi bersembunyi di vastness of the ocean. Ia terus-menerus terpapar oleh mata-mata di langit, berupa satelit pengintai, pesawat tanpa awak (UAV) High-Altitude Long Endurance (HALE), dan sistem radar Over-the-Horizon (OTH).
Data dari sensor-sensor ini dapat dengan segera diumpankan ke baterai rudal hipersonik yang kemudian meluncurkan serangan presisi dari ribuan kilometer jauhnya. Dengan demikian, command of the sea tidak lagi bersifat absolut dan permanen, melainkan bersifat sementara, terkotak-kotak (localized), dan sangat disengketakan. Sebuah angkatan laut hanya dapat mengklaim penguasaan atas suatu area tertentu untuk durasi waktu yang terbatas, sebelum ancaman jarak jauh memaksanya untuk mengungsi atau menghadapi kehancuran.
Sementara teori Mahan terlihat paling terpukul oleh perkembangan ini, kerangka kerja yang diajukan oleh Geoffrey Till justru menunjukkan ketahanan dan relevansinya yang berkelanjutan. Till, dalam karyanya Seapower: A Guide for the Twenty-First Century, memperluas cakupan kekuatan laut di luar fungsi perang konvensional. Ia membaginya menjadi dua peran utama: maritime security (fungsi kepolisian dan penegakan kedaulatan) dan sea control (fungsi peperangan). Ancaman hipersonik tidak mengurangi, bahkan justru meningkatkan pentingnya peran maritime security.
Patroli rutin untuk memberantas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing di perairan Natuna, pengawalan kapal niaga dari ancaman bajak laut di perairan Somalia, dan penegakan hukum di ZEE tetap merupakan operasi harian yang vital bagi keamanan ekonomi Indonesia. Fungsi-fungsi ini merupakan value proposition TNI AL di masa damai dan menjadi dasar legitimasi politiknya untuk memperoleh anggaran.
Dalam hal sea control, Till sudah mengakui bahwa konsep ini bukanlah dikotomi hitam-putih (memiliki atau tidak memiliki kendali), melainkan sebuah spektrum. Ancaman hipersonik mempertegas hal ini. Bagi sebuah kekuatan maritim menengah seperti Indonesia, tujuan strategisnya mungkin bukan untuk memproyeksikan kekuatan dan mengontrol seluruh Laut China Selatan, tetapi untuk menyangkal (deny) kekuatan asing mengontrol perairan di sekitar kepulauannya. Inilah yang dikenal sebagai strategi Anti-Access/Area Denial (A2/AD).
Rudal hipersonik jarak menengah, yang ditempatkan di pulau-pulau terluar, justru menjadi alat yang sangat efektif untuk menciptakan bubble atau gelembung A2/AD tersebut, mencegah kapal perang musuh untuk mendekati wilayah kedaulatan Indonesia. Dengan demikian, teori Till memberikan fleksibilitas konseptual yang lebih besar untuk merespons lingkungan strategis yang berubah.
Solusi: Sintesis Baru untuk Doktrin Maritim Indonesia
Menghadapi realitas disruptif ini, TNI AL tidak perlu serta merta meninggalkan warisan pemikiran Mahan dan Till. Sebaliknya, yang diperlukan adalah sintesis kreatif dari keduanya, sebuah reinterpretasi yang memadukan visi strategis Mahan tentang pentingnya penguasaan laut dengan kerangka pragmatis dan fleksibel Till. Sintesis ini harus diterjemahkan ke dalam lima pilar transformasi strategis berikut.
Pertama, pergeseran fundamental dari fokus pada platform individu ke fokus pada sistem senjata terintegrasi. Nilai strategis sebuah korvet yang dilengkapi dengan rudal hipersonik dan terintegrasi dalam jaringan sensor yang luas bisa jauh lebih besar daripada sebuah kapal perusak kawal rudal (Destroyer Escort) yang berdiri sendiri tanpa dukungan yang memadai. Filosofi Mahan tentang battle fleet harus ditafsirkan ulang bukan sebagai kumpulan kapal permukaan, tetapi sebagai sebuah integrated naval force yang terdiri dari kapal selam, pesawat, rudal darat, satelit, dan sistem cyber yang bekerja dalam kesatuan.
Kedua, penekanan yang jauh lebih besar pada peperangan bawah laut (subsurface warfare). Di tengah transparansi permukaan laut yang diciptakan oleh teknologi satelit, laut di bawah permukaan tetap menjadi domain yang relatif tersembunyi dan sulit ditembus. Kapal selam, baik konvensional (SSK) seperti jenis Changbogo yang sedang diproduksi oleh PT PAL Indonesia maupun kapal selam nuklir di masa depan, menjadi platform yang paling survivable dan memiliki nilai deterren yang tinggi. Investasi dalam armada kapal selam yang modern dan memadai, dilengkapi dengan torpedo dan rudal jelajah, adalah kunci untuk mempertahankan kemampuan pukul dalam lingkungan yang dipenuhi ancaman hipersonik.
Ketiga, investasi dalam pertahanan berlapis (multi-layer defense). Karena tidak ada sistem pertahanan yang sempurna, pendekatan yang paling realistis adalah membangun beberapa lapis pertahanan. Lapis terluar adalah sistem deteksi dini, termasuk pengadaan radar Over-the-Horizon (OTH) dan penguatan konstelasi satelit pengintai nasional, mungkin melalui kerja sama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) dan Badan Intelijen Strategis (BAIS).
Lapis kedua adalah kemampuan untuk mengintervensi dan menghancurkan platform pembawa rudal musuh atau rudalnya yang masih dalam fase cruise, menggunakan pesawat tempur seperti F-15EX atau rudal pertahanan udara jarak jauh seperti sistem Aegis. Lapis ketiga adalah pertahanan titik akhir, terdiri dari sistem Close-In Weapon System (CIWS), rudal permukaan-ke-udara jarak pendek, dan perang elektronik (electronic warfare) untuk mengelabui rudal hipersonik yang berhasil menerobos dua lapis pertahanan sebelumnya.
Keempat, adopsi strategi asimetris dan hybrid. Sebagai kekuatan maritim menengah, Indonesia tidak perlu, dan tidak mampu terlibat dalam perlombaan senjata simetris dengan kekuatan besar. Sebaliknya, TNI AL dapat mengembangkan konsep “angkatan laut penyengat” yang terdiri dari banyak kapal kecil yang tersebar, cepat, dan mematikan, seperti Kapal Cepat Rudal (KCR) dan Kapal Patroli yang dipersenjatai dengan rudal. Geografi kepulauan Indonesia yang kompleks menyediakan tempat persembunyian dan peluncuran yang ideal bagi armada semacam ini, menjadikan Indonesia sebagai “lawan yang sulit dipukul” dan meningkatkan biaya potensial bagi agresor mana pun.
Kelima, dan yang terpenting, adalah pembangunan “Combat Cloud” atau jaringan tempur terintegrasi. Semua elemen di atas, sensor, penembak, kapal, pesawat, dan satelit, harus dihubungkan oleh sebuah jaringan data yang tangguh, aman, dan berkecepatan tinggi. Jaringan ini memungkinkan sebuah sensor, misalnya sebuah pesawat patroli maritime Boeing P-8 Poseidon, untuk mendeteksi target dan langsung mengirim datanya ke sebuah kapal perang, baterai rudal darat, atau pesawat tempur yang berada dalam posisi terbaik untuk melakukan penembakan. Integrasi lintas matra (laut, udara, darat, luar angkasa, dan cyber) inilah yang akan menjadi pengganda kekuatan (force multiplier) dan penentu kemenangan di medan perang modern.
Aksi: Langkah-Langkah Konkret menuju Transformasi TNI AL
Reorientasi strategis ini memerlukan aksi kebijakan yang konkret dan berkelanjutan. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pertahanan dan Markas Besar TNI, harus memprioritaskan alokasi anggaran pertahanan yang tidak hanya untuk pembelian platform, tetapi terutama untuk pengembangan sistem dan jaringan. Program strategis seperti modernisasi armada kapal selam, pengadaan sistem radar OTH, dan pengembangan rudal hipersonik kerja sama within konsorsium nasional yang melibatkan PT Dirgantara Indonesia, LAPAN, dan PT Pindad harus mendapatkan prioritas tinggi.
Pendidikan dan pelatihan prajurit TNI AL juga harus diubah untuk menciptakan warfighting ethos yang berorientasi pada jaringan dan sistem, bukan hanya pada platform individual. Kurikulum di Seskoal dan sekolah-staf lainnya harus memasukkan deeply analisis tentang dampak teknologi disruptif seperti hipersonik dan kecerdasan buatan (AI) terhadap doktrin operasi. Selain itu, kerja sama dengan negara-negara mitra seperti Amerika Serikat, Australia, Prancis, dan Korea Selatan dalam bentuk latihan gabungan dan alih teknologi harus diintensifkan, khususnya yang berfokus pada interoperabilitas dalam peperangan jaringan pusat (network-centric warfare).
Penutup
Revolusi teknologi hipersonik tidak membatalkan pentingnya kekuatan laut; ia hanya mengubah cara merebut dan mempertahankannya. Teori Mahan dan Till bukanlah kitab suci yang mati, melainkan fondasi filosofis yang hidup. Mahan mengingatkan kita bahwa kemakmuran dan keamanan nasional Indonesia tak terlepaskan dari penguasaan lautnya. Till memberikan peta jalan yang pragmatis dengan membagi peran angkatan laut menjadi penegak kedaulatan di masa damai dan penentu kemenangan di masa perang.
Tantangan bagi TNI AL adalah untuk menerjemahkan ulang “command of the sea” Mahan bukan sebagai dominasi permanen oleh armada kapal permukaan yang masif, tetapi sebagai kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan dan mengontrol situasi secara temporer dan lokal di wilayah yang dipilih, dengan menggunakan jaringan sistem senjata yang terintegrasi, tersebar, dan mematikan.
Sementara itu, kerangka Till memastikan bahwa TNI AL tetap membumi dan relevan dengan tugas-tugas hariannya menjaga keamanan di Selat Malaka dan Laut Natuna. Dengan mensintesiskan keduanya, TNI AL tidak hanya dapat bertahan dari badai hipersonik, tetapi juga menjelma menjadi kekuatan maritim modern yang disegani di kawasan Indo-Pasifik.
*Penulis adalah Purnawirawan Laksamana Muda TNI, sehari-hari sebagai Executive Director, Indonesia Institute for Maritime Studies (IIMS), Penasehat Indopacific Strategic Intelligence (ISI), dan Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Pasca Sarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan, Kadep Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, dan Kegiatan lain sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator Firma Hukum Legal Jangkar Indonesia.
BERITA TERKAIT: