Namun, realitas hari ini tampaknya tidak sesederhana itu lagi. Ada kelompok-kelompok yang justru berperan besar dalam perekonomian tanpa perlu pergaulan luas. Bahkan, sebagian dari mereka bisa dibilang nyaris hidup dalam lingkar sosial yang sangat terbatas.
Lihatlah para pedagang sembako di pasar tradisional. Mereka memulai hari ketika kota masih tidur. Pagi-pagi kulakan, lalu menggelar dagangan di kios. Tengah hari melayani pembeli, dan menjelang petang berkemas untuk pulang. Besoknya, mereka mengulang rutinitas yang sama. Waktu mereka habis untuk kerja dan keluarga. Pergaulan mereka terbatas, paling hanya antar sesama pedagang dan pelanggan tetap. Tapi merekalah denyut ekonomi lokal. Para pedagang seperti inilah yang seringkali menggerakkan sembilan dari sepuluh roda perekonomian di pasar-pasar tradisional seluruh negeri.
Hal serupa juga berlaku bagi para produsen dan pengrajin. Entah itu pengrajin rotan di Cirebon, pembuat batik di Pekalongan, atau UMKM kuliner di Bandung. Mereka tak punya waktu bersosialisasi ke sana kemari. Fokus mereka adalah produksi. Pemasaran? Lewat HP, WhatsApp, marketplace, atau reseller. Mereka menjual kepada orang-orang yang bahkan belum pernah mereka temui. Pergaulan? Minim, tapi kontribusinya ke ekonomi maksimal.
Lalu, muncul pertanyaan besar: apakah pergaulan luas memang masih penting di era seperti ini? Tentu, tidak ada yang menyangkal pentingnya jejaring sosial. Tapi konteksnya kini berubah. Dulu, pergaulan luas adalah satu-satunya jalan untuk membuka pintu-pintu peluang. Sekarang, teknologi telah memediasi banyak hal. Jejaring bisa dibangun secara digital, tanpa tatap muka. Peluang bisa datang dari komentar di media sosial, bukan hanya dari kopi darat atau acara komunitas.
Di sisi lain, kita tak bisa menutup mata terhadap sisi gelap pergaulan yang terlalu luas dan tanpa batas. Penipuan, manipulasi sosial, pencurian data, hingga kecanduan validasi sosial di media digital. Banyak orang yang akhirnya lelah secara mental, hilang fokus, bahkan kehilangan identitas demi menjaga "pergaulan" yang tidak jelas ujung pangkalnya.
Kita perlu meninjau ulang makna pergaulan. Jangan-jangan yang lebih dibutuhkan hari ini bukan pergaulan yang luas, tapi pergaulan yang berkualitas dan relevan. Lingkar sosial yang kecil namun sehat. Jejaring digital yang fungsional, bukan artifisial. Komunitas yang dibangun atas dasar tujuan, bukan sekadar eksistensi sosial.
Artinya, pergaulan tetap penting. Tapi bukan demi "dikenal luas", melainkan demi mendukung produktivitas, integritas, dan ketenangan hidup. Pergaulan bukan lagi soal berapa banyak yang kita kenal, tapi seberapa bermakna hubungan itu terhadap hidup dan pekerjaan kita.
Jadi, kalau ada pedagang sembako yang setiap hari hanya bergaul dengan sesama pedagang, tapi bisa menyekolahkan anaknya dan menyumbang pada ekonomi daerah, mungkin kita harus berhenti menilai sempitnya pergaulan sebagai kekurangan. Bisa jadi, justru itu bentuk fokus dan efisiensi sosial yang paling relevan di zaman ini.

*Penulis adalah penggiat literasi dari Republikein StudieClub
BERITA TERKAIT: